Sanusi Pane, tokoh pelopor yang mendorong lahirnya bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. (Merdeka.com) |
Berbicara soal Sumpah Pemuda, pastilah juga tak bisa lepas dari
bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.
Di negara yang hidup dengan semboyan Bhineka Tunggal
Ika ini, adanya bahasa persatuan menjadi sangat penting untuk menjaga keutuhan
bangsa.
Namun, lahirnya Bahasa Indonesia rupanya melewati
perjuangan panjang oleh para tokoh bangsa terdahulu. Salah satunya adalah
Sanusi Pane.
Sanusi Pane adalah seorang sastrawan dan pujangga
yang lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada 14 November
1905.
Ia merupakan tokoh pelopor yang mendorong lahirnya bahasa
persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.
Namun sayangnya, dirinya tak begitu dikenal
sebagai pahlawan. Berikut kisah singkat perjalanan hidup Sanusi Pane
hingga akhir hayatnya:
Riwayat
Pendidikan dan Jejak Organisasi Sang Pujangga
Melansir dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id,
Sanusi Pane mengenyam bangku pendidikan pertama kali di Hollands Inlandse
School (HIS) di Padang Sidempuan.
Ia kemudian pindah ke Tanjung Balai lalu masuk
Europeesche Lager School (ELS) di Sibolga lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs (MULO) di Padang, dan diselesaikan di Jakarta pada 1922.
Lihat Juga:
Kisah Tan Malaka, antara Petualangdan Revolusioner
7 Pahlawan dibalik Kemerderkaan Indonesia yang sering dilupakan
Sang Pujangga kemudian melanjutkan pendidikannya di
Kweekschool di Jakarta dan lulus tahun 1925 serta melanjutkan ke Sekolah Hakim
Tinggi.
Setelah lulus, Sanusi Pane kemudian memperdalam
pengetahuan tentang kebudayaan Hindu di India pada 1929—1930.
Setelah menyelesaikan studinya, Sanusi Pane bekerja
sebagai guru di Kweekschool Gunung Sahari, Jakarta.
Ia lalu pindah ke HIK Lembang, kemudian ke HIK
Gubernemen Bandung, serta ke Sekolah Menengah Perguruan Rakyat, Jakarta. Namun,
karena aktif dalam Partai Nasional Indonesia, Sanusi Pane akhirnya dipecat
sebagai guru.
Sanusi Pane terkenal aktif dalam organisasi
pergerakan, seperti Jong Sumatra dan Gerindo.
Ia juga pernah menjadi redaktur majalah Timboel pada
1931—1933, harian Kebangoenan pada 1936 dan redaktur Balai Pustaka di 1941.
Golongan
Angkatan Pujangga Baru
Sanusi Pane dikenal sebagai seorang sastrawan dan
pujangga. Dalam sastra Indonesia, ia masuk dalam golongan Angkatan Pujangga
Baru.
Nama Sanusi Pane terukir dalam sejarah sastra
Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II, baik sebagai penulis
puisi maupun penulis drama.
Kumpulan sajak pertamanya berjudul Pancaran Cinta
terbit 1926, menyusul kemudian kumpulan sajak Puspa Mega di 1927
Lalu drama Airlangga di 1928 dan drama Burung Garuda
Terbang Sendiri 1929. Pada 1931 terbit kumpulan sajaknya Madah Kelana yang
kemudian disusul drama Kertajaya di 1932.
Kemudian di 1933, terbit dramanya yang berjudul
Sandyakala ning Majapahit lalu disusul drama Manusia Baru di 1940.
Di tahun yang sama, juga terbit buku terjemahannya,
yakni Arjuna Wiwaha, disusul buku Sejarah Indonesia 1942, Bunga Rampai dari
Hikayat Lama di 1946, Indonesia Sepanjang Masa 1952, dan kumpulan puisi Gamelan
Jiwa yang terbit 1960.
Sosok Sanusi
Pane di Mata Sang Istri
Melansir dari badanbahasa.kemdikbud.go.id,
semasa hidupnya, Sanusi Pane dikenal sebagai sosok yang sangat rendah hati.
Ia tak pernah membanggakan apa yang telah diperbuat,
sekalipun sebenarnya hasil karyanya patut dibanggakan.
Dalam bukunya, J.U. Nasution pernah ingin menulis
buku tentang karya Sanusi Pane, namun tidak berhasil mewawancarainya meskipun
Nasution telah berulang-ulang mencobanya.
Setelah Nasution bertemu dengan Sanusi Pane, ia
selalu mengatakan, "Saya bukan apa-apa. Saya bukan apa-apa,".
Istri Sanusi Pane mengungkapkan, Presiden Soekarno
pernah akan memberikan Satya Lencana Kebudayaan kepada suaminya, namun Sanusi
Pane menolak. Tentu saja istrinya terkejut. Sanusi Pane justru malah melontakan
jawaban yang tak disangka.
"Indonesia telah memberikan segala-galanya
bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang
berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa
yang sudah kukerjakan. Karena itu, adalah semata-mata kewajibanku sebagai
putera bangsa," ucap Sanusi Pane.
Tokoh Pelopor
Lahirnya Bahasa Indonesia yang Terlupakan
Selain hidup sebagai sastrawan dan pujangga, Sanusi
Pane adalah tokoh di balik lahirnya Bahasa Indonesia.
Semua perjuangannya menemukan titik terang saat
Kongres Pemuda I, yang dilaksanakan di Batavia pada 1926.
Dalam kongres itu, Sanusi Pane lah yang pertama kali
mengusulkan untuk menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, yang
merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia.
Namun, perdebatan terjadi antara M Yamin dan
Muhammad Tabrani yang belum setuju dengan usulan itu. Penetapan itu gagal,
tetapi kemudian diadopsi lagi dalam Kongres Pemuda II.
Dalam Kongres Pemuda II, pada 28 Oktober 1928,
usulan Sanusi Pane dua tahun sebelumnya akhirnya diakomodir dan ditetapkanlah
Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, yang kemudian diberi nama Bahasa
Indonesia.
Dan untuk pertama kalinya, Kongres Bahasa Indonesia
I dilaksanakan di Medan, 28 Oktober 1954.
Namun, meski punya andil besar dalam pembentukan
bahasa persatuan, Sanusi Pane kalah familiar dengan tokoh lain yang bergerak di
bidang sastra.
Oleh karena itu, namanya jarang sekali dikenal
sebagai tokoh yang mendorong lahirnya Bahasa Indonesia.
Diusulkan Jadi
Pahlawan Nasional
Sanusi Pane meninggal dunia pada 2 Januari 1968. Ia
meninggalkan seorang istri dan enam orang anak dengan meninggalkan kekayaan
yang sedikit, bahkan rumah pun tak dimilikinya.
Mengutip Antara, atas perjuangan dan jasanya
dalam sejarah lahirnya Bahasa Indonesia, Balai Bahasa Sumatera Utara (Sumut)
akan mengusulkan Sanusi Pane menjadi pahlawan nasional dari Sumut.
Hal itu disampaikan Kepala Balai Bahasa Sumut
Maryanto dalam acara seminar nasional dengan tema Bahasa dan Sepeda Bangsa di
Medan pada 20 Februari 2020 lalu.
"Selain membicarakan bagaimana sejarah
pergerakan lahirnya bahasa persatuan Indonesia, tujuan dari seminar ini juga
untuk mengangkat tokoh pergerakan nasional Sanusi Pane agar memperoleh gelar
pahlawan," kata Maryanto.
Sanusi Pane dianggap berjasa karena ikut
memperjuangkan lahirnya satu bahasa pemersatu. Meski Indonesia baru merdeka
pada 1945, namun gagasan itu sudah diperjuangkan sejak 1926 di Kongres Bahasa
yang mendorong lahirnya Sumpah Pemuda.
"Tidak hanya melahirkan bahasa persatuan
Indonesia, Sanusi Pane juga melahirkan lembaga kebahasaan yaitu Institut Bahasa
Indonesia sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap perkembangan kebahasaan,"
tegas Maryanto.
Reporter: Fatimah Rahmawati
Sumber: Merdeka