Ilustrasi, pertanian zaman kolonial |
Jagung,
nasi, dan berbagai jenis sayuran merupakan hasil dari bercocok tanam yang
dilakukan di ladang, kebun, maupun sawah.
Wah,
ternyata berbagai sumber makanan kita banyak yang berasal dari hasil bertani dan bercocok tanam, teman-teman.
Inilah
sebabnya bertani merupakan
kegiatan paling penting yang dilakukan oleh manusia untuk dapat bertahan hidup.
Namun,
sekitar 12.000 tahun lalu, kegiatan bertani dan bercocok tanam belum
dilakukan oleh manusia, lo.
Sebelum
bertani dan bercocok tanam, manusia mendapatkan makanan dengan cara berburu
hewan, mengumpulkan tanaman, dan meramu berbagai bahan yang ada di sekitarnya.
Lalu,
sejak kapan, ya, manusia mulai bertani dan bercocok tanam untuk mendapatkan
makanan?
Manusia Mulai Bertani dan Bercocok
Tanam Selama Era Neolitikum
Kegiatan
pertanian pertama yang dilakukan oleh manusia diketahui berlangsung selama era
Neolitikum atau Zaman Batu Baru.
Zaman
ini berlangsung antara 7.000 sampai 10.000 tahun yang lalu, teman-teman.
Nah,
ada delapan tumbuhan yang saat itu ditanam untuk bercocok tanam.
Delapan
tumbuhan ini kebanyakan berupa gandum dan berbagai jenis kacang-kacangan.
Ada
gandum jenis emmer dan einkorn, lalu ada kacang polong, dan beberapa jenis
kacang lainnya.
Namun,
jenis tumbuhan yang ditanam ini berbeda-beda di setiap daerah, teman-teman.
Misalnya
seperti petani Israel yang kebanyakan menanam gandum, sayuran, dan anggur.
Sedangkan
penduduk Tiongkok yang mulai bertani sejak tahun 5.000 Sebelum Masehi banyak
menanam padi.
Irigasi Pertama Ditemukan di Mesir
dan Maesopotamia
Saat
bertani dan bercocok tanam, tumbuhan tentu perlu mendapatkan cairan yang cukup
agar bisa tumbuh dengan baik.
Sistem
pengaairan di sawah atau ladang saat ini kita kenal dengan asebutan irigasi,
teman-teman.
Tahukah
kamu? Sistem irigasi ternyata pertama kali muncul di Mesir dan Mesopotamia
sekitar milenium keenam Sebelum Masehi, lo.
Mesir
memiliki sebab tersendiri, nih, kenapa menjadi tempat pertama yang
mengembangkan sistem irigasi.
Sungai
Nil yang menjadi salah satu sungai terpanjang merupakan keuntungan bagi Mesir.
Setiap
musim panas, Sungai Nil jusru akan membanjiri dan menyediakan air untuk
bercocok tanam.
Sistem
irigasi sawah dan ladang di Mesir menggunakan alat yang bernama shaduf.
Shaduf
adalah alat berupa wadah dari kulit di bagian ujungnya, yang diisi dengan air
dan alat penyeimbang di bagian lainnya.
Ketika
Sungai Nil penuh dengan air, endapan lumpur juga akan tertinggal di tanah dekat
sungai.
Nah,
lumpur ini akan membuat tanah menjadi sangat subur saat air sungai surut.
Para arkeolog menyebut area pertanian pertama dengan nama Bulan Sabit Subur, teman-teman.
Area
ini terletak di wilayah Asia Barat yang terdiri atas wilayah Mesopotamia dan
Levant.
Wilayah
ini juga dibatasi oleh Gurun Suriah di selatan dan Dataran Tianggi Anatolia di
utara.
Nama
Bulan Sabit Subur ini digunakan untuk menggambarkan peran lokasi ini sebagai
tempat awal mula munculnya pertanian.
Metode Pertanian Mulai Mengalami
Perkembangan
Sekitar
abad ke-17 dan ke-19, Inggris mulai mengalami peningkatan dan perkembangan
dalam produktivitas pertanian.
Perkembangan
ini kemudian disebut sebagai Revolusi Pertanian Inggris yang terdiri dari
perbaikan pada metode pertanian.
Revolusi
ini adalah pengembangan metode baru rotasi tanaman, mulai mengolah tanah yang
berawa atau berhutan dan menanam berbagai tanaman baru.
Selain
cara baru dalam bertani dan bercocok tanam, perkembangan lainnya adalah
teknologi dalam pertanian.
Perkembangan
yang terjadi terlihat dari penggunaan berbagai peralatan, seperti bajak maupun
mesin traktor yang awalnya menggunakan tenaga hewan berganti menjadi tenaga
uap.
Tidak
hanya metode dan peralatan, berbagai bibit tumbuhan juga dikembangkan, nih,
teman-teman.
Contohnya
benih hibrida yang bisa menghasilkan tanaman dan buah-buahan yang lebih beragam.
Adanya
benih hibrida ini membuat peningkatan hasil pertanian sekitar abad ke-20.
Saat ini, cara bertani dan bercocok tanam sudah
semakin berkembang, salah satunya adalah metode hidroponik, yaitu bercocok
tanam tanpa media tanam berupa tanah.
Bagaimana
petani zaman dulu mengolah tanah? Tentu saja ada perbedaan cara pengelolahan
tanah para petani di zaman dulu dengan zaman modern seperti sekarang.
Kira-kira
bagaimana petani zaman dulu mengolah tanah ya? Berikut akan kami rangkumkan
selengkapnya untuk Anda.
Namun
demikian perlu untuk Anda tahu terlebih dulu bahwa pengelohan tanah adalah
suatu proses dimana tanah nanti akan digemburkan dan dilembekkan dengan cara
dibajak menggunakan berbagai sumber tenaga, seperti tenaga manusia, hewan, dan
traktor.
Melalui
proses ini pula kerak tanah akan teraduk dengan sempurna sehingga udara dan
cahaya matahari dapat menyentuh tanah lebih dalam lagi dan tentu saja juga
dapat meningkatkan kesuburannya.
Cara Petani Zaman Dulu Mengolah
Tanah
Petani
di zaman dulu mengolah tanah dengan cara tradisional sebelum akhirnya ilmu
pengetahuan dan teknologi berkembang cukup pesat di zaman modern ini.
Petani Indonesia zaman
dulu mengolah tanah dengan menggunakan berbagai macam alat-alat tradisional
yang bekerja menggunakan tenaga manusia dan hewan.
Alat
yang digunakan untuk mengolah kayu di zaman dulu terbuat dari kayu, kemudian
seiring dengan berjalannya waktu alat tersebut dibuat dari besi tua sebagai
bahan utamanya, lalu berlanjut lagi dibuat dari baja.
Cara
petani zaman dulu mengolah tanah dengan menerapkan sistem tradisional ini
biasanya diidentikan dengan menggunakan bajak singkal dan bajak garu.
Bajak
singkal sendiri termasuk jenis bajak paling tua. Bajak singkal di Indonesia
menjadi salah satu yang paling umum digunakan petani tradisional pada saat akan
mengelolah tanahnya. Untuk menggunakan alat tersebut tentu saja juga dibutuhkan
tenaga hewan, seperti kerbau atau sapi sebagai sumber daya penariknya.
Namun
demikian, ternyata ada banyak sekali model bajak singkal yang bisa ditemukan.
Perbedaan keberagaman bajak singkal biasanya terlihat pada bentuk mata bajak
juga di beberapa bagian lainnya.
Mata
bajak ini merupakan bagian dari bajak, fungsinya untuk mengelolah tanah. Lalu
untuk bajak garu sendiri biasanya dilakukan setelah tanah selesai dibajak
menggunakan bajak singkal.
Biasanya
masih merupakan bongkahan tanah yang berukuran besar, makanya untuk
menghancurkan dan meratakan permukaan tanah tersebut maka diperlukan
dilakukannya pengelolahan tanah yang kedua. Alat dan mesin tani tradisional
yang digunakan petani di
zaman dulu adalah dengan melakukan pengelolahan tanah menggunakan alat sejenis
garu.
Mengetahui Sistem Pengolahan Tanah
Tradisional
Jika
dilihat dari seberapa banyaknya residu tanaman yang diangkat dari lahan
pertanian maka sistem pengelolahan tanah dibagi menjadi 3 jenis. Misalnya saja
di Amerika Serikat, sistem pengolahan tanah konservasi menjadi salah satu yang
paling banyak digunakan.
Alasannya,
karena lebih hemat waktu, energi, tenaga, dan biaya.
Cara
mengolah tanah konservasi juga bertujuan untuk mencegah terjadinya pemadatan
tanah. Tetapi jika semakin sedikit tanah yang dibalikkan, maka akan semakin
sedikit pula cahaya matahari dan udara yang bisa menyentuh tanah bagian dalam.
Sehingga yang demikian tersebut dapat menghambat penanaman di awal musim semi.
Berikut
ini adalah beberapa sistem pengolahan tanah tradisional yang perlu diketahui.
ü Mengelolah tanah tereduksi. Sistem pengelolahan
tanah yang pertama ini nanti akan meninggalkan sekitar 15 – 30 persen residu
tanaman untuk tetap ada di lahan pertanian.
ü Mengelolah tanah intensif. Pengolahan tanah intensif
nanti akan meninggalkan kurang lebih sekitar 15 persen residu tanaman agar
tetap ada di lahan pertanian. Pengelolahan tanah intensif juga akan
mendayagunakan banyaknya implemen dan jam kerja traktor.
ü Mengelolah tanah konservasi. Lalu untuk sistem
pengolahan tanah konservasi akan meninggalkan sekitar 30 persen residu tanaman
agar tetap ada di lahan pertanian.
ü Mengelolah tanah rotasi. Ini bertujuan untuk
mengelolah tanah secara periodik, yakni di setiap 2 – 3 tahun sekali.
ü Mengelolah tanah berlajur. Sistem berlajur di sini
dapat diartikan dengan hanya membajak lajur yang akan ditanam saja.
ü Tanpa pengelolahan tanah. Untuk yang terakhir ini
berarti sama sekali tidak dilakukannya pembajakan tanah. Residu tanaman yang
akan ditanam pada periode sebelumnya dibiarkan mengering begitu saja. Pada
lahan dengan luasan yang cukup sistem tersebut butuh mesin tanam yang tak
biasa, yakni yang bisa menanam di sela-sela residu tanaman yang masih berdiri
tegak.
Mengusir Hama Pertanian Zaman Dulu
Hama,
rupanya masih menjadi persoalan serius bagi petani perdesaan. Tidak sedikit
petani mengeluhkan jenis hama makin tak karuan. Di sisi lain pestisida
pabrikan, selain harganya mahal, kadang juga tak seampuh iklannya. Alhasil, ongkos
produksi dan hasil panen kadang tidak cucok, kata orang Jawa.
Meskipun
tak semengerikan hari ini, binatang perusak tanaman (hama) juga sudah dihadapi
petani zaman dulu. Namun ada yang membedakan, masyarakat zaman dulu belum
mengenal pestisida, dan pupuk (kima) juga belum berkembang seperti hari ini.
Lalu, bagaimana petani zaman dulu mengatasi persoalan binatang perusak tanaman?
Masyarakat
zaman dulu, khususnya di Jawa Tengah percaya bahwa hama: baik itu berupa
belalang, tikus, ulat, dan binatang-binatang lainya sama-sama makhluk hidup di
alam semesta. Keberadaannya sama berharga dengan manusia. Karena itu, untuk
mengatasi binatang-binatang itu tak harus di bunuh.
“Petani
zaman dulu tidak mengenal emes (pupuk urea/kimia). Sesudah selesai selamatan
ngentas-entasake (ritual sebelum tandur) selanjutnya padi dibiarkan saja.
Kalaupun ada hama paling juga ulat, seganas-ganasnya hama dulu itu ada pangan
menthek namanya. Tapi menthek ini dulu ditolak menggunakan gubuk kecil yang
didirikan di pematang (galengan) sawah, itu bisa reda,” tutur Mbah Mariyono,
salah satu petani sepuh Kampung Mranggen, Kec. Kaloran, Temanggung.
Seperti
dikisahkan Mbah Maryono, Menthek merupakan mahkul perusak tanaman. Beberapa
orang dipercaya pernah melihat wujud mahkul ini.
“Menthek
ini ada dua, pria dan wanita yang suka mengutuk padi dengan kata-kata ‘jodangjowet,
jodangjowet’ yang artinya ‘aja adang aja ngliwet pak tanine’ (jangan menanak
nasi) kemudian para petani tirakat tiga hari tiga malam kemudian menthek-nya
ini takut dan berpesan ‘Saya dibuatkan gubuk saja untuk berteduh, saya tidak
akan merusak tanaman padinya lagi’ kemudian tanaman padinya bagus-bagus semua
karena tidak dirusak,” cerita Mbah Maryono.
Ilmu
tanam berdasarkan ilmu perhitungan Jawa menurut Mbah Maryono juga berpengaruh
besar agar tanaman tidak diserang hama. Ilmu perhitungan Jawa itu berbunyi oyot
uwit godhong woh (akar pohon daun buah) kemudian dirangkap dengan hitungan
cocot wadhuk buntut (mulut perut ekor) kalau pas hitungan buntut tidak
terserang hama, kemudian pas hitungan woh itu baik, meskipun tidak lebat
daunnya tapi buahnya bagus.
Tapi
kalau pas hitungan cocot biasanya berbuah saja biasanya sudah diserang hama
tikus, dicocot tikus. Setidaknya kalau pas hitungan wadhuk sehingga hama yang
mau mendekat sudah enggan karena sudah kenyang perutnya, kalaupun ada hama
sekedar makan secukupnya kalau sudah kenyang ya pergi sendiri tidak sampai
merusak tanaman yang lain. Itu hitungan petani yang menggunakan hitungan
kejawaannya.
Mbah
Maryono memberikan contoh, “Misalnya untuk tanaman, pertama pada awal mulai
bertani ada hama uret, jangan dibunuh. Biarkan saja, jangan kuatir ngamuk atau
merusak kalaupun makan ya sekiranya saja. Itu benar. Tikus, jangan diobat
karena itu juga makhluk hidup, caranya kalau pas sore pergilah ke ladang sambil
disangeni.”
“Sangeni
itu sama dengan diajak komunikasi dengan baik-baik, misalnya begini
“tikus-tikus, makan ya makan karena memang kamu bisanya numpang tapi jangan
sampai merusak, saya tidak memasang obat. Sesudah itu tinggal diusir dengan
satu dua kata biasanya akan lari jauh tikusnya. Kalaupun tikus itu makan, ya
sewajarnya saja. Tidak sampai merusak.”
“Zaman
hama walang sangit misalnya. Cukup mengucapkan doa, waktu padi menjelang
menjadi tua kok tiba-tiba banyak yang tidak adak bijinya apus namanya. Nah
kalau saya pas mau menjelang tua saya tirakat tiga hari tiga malam kemudian
mengucapkan doa,” pungkas Mbah Mariyono.
Jadi
sudah jelas ya jawaban di atas tentang bagaimana petani Indonesia zaman dulu
mengolah tanah dan mengusir hama, semoga bermanfaat ya tulisan di https://setapakrainumbei.blogspot.com/
Referensi Tulisan ini diambil dari:
https://bobo.grid.id/read/081897509/dulunya-berburu-sejak-kapan-manusia-bertani-dan-bercocok-tanam?page=all
https://buddhazine.com/mengusir-hama-pertanian-zaman-dulu/?fbclid=IwAR1ev5JSDlQCXyLtIwPoHKfwEXozyzTPPHwBl7Q_5-_wu5z39qKYafBfZ3w