Menteri Keuangan, Sri Mulyani menaikkan tarif cukai rokok |
Jakarta -Penentuan
tarif cukai hasil tembakau setiap tahunnya selalu menjadi permasalahan yang tak
kunjung usai. Sejak Agustus 2020 santer terdengar akan ada kenaikan tarif cukai
hasil tembakau pada 2021. Pada konferensi pers APBN periode Agustus,
Kementerian Keuangan menyebutkan akan mengumumkan kenaikan tarif cukai 2021
pada akhir September atau awal Oktober 2020. Hingga akhir November 2020, tarif
cukai 2021 belum juga ditentukan.
Pembahasan terkait cukai rokok memang cukup kompleks. Terdapat beberapa aspek
yang dipertimbangkan oleh Kementerian Keuangan dalam menentukan efektivitas
kebijakan cukai. Pada konferensi APBN Kita 23 November 2020, Menteri Keuangan
menyampaikan lima aspek yang dipertimbangkan yaitu penerimaan negara,
prevalensi merokok pada anak-anak dan perempuan, dukungan kepada petani
tembakau, pemberantasan rokok ilegal, dan kelangsungan pasar tenaga kerja.
Kerumitan pembahasan ini bertambah karena kondisi pandemi Covid-19 berimbas
pada banyak aspek terutama perekonomian. Setelah melalui pembahasan yang cukup
panjang, pada 10 Desember 2020 pemerintah mengumumkan tarif cukai hasil
tembakau 2021 naik rata-rata sebesar 12,5% yang berlaku mulai 1 Februari 2021.
Kenaikan ini tidak berlaku untuk tarif cukai sigaret kretek tangan (SKT).
Penerimaan Negara
Bila dilihat dalam laporan realisasi APBN, pendapatan cukai pada 2019 adalah
sebesar Rp 172,4 triliun, meningkat 8,04% dibandingkan pada 2018 sebesar Rp
159,6 riliun. Pendapatan cukai ini didominasi pendapatan cukai hasil tembakau
yaitu sekitar 96%. Dalam APBN 2021, pemerintah mematok penerimaan cukai sebesar
Rp 180 triliun. Secara spesifik, target penerimaan cukai hasil tembakau pada
2021 sebesar Rp 173,78 triliun atau lebih tinggi 5,3% dibanding target tahun
2020 senilai Rp 164,94 triliun.
Berdasarkan data historis, tarif cukai hasil tembakau telah meningkat 62,04%
sejak 2015 dengan rincian rata-rata pada 2015 sebesar 8,72% diikuti pada 2016,
2017, 2018, 2020 berturut turut sebesar 11,19%, 10,54%, 10,04%, 21,55%. Pada
2019, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok. Kenaikan tarif cukai hasil
tembakau pada 2021 lebih rendah daripada tahun 2020.
Selama sepuluh tahun terakhir, realisasi penerimaan cukai hampir selalu
mencapai target, kecuali pada 2015 dan 2016. Pada 2020, realisasi penerimaan
cukai juga diprediksi tidak jauh berbeda dari target. Oleh karena itu, dari
aspek penerimaan negara cukai hasil tembakau sudah cukup berkontribusi. Jika
pemerintah ingin meningkatkan penerimaan cukai, dapat diupayakan segera kajian
berkaitan dengan ekstensifikasi cukai seperti cukai untuk gula dan plastik yang
telah lama direncanakan.
Selain itu, upaya simplikasi tarif juga perlu dilakukan agar pungutan cukai
menjadi lebih sederhana dan tidak rawan penghindaran dan penyimpangan.
Pemerintah juga hendaknya tidak hanya fokus pada sisi penerimaan negara, tetapi
juga esensi barang kena cukai sebagai barang yang konsumsinya perlu
dikendalikan dan pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.
Prevalensi Merokok
Menurut data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, prevalensi merokok
penduduk usia >10 tahun menurun dari tahun 2013 sebesar 29,3% menjadi 28,8%
pada 2018. Tetapi, prevalensi konsumsi tembakau pada populasi remaja usia 10 –
18 tahun hasil mengalami peningkatan dari tahun 2013 (7,20%) ke 2018 (9,10%).
Untuk itu, diperlukan sinergi yang baik antara Kementerian Keuangan dengan
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak.
WHO merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar
25% setiap tahunnya agar konsumsi dan prevalensi merokok pada anak menurun.
Tetapi, banyak faktor lain yang dipertimbangkan sehingga pada 2021 kenaikan
tarif tidak mencapai 25%.
Baca Juga:
Mengenal Kota Betun, Ibu Kota Kabupaten Malaka, NTT
Filosofi Berkebun, Semakin Kita Meneguknya, Semakin kita Haus Rasanya
Tugas Terakhir Mahkamah Konstitusi Tangani Pilkada (Gugat Menggugat di MK, dinilai hal lumrah)
Di lingkungan sekitar saya, ditemukan banyak fenomena remaja yang membeli rokok
dengan cara eceran per batang. Hal ini membuat remaja mudah menjangkau rokok
dan perlu mendapat perhatian serius. Larangan menjual rokok untuk anak kurang
dari 18 tahun juga tidak dipedulikan karena tidak ada sanksi yang tegas. Oleh
karena itu, diperlukan penegakan aturan yang lebih serius.
Petani Tembakau
Naiknya tarif cukai rokok selama ini ternyata tidak dirasakan dampaknya oleh
petani tembakau. Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian
Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, petani tembakau memiliki data
tawar yang rendah. Petani harus menanggung kerugian jika ada gagal panen dan
harga jual anjlok. Ditambah lagi adanya tembakau impor yang semakin menekan
posisi petani tembakau lokal.
Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih serius terkait harga beli
tembakau dari petani agar tidak terlalu rendah dan pembatasan impor tembakau.
Perlu tambahan insentif yang diberikan kepada petani tembakau mengingat
tembakau cukup besar kontribusinya dalam penerimaan negara. Selain itu, petani
tembakau dapat mencoba alternatif tanaman lain yang menghasilkan keuntungan
lebih banyak.
Rokok Ilegal
Kenaikan cukai rokok diduga dapat memicu peredaran rokok ilegal. Oleh karena
itu, diperlukan pengawasan dan penertiban yang lebih ketat. Kabar yang cukup
baik adalah hasil survei Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bersama Penelitian
dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Gajah Mada menunjukkan pola penurunan tingkat peredaran rokok
ilegal secara nasional mulai tahun 2016 (12,14%) hingga 2019 (3,03%).
Pada 2020 tingkat peredaran rokok ilegal naik menjadi 4,86% sehingga diharapkan
langkah-langkah penindakan Direktorat Kepabeanan dan Cukai dapat lebih
dimaksimalkan.
Tenaga Kerja
Berdasarkan Data Kementerian Perindustrian 2019, Industri Hasil Tembakau (IHT)
menyerap 5,98 juta tenaga kerja. Tenaga kerja ini banyak terserap di sektor
sigaret kretek tangan (SKT) yang bersifat padat karya. Tetapi, pada kuartal
III-2020 volume penjualan rokok secara industri turun 9,4% secara year on
year menjadi 70,2 miliar batang. Jika kondisi ini terus berlanjut dan
berimbas pada laba industri rokok, PHK masal dikhawatirkan dapat terjadi.
Oleh karena itu, penetapan tarif cukai sigaret kretek tangan (SKT) yang tidak
naik pada 2021 merupakan langkah yang tepat. Tarif Cukai Hasil Tembakau
diharapkan tidak memperparah dampak perekonomian akibat Covid-19. Kebijakan
memang sulit mengakomodasi kepentingan semua pihak. Dibutuhkan sinergi untuk
membuat kebijakan yang win-win solution. Pada akhirnya, semua pihak perlu
mendukung kebijakan ini agar target penerimaan negara dan penurunan tingkat
prevalensi merokok tercapai tanpa merugikan industri rokok, tenaga kerja, dan
petani tembakau.
Rianita Sujarwati mahasiswa D-IV Akuntansi Reguler Politeknik Keuangan
Negara STAN