Mengenal Sosok Sanusi Pane, Sang Pelopor Lahirnya Bahasa Indonesia

Mengenal Sosok Sanusi Pane, Sang Pelopor Lahirnya Bahasa Indonesia

Sanusi Pane, tokoh pelopor yang mendorong lahirnya bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. (Merdeka.com)


Setapak rai numbei - 28 Oktober diperingati oleh seluruh bangsa Indonesia sebagai Hari Sumpah Pemuda. Genap sudah 92 tahun sejak 1928 silam, momen sejarah sangat penting bagi pergerakan bangsa yang mengantarkan Indonesia hingga meraih kemerdekaannya.

Berbicara soal Sumpah Pemuda, pastilah juga tak bisa lepas dari bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.

Di negara yang hidup dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini, adanya bahasa persatuan menjadi sangat penting untuk menjaga keutuhan bangsa.

Namun, lahirnya Bahasa Indonesia rupanya melewati perjuangan panjang oleh para tokoh bangsa terdahulu. Salah satunya adalah Sanusi Pane.

Sanusi Pane adalah seorang sastrawan dan pujangga yang lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada 14 November 1905.

Ia merupakan tokoh pelopor yang mendorong lahirnya bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.

Namun sayangnya, dirinya tak begitu dikenal sebagai pahlawan. Berikut kisah singkat perjalanan hidup Sanusi Pane hingga akhir hayatnya:

 

Riwayat Pendidikan dan Jejak Organisasi Sang Pujangga



Melansir dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Sanusi Pane mengenyam bangku pendidikan pertama kali di Hollands Inlandse School (HIS) di Padang Sidempuan.

Ia kemudian pindah ke Tanjung Balai lalu masuk Europeesche Lager School (ELS) di Sibolga lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang, dan diselesaikan di Jakarta pada 1922.


Lihat Juga: 

Kisah Tan Malaka, antara Petualangdan Revolusioner

5 Fakta Kain Tenun Sumba

7 Pahlawan dibalik Kemerderkaan Indonesia yang sering dilupakan


Sang Pujangga kemudian melanjutkan pendidikannya di Kweekschool di Jakarta dan lulus tahun 1925 serta melanjutkan ke Sekolah Hakim Tinggi.

Setelah lulus, Sanusi Pane kemudian memperdalam pengetahuan tentang kebudayaan Hindu di India pada 1929—1930.

Setelah menyelesaikan studinya, Sanusi Pane bekerja sebagai guru di Kweekschool Gunung Sahari, Jakarta.

Ia lalu pindah ke HIK Lembang, kemudian ke HIK Gubernemen Bandung, serta ke Sekolah Menengah Perguruan Rakyat, Jakarta. Namun, karena aktif dalam Partai Nasional Indonesia, Sanusi Pane akhirnya dipecat sebagai guru.

Sanusi Pane terkenal aktif dalam organisasi pergerakan, seperti Jong Sumatra dan Gerindo.

Ia juga pernah menjadi redaktur majalah Timboel pada 1931—1933, harian Kebangoenan pada 1936 dan redaktur Balai Pustaka di 1941.

 

Golongan Angkatan Pujangga Baru



Sanusi Pane dikenal sebagai seorang sastrawan dan pujangga. Dalam sastra Indonesia, ia masuk dalam golongan Angkatan Pujangga Baru.

Nama Sanusi Pane terukir dalam sejarah sastra Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II, baik sebagai penulis puisi maupun penulis drama.

Kumpulan sajak pertamanya berjudul Pancaran Cinta terbit 1926, menyusul kemudian kumpulan sajak Puspa Mega di 1927

Lalu drama Airlangga di 1928 dan drama Burung Garuda Terbang Sendiri 1929. Pada 1931 terbit kumpulan sajaknya Madah Kelana yang kemudian disusul drama Kertajaya di 1932.

Kemudian di 1933, terbit dramanya yang berjudul Sandyakala ning Majapahit lalu disusul drama Manusia Baru di 1940.

Di tahun yang sama, juga terbit buku terjemahannya, yakni Arjuna Wiwaha, disusul buku Sejarah Indonesia 1942, Bunga Rampai dari Hikayat Lama di 1946, Indonesia Sepanjang Masa 1952, dan kumpulan puisi Gamelan Jiwa yang terbit 1960.

 

Sosok Sanusi Pane di Mata Sang Istri



Melansir dari badanbahasa.kemdikbud.go.id, semasa hidupnya, Sanusi Pane dikenal sebagai sosok yang sangat rendah hati.

Ia tak pernah membanggakan apa yang telah diperbuat, sekalipun sebenarnya hasil karyanya patut dibanggakan.

Dalam bukunya, J.U. Nasution pernah ingin menulis buku tentang karya Sanusi Pane, namun tidak berhasil mewawancarainya meskipun Nasution telah berulang-ulang mencobanya.

Setelah Nasution bertemu dengan Sanusi Pane, ia selalu mengatakan, "Saya bukan apa-apa. Saya bukan apa-apa,".

Istri Sanusi Pane mengungkapkan, Presiden Soekarno pernah akan memberikan Satya Lencana Kebudayaan kepada suaminya, namun Sanusi Pane menolak. Tentu saja istrinya terkejut. Sanusi Pane justru malah melontakan jawaban yang tak disangka.

"Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa yang sudah kukerjakan. Karena itu, adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa," ucap Sanusi Pane.

 

Tokoh Pelopor Lahirnya Bahasa Indonesia yang Terlupakan



Selain hidup sebagai sastrawan dan pujangga, Sanusi Pane adalah tokoh di balik lahirnya Bahasa Indonesia.

Semua perjuangannya menemukan titik terang saat Kongres Pemuda I, yang dilaksanakan di Batavia pada 1926.

Dalam kongres itu, Sanusi Pane lah yang pertama kali mengusulkan untuk menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, yang merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia.

Namun, perdebatan terjadi antara M Yamin dan Muhammad Tabrani yang belum setuju dengan usulan itu. Penetapan itu gagal, tetapi kemudian diadopsi lagi dalam Kongres Pemuda II.

Dalam Kongres Pemuda II, pada 28 Oktober 1928, usulan Sanusi Pane dua tahun sebelumnya akhirnya diakomodir dan ditetapkanlah Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, yang kemudian diberi nama Bahasa Indonesia.

Dan untuk pertama kalinya, Kongres Bahasa Indonesia I dilaksanakan di Medan, 28 Oktober 1954.

Namun, meski punya andil besar dalam pembentukan bahasa persatuan, Sanusi Pane kalah familiar dengan tokoh lain yang bergerak di bidang sastra.

Oleh karena itu, namanya jarang sekali dikenal sebagai tokoh yang mendorong lahirnya Bahasa Indonesia.

 

Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Sanusi Pane meninggal dunia pada 2 Januari 1968. Ia meninggalkan seorang istri dan enam orang anak dengan meninggalkan kekayaan yang sedikit, bahkan rumah pun tak dimilikinya.

Mengutip Antara, atas perjuangan dan jasanya dalam sejarah lahirnya Bahasa Indonesia, Balai Bahasa Sumatera Utara (Sumut) akan mengusulkan Sanusi Pane menjadi pahlawan nasional dari Sumut.

Hal itu disampaikan Kepala Balai Bahasa Sumut Maryanto dalam acara seminar nasional dengan tema Bahasa dan Sepeda Bangsa di Medan pada 20 Februari 2020 lalu.

"Selain membicarakan bagaimana sejarah pergerakan lahirnya bahasa persatuan Indonesia, tujuan dari seminar ini juga untuk mengangkat tokoh pergerakan nasional Sanusi Pane agar memperoleh gelar pahlawan," kata Maryanto.

Sanusi Pane dianggap berjasa karena ikut memperjuangkan lahirnya satu bahasa pemersatu. Meski Indonesia baru merdeka pada 1945, namun gagasan itu sudah diperjuangkan sejak 1926 di Kongres Bahasa yang mendorong lahirnya Sumpah Pemuda.

"Tidak hanya melahirkan bahasa persatuan Indonesia, Sanusi Pane juga melahirkan lembaga kebahasaan yaitu Institut Bahasa Indonesia sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap perkembangan kebahasaan," tegas Maryanto.

 

Reporter: Fatimah Rahmawati

Sumber: Merdeka

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama