Sejarah Pertanian Indonesia (Sejak Kapan Manusia Bertani dan Bercocok Tanam? Bagaimana Mengusir Hama Pertanian Zaman Dahulu?)

Sejarah Pertanian Indonesia (Sejak Kapan Manusia Bertani dan Bercocok Tanam? Bagaimana Mengusir Hama Pertanian Zaman Dahulu?)

Ilustrasi, pertanian zaman kolonial


Jagung, nasi, dan berbagai jenis sayuran merupakan hasil dari bercocok tanam yang dilakukan di ladang, kebun, maupun sawah.

Wah, ternyata berbagai sumber makanan kita banyak yang berasal dari hasil bertani dan bercocok tanam, teman-teman.

Inilah sebabnya bertani merupakan kegiatan paling penting yang dilakukan oleh manusia untuk dapat bertahan hidup.

Namun, sekitar 12.000 tahun lalu, kegiatan bertani dan bercocok tanam belum dilakukan oleh manusia, lo.

Sebelum bertani dan bercocok tanam, manusia mendapatkan makanan dengan cara berburu hewan, mengumpulkan tanaman, dan meramu berbagai bahan yang ada di sekitarnya.

Lalu, sejak kapan, ya, manusia mulai bertani dan bercocok tanam untuk mendapatkan makanan?

 

Manusia Mulai Bertani dan Bercocok Tanam Selama Era Neolitikum



Kegiatan pertanian pertama yang dilakukan oleh manusia diketahui berlangsung selama era Neolitikum atau Zaman Batu Baru.

Zaman ini berlangsung antara 7.000 sampai 10.000 tahun yang lalu, teman-teman.

Nah, ada delapan tumbuhan yang saat itu ditanam untuk bercocok tanam.

Delapan tumbuhan ini kebanyakan berupa gandum dan berbagai jenis kacang-kacangan.

Ada gandum jenis emmer dan einkorn, lalu ada kacang polong, dan beberapa jenis kacang lainnya.

Namun, jenis tumbuhan yang ditanam ini berbeda-beda di setiap daerah, teman-teman.

Misalnya seperti petani Israel yang kebanyakan menanam gandum, sayuran, dan anggur.

Sedangkan penduduk Tiongkok yang mulai bertani sejak tahun 5.000 Sebelum Masehi banyak menanam padi.

 

Irigasi Pertama Ditemukan di Mesir dan Maesopotamia

Saat bertani dan bercocok tanam, tumbuhan tentu perlu mendapatkan cairan yang cukup agar bisa tumbuh dengan baik.

Sistem pengaairan di sawah atau ladang saat ini kita kenal dengan asebutan irigasi, teman-teman.

Tahukah kamu? Sistem irigasi ternyata pertama kali muncul di Mesir dan Mesopotamia sekitar milenium keenam Sebelum Masehi, lo.

Mesir memiliki sebab tersendiri, nih, kenapa menjadi tempat pertama yang mengembangkan sistem irigasi.

Sungai Nil yang menjadi salah satu sungai terpanjang merupakan keuntungan bagi Mesir.

Setiap musim panas, Sungai Nil jusru akan membanjiri dan menyediakan air untuk bercocok tanam.

Sistem irigasi sawah dan ladang di Mesir menggunakan alat yang bernama shaduf.

Shaduf adalah alat berupa wadah dari kulit di bagian ujungnya, yang diisi dengan air dan alat penyeimbang di bagian lainnya.

Ketika Sungai Nil penuh dengan air, endapan lumpur juga akan tertinggal di tanah dekat sungai.

Nah, lumpur ini akan membuat tanah menjadi sangat subur saat air sungai surut.

 


Area Pertanian Pertama Disebut Bulan Sabit Subur

Para arkeolog menyebut area pertanian pertama dengan nama Bulan Sabit Subur, teman-teman.

Area ini terletak di wilayah Asia Barat yang terdiri atas wilayah Mesopotamia dan Levant.

Wilayah ini juga dibatasi oleh Gurun Suriah di selatan dan Dataran Tianggi Anatolia di utara.

Nama Bulan Sabit Subur ini digunakan untuk menggambarkan peran lokasi ini sebagai tempat awal mula munculnya pertanian.


Metode Pertanian Mulai Mengalami Perkembangan

Sekitar abad ke-17 dan ke-19, Inggris mulai mengalami peningkatan dan perkembangan dalam produktivitas pertanian.

Perkembangan ini kemudian disebut sebagai Revolusi Pertanian Inggris yang terdiri dari perbaikan pada metode pertanian.

Revolusi ini adalah pengembangan metode baru rotasi tanaman, mulai mengolah tanah yang berawa atau berhutan dan menanam berbagai tanaman baru.

Selain cara baru dalam bertani dan bercocok tanam, perkembangan lainnya adalah teknologi dalam pertanian.

Perkembangan yang terjadi terlihat dari penggunaan berbagai peralatan, seperti bajak maupun mesin traktor yang awalnya menggunakan tenaga hewan berganti menjadi tenaga uap.

Tidak hanya metode dan peralatan, berbagai bibit tumbuhan juga dikembangkan, nih, teman-teman.

Contohnya benih hibrida yang bisa menghasilkan tanaman dan buah-buahan yang lebih beragam.

Adanya benih hibrida ini membuat peningkatan hasil pertanian sekitar abad ke-20.

Saat ini, cara bertani dan bercocok tanam sudah semakin berkembang, salah satunya adalah metode hidroponik, yaitu bercocok tanam tanpa media tanam berupa tanah.

 

Lihat Juga: 

 

Bagaimana petani zaman dulu mengolah tanah? Tentu saja ada perbedaan cara pengelolahan tanah para petani di zaman dulu dengan zaman modern seperti sekarang.

Kira-kira bagaimana petani zaman dulu mengolah tanah ya? Berikut akan kami rangkumkan selengkapnya untuk Anda.

Namun demikian perlu untuk Anda tahu terlebih dulu bahwa pengelohan tanah adalah suatu proses dimana tanah nanti akan digemburkan dan dilembekkan dengan cara dibajak menggunakan berbagai sumber tenaga, seperti tenaga manusia, hewan, dan traktor.

Melalui proses ini pula kerak tanah akan teraduk dengan sempurna sehingga udara dan cahaya matahari dapat menyentuh tanah lebih dalam lagi dan tentu saja juga dapat meningkatkan kesuburannya.

Cara Petani Zaman Dulu Mengolah Tanah



Petani di zaman dulu mengolah tanah dengan cara tradisional sebelum akhirnya ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang cukup pesat di zaman modern ini.

Petani Indonesia zaman dulu mengolah tanah dengan menggunakan berbagai macam alat-alat tradisional yang bekerja menggunakan tenaga manusia dan hewan.

Alat yang digunakan untuk mengolah kayu di zaman dulu terbuat dari kayu, kemudian seiring dengan berjalannya waktu alat tersebut dibuat dari besi tua sebagai bahan utamanya, lalu berlanjut lagi dibuat dari baja.

Cara petani zaman dulu mengolah tanah dengan menerapkan sistem tradisional ini biasanya diidentikan dengan menggunakan bajak singkal dan bajak garu.

Bajak singkal sendiri termasuk jenis bajak paling tua. Bajak singkal di Indonesia menjadi salah satu yang paling umum digunakan petani tradisional pada saat akan mengelolah tanahnya. Untuk menggunakan alat tersebut tentu saja juga dibutuhkan tenaga hewan, seperti kerbau atau sapi sebagai sumber daya penariknya.

Namun demikian, ternyata ada banyak sekali model bajak singkal yang bisa ditemukan. Perbedaan keberagaman bajak singkal biasanya terlihat pada bentuk mata bajak juga di beberapa bagian lainnya.

Mata bajak ini merupakan bagian dari bajak, fungsinya untuk mengelolah tanah. Lalu untuk bajak garu sendiri biasanya dilakukan setelah tanah selesai dibajak menggunakan bajak singkal.

Biasanya masih merupakan bongkahan tanah yang berukuran besar, makanya untuk menghancurkan dan meratakan permukaan tanah tersebut maka diperlukan dilakukannya pengelolahan tanah yang kedua. Alat dan mesin tani tradisional yang digunakan petani di zaman dulu adalah dengan melakukan pengelolahan tanah menggunakan alat sejenis garu.


Mengetahui Sistem Pengolahan Tanah Tradisional



Jika dilihat dari seberapa banyaknya residu tanaman yang diangkat dari lahan pertanian maka sistem pengelolahan tanah dibagi menjadi 3 jenis. Misalnya saja di Amerika Serikat, sistem pengolahan tanah konservasi menjadi salah satu yang paling banyak digunakan.

Alasannya, karena lebih hemat waktu, energi, tenaga, dan biaya.

Cara mengolah tanah konservasi juga bertujuan untuk mencegah terjadinya pemadatan tanah. Tetapi jika semakin sedikit tanah yang dibalikkan, maka akan semakin sedikit pula cahaya matahari dan udara yang bisa menyentuh tanah bagian dalam. Sehingga yang demikian tersebut dapat menghambat penanaman di awal musim semi.

Berikut ini adalah beberapa sistem pengolahan tanah tradisional yang perlu diketahui.

ü  Mengelolah tanah tereduksi. Sistem pengelolahan tanah yang pertama ini nanti akan meninggalkan sekitar 15 – 30 persen residu tanaman untuk tetap ada di lahan pertanian.

ü  Mengelolah tanah intensif. Pengolahan tanah intensif nanti akan meninggalkan kurang lebih sekitar 15 persen residu tanaman agar tetap ada di lahan pertanian. Pengelolahan tanah intensif juga akan mendayagunakan banyaknya implemen dan jam kerja traktor.

ü  Mengelolah tanah konservasi. Lalu untuk sistem pengolahan tanah konservasi akan meninggalkan sekitar 30 persen residu tanaman agar tetap ada di lahan pertanian.

ü  Mengelolah tanah rotasi. Ini bertujuan untuk mengelolah tanah secara periodik, yakni di setiap 2 – 3 tahun sekali.

ü  Mengelolah tanah berlajur. Sistem berlajur di sini dapat diartikan dengan hanya membajak lajur yang akan ditanam saja.

ü  Tanpa pengelolahan tanah. Untuk yang terakhir ini berarti sama sekali tidak dilakukannya pembajakan tanah. Residu tanaman yang akan ditanam pada periode sebelumnya dibiarkan mengering begitu saja. Pada lahan dengan luasan yang cukup sistem tersebut butuh mesin tanam yang tak biasa, yakni yang bisa menanam di sela-sela residu tanaman yang masih berdiri tegak.

 

Mengusir Hama Pertanian Zaman Dulu





Hama, rupanya masih menjadi persoalan serius bagi petani perdesaan. Tidak sedikit petani mengeluhkan jenis hama makin tak karuan. Di sisi lain pestisida pabrikan, selain harganya mahal, kadang juga tak seampuh iklannya. Alhasil, ongkos produksi dan hasil panen kadang tidak cucok, kata orang Jawa.

Meskipun tak semengerikan hari ini, binatang perusak tanaman (hama) juga sudah dihadapi petani zaman dulu. Namun ada yang membedakan, masyarakat zaman dulu belum mengenal pestisida, dan pupuk (kima) juga belum berkembang seperti hari ini. Lalu, bagaimana petani zaman dulu mengatasi persoalan binatang perusak tanaman?

Masyarakat zaman dulu, khususnya di Jawa Tengah percaya bahwa hama: baik itu berupa belalang, tikus, ulat, dan binatang-binatang lainya sama-sama makhluk hidup di alam semesta. Keberadaannya sama berharga dengan manusia. Karena itu, untuk mengatasi binatang-binatang itu tak harus di bunuh.

“Petani zaman dulu tidak mengenal emes (pupuk urea/kimia). Sesudah selesai selamatan ngentas-entasake (ritual sebelum tandur) selanjutnya padi dibiarkan saja. Kalaupun ada hama paling juga ulat, seganas-ganasnya hama dulu itu ada pangan menthek namanya. Tapi menthek ini dulu ditolak menggunakan gubuk kecil yang didirikan di pematang (galengan) sawah, itu bisa reda,” tutur Mbah Mariyono, salah satu petani sepuh Kampung Mranggen, Kec. Kaloran, Temanggung.

 


Seperti dikisahkan Mbah Maryono, Menthek merupakan mahkul perusak tanaman. Beberapa orang dipercaya pernah melihat wujud mahkul ini.

“Menthek ini ada dua, pria dan wanita yang suka mengutuk padi dengan kata-kata ‘jodangjowet, jodangjowet’ yang artinya ‘aja adang aja ngliwet pak tanine’ (jangan menanak nasi) kemudian para petani tirakat tiga hari tiga malam kemudian menthek-nya ini takut dan berpesan ‘Saya dibuatkan gubuk saja untuk berteduh, saya tidak akan merusak tanaman padinya lagi’ kemudian tanaman padinya bagus-bagus semua karena tidak dirusak,” cerita Mbah Maryono.

Ilmu tanam berdasarkan ilmu perhitungan Jawa menurut Mbah Maryono juga berpengaruh besar agar tanaman tidak diserang hama. Ilmu perhitungan Jawa itu berbunyi oyot uwit godhong woh (akar pohon daun buah) kemudian dirangkap dengan hitungan cocot wadhuk buntut (mulut perut ekor) kalau pas hitungan buntut tidak terserang hama, kemudian pas hitungan woh itu baik, meskipun tidak lebat daunnya tapi buahnya bagus.

Tapi kalau pas hitungan cocot biasanya berbuah saja biasanya sudah diserang hama tikus, dicocot tikus. Setidaknya kalau pas hitungan wadhuk sehingga hama yang mau mendekat sudah enggan karena sudah kenyang perutnya, kalaupun ada hama sekedar makan secukupnya kalau sudah kenyang ya pergi sendiri tidak sampai merusak tanaman yang lain. Itu hitungan petani yang menggunakan hitungan kejawaannya.

Mbah Maryono memberikan contoh, “Misalnya untuk tanaman, pertama pada awal mulai bertani ada hama uret, jangan dibunuh. Biarkan saja, jangan kuatir ngamuk atau merusak kalaupun makan ya sekiranya saja. Itu benar. Tikus, jangan diobat karena itu juga makhluk hidup, caranya kalau pas sore pergilah ke ladang sambil disangeni.”

“Sangeni itu sama dengan diajak komunikasi dengan baik-baik, misalnya begini “tikus-tikus, makan ya makan karena memang kamu bisanya numpang tapi jangan sampai merusak, saya tidak memasang obat. Sesudah itu tinggal diusir dengan satu dua kata biasanya akan lari jauh tikusnya. Kalaupun tikus itu makan, ya sewajarnya saja. Tidak sampai merusak.”

“Zaman hama walang sangit misalnya. Cukup mengucapkan doa, waktu padi menjelang menjadi tua kok tiba-tiba banyak yang tidak adak bijinya apus namanya. Nah kalau saya pas mau menjelang tua saya tirakat tiga hari tiga malam kemudian mengucapkan doa,” pungkas Mbah Mariyono.

 

Jadi sudah jelas ya jawaban di atas tentang bagaimana petani Indonesia zaman dulu mengolah tanah dan mengusir hama, semoga bermanfaat ya tulisan di https://setapakrainumbei.blogspot.com/

 

Referensi Tulisan ini diambil dari:

https://bobo.grid.id/read/081897509/dulunya-berburu-sejak-kapan-manusia-bertani-dan-bercocok-tanam?page=all

https://buddhazine.com/mengusir-hama-pertanian-zaman-dulu/?fbclid=IwAR1ev5JSDlQCXyLtIwPoHKfwEXozyzTPPHwBl7Q_5-_wu5z39qKYafBfZ3w

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama