Kain Tenun Sumba |
Kain tenun Sumba merupakan salah satu karya
kebanggaan masyarakat di Sumba Barat dan Sumba Timur. Ilmu membuat kain ini
sudah diwariskan secara turun-temurun hingga kini.
Sehelai kain tenun Sumba sungguh bernilai sebab
proses pembuatannya yang tak mudah. Pada zaman dahulu, pembuatan kain akan
dilakukan oleh satu orang. Namun kini masyarakat sudah mulai bergotong-royong
membuatnya untuk memenuhi permintaan pasar.
Untuk lebih mengenal mengenai kain tenun Sumba,
simak sejumlah fakta berikut ini yang sudah detik Travel kumpulkan dari berbagai
sumber.
1. Pembuatan
kain tenun Sumba memakan waktu lama
Pameran kain tenun bertajuk "Menguak Spritualitas dan Simbolisme di Balik Seni Tenun Ikat Pewarna Alam Sumba Timur" digelar di Museum Fatahillah, Jakarta. Foto: Agung Pambudhy |
Membuat selembar kain tenun Sumba tak semudah
membalikkan telapak tangan. Terdapat sejumlah proses yang harus dilalui.
Secara garis besar, proses itu dimulai dari membuat
motif, memintal benang, menenun, mewarnai, mengeringkan, hingga menutup kain.
Dalam bincang-bincang bersama salah satu anggota keluarga penenun tenun Sumba,
Umbu Ignas, proses itu memakan waktu mulai dari hitungan bulan sampai tahun.
"Membutuhkan waktu 8 bulan sampai setahun untuk
kain yang menggunakan pewarna alam. Kalau pewarna campuran (alam dan kimi)
membutuhkan waktu 6 bulan. Sedangkan warna kimia membutuhkan waktu 3-4
bulan," kata dia.
2. Motif
menggambarkan kepribadian dan sakral
Motif pada kain tenun Sumba itu tidak dibuat dengan
sembarangan. Para perajin bahkan mendapatkan ide pembuatan motif melalui mimpi
atau dengan mencari inspirasi yang tak sebentar. Maka dari itu, motif kain
tenun Sumba disebut memiliki nilai spiritual yang sakral.
Setiap motif yang dibuat para penenun memiliki makna
yang menunjukkan karakter si pemakain kain. Oleh sebab itu, pada zaman dahulu,
pengerjaan kain tenun ini hanya dilakukan oleh satu orang supaya motif yang ia
buat tidak ditiru orang lain.
"Motif-motif itu sebenarnya dibuat untuk suami
dan dirinya sendiri. Dari motif-motif itu sebenarnya ada karakter dari si
pemakai," kata Umbu Ignas.
"Misalnya burung kakatua, itu simbol dari
persatuan. Lalu kalau pemakaianya adalah seorang pemimpin, biasanya diberi
motif kuda atau ayam," ujarnya.
Akan tetapi dewasa ini, kain tenun Sumba juga ada
yang diproduksi untuk tujuan komersial sehingga perajin membuat motif yang
sesuai kemauan pasar. Oleh sebab itu, makna filosofinya tak sekental pada zaman
dahulu.
"Kalau pasarnya menyukai suatu motif, dia akan
mengikuti motif itu. Kalau pasar tidak suka, dia akan membuat motif yang
coraknya lain,"katanya.
3. Dibuat
menggunakan pewarna dari alam
Kain tenun Sumba menggunakan pewarna alami yang
membuatnya awet hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Pewarnaan ini memanfaatkan
akar mengkudu untuk mendapatkan warna merah. Kemudian biru dari nila, kuning
dari kayu kuning, dan cokelat dari lumpur.
Jika ingin mendapatkan warna lain, perajin akan
mewarnai benang dengan warna dasar dulu kemudian dicampurkan dengan warna lain
supaya didapatkan warna yang diinginkan.
Namun Umbu Ignas mengatakan, saat ini banyak juga
perajin yang menggunakan pewarna kimia untuk mempercepat proses pembuatan kain.
Inilah yang kemudian menjadi tantangan bagi para perajin tradisional yang masih
bertahan melestarikan budaya penggunaan pewarna alami.
Lihat Juga: Eksotik dan Spesial Nusa Tenggara Timur (Sajak Jalan Setapak, Puisi Musikalisasi alam NTT)
4. Harga Yang Tinggi
Karena proses pembuatannya tidak mudah, kain tenun
Sumba pun dijual dengan harga yang tinggi. Tapi jangan khawatir, soal kualitas,
kain tenun Sumba yang asli akan mampu bertahan lama.
Dikumpulkan detikcom dari berbagai sumber, harga
kain tenun Sumba dibanderol mulai harga Rp 150 ribu sampai puluhan juta. Ini
tergantung pada jenis pewarnaan yang digunakan serta motif pada kain. Jika
menggunakan pewarna kimia dan motifnya sederhana, harganya akan lebih murah.
5. Tantangan dalam melestarikan tenun Sumba
Umbu Ignas menjelaskan sejumlah tantangan dalam
melestarikan dan memasarkan kain tenun Sumba. Pertama adalah soal penggunaan
pewarna kimia yang jelas lebih cepat dan murah dalam produksinya.
Padahal dari segi kualitas, pewarna alami lebih baik
dan banyak perajin tradisional di desa-desa yang bertahan menggunakan metode
ini. Sayangnya, dalam pemasaran kain ini kalah dengan pewarna kimia.
Kedua adalah tantangan dari daerah lain yang
mengkopi motif tenun Sumba, misalnya kain dari Troso, Jepara. Konsumen masih belum
bisa membedakan motif yang asli dari Sumba dengan dari Jepara sehingga
seringkali mereka terkecoh.
Dewasa ini, perajin kain tenun Sumba juga harus
bersaing dengan teknologi printing. Dengan adanya printing, kain lebih mudah
diberi motif dan diproduksi massal. Konsumen pun lebih tertarik lantaran harga
lebih murah dan mudah dibuat menjadi berbagai jenis pakaian.
Untuk menghadapi tantangan itu, Umbu Ignas bersama
dengan program Rumah Asuh dari Yori Antar membuat Rumah Tenun yang dapat
membantu melestarikan dan meningkatkan produksi kain tenun Sumba. Hingga kini,
sudah ada 10 Rumah Tenun di Sumba Timur yang mewadahi para perajin tenun Sumba.
Artikel ini diambil dari: