Arkeolog Titi Surti
Nastiti dalam “Dewi Sri dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia” yang terbit
dalam jurnal Tumotowa Vol. 3 No. 1 (2020),
menjelaskan kata “Sri” diambil dari bahasa Sanskerta, Å›rÄ«. Artinya kesuburan,
kekayaan, keberuntungan, kesehatan, keindahan, dan personifikasi. Śrī juga
biasa dipakai sebagai awalan menyebut nama orang terhormat atau suci, misalnya
Śrī Krisna. Pun dalam bahasa Indonesia, misalnya Sri Baginda.
Dewi Sri dihormati
masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Legendanya di setiap daerah hampir sama,
yakni tentang tumbuhan yang berasal dari tubuh seorang perempuan.
Cerita Dewi Sri tertua
ditemukan dalam teks Tantu Panggelaran yang ditulis pada abad ke-16. Teks ini
berkisah tentang keadaan Pulau Jawa ketika baru diciptakan. Dewa-dewa turun
untuk menyempurnakannya. Termasuk Batara Wisnu dengan Batari Sri yang menjelma
jadi raja di Mdang Gana bernama Sang Kandyawan dan permaisurinya. Pasangan ini
dikaruniai lima orang putra.
Suatu hari, kelima
putranya membunuh burung kesayangan permaisuri. Ajaibnya, dari dalam tembolok
burung itu keluar empat macam biji-bijian berwarna kuning, hitam, putih, dan
merah. Biji berwarna kuning menjadi kunyit, sedangkan biji berwarna hitam,
putih, dan merah tumbuh menjadi padi.
Kendati begitu,
pemujaan terhadap Dewi Sri sudah berlangsung sebelum pengaruh Hindu-Buddha
datang ke Nusantara, yaitu sejak masuknya budi daya padi di Asia pada masa
prasejarah. “Padi merupakan salah satu tanaman budi daya terpenting yang
diperkirakan berasal dari India atau Indocina sekitar 1.500 SM,” tulis Titi.
Kepercayaan itu
bertahan menghadapi perubahan sosial dan agama. Bukti pemujaan Dewi Sri pada
masa Hindu-Buddha bisa dilihat di Kompleks Candi Barong terdapat dua arca Dewi
Sri. Kedua arca itu terbuat dari batu.
Arca Dewi Sri pertama
duduk dalam posisi paryangkasana di atas padmasana (singgasana teratai).
Tangannya empat. Tangan kanan depan seperti tengah memberi anugerah. Tangan
kiri depan diletakkan di atas pangkuan dengan telapak tangan terbuka. Tangan
kanan belakang memegang kamandalu (kendi). Tangan kiri belakang memegang
setangkai padi.
Arca Dewi Sri kedua
dalam posisi duduk bersila di atas padmasana. Namun, bagian atasnya tak utuh
lagi. Tangannya dua. Tangan kanan memegang kamandalu. Tangan kiri memegang
sebatang padi. Memakai kiritamakuta (mahkota), anting, kalung, kelat bahu,
gelang siku, dan channawira (tali yang diselempangkan menyilang di antara buah
dada).
Menurut Titi, arca Dewi
Sri di Candi Barong berbeda penggambarannya dengan Dewi Sri di India. Dalam
kepercayaan Hindu, Dewi Sri merupakan sakti atau pasangan Dewa Wisnu. Namun,
pengarcaannya di Indonesia lebih mirip dengan Wasudhara, yang dalam agama Hindu
disebut Bhudewi (dewi kesuburan) atau sebagai sakti Dewa Kuwera (dewa
kekayaan).
Penggambarannya
mengawinkan konsep Dewi Sri dalam agama Hindu dengan dewi kesuburan atau dewi
padi yang sudah lebih dulu dikenal masyarakat Nusantara sejak masa prasejarah.
Arca Dewi Sri dari perunggu. Salah satu tangannya membawa setangkai batang padi. (Wikipedia). |
Dewi Hariti, Dewi Kesuburan
Sosok perempuan lain
yang memiliki peran serupa dengan Dewi Sri adalah Dewi Hariti. Dalam mitos
Buddha, Hariti semula seorang yaksi atau raksasa yang suka membunuh dan memakan
anak-anak. Setelah diberi wejangan dharma oleh Buddha, yaksi itu sadar dan
ditahbiskan sebagai Hariti atau dewi kesuburan dan pelindung anak.
Dewi Fadhilah
Soemanagara, arkeolog Universitas Indonesia, dalam tugas akhir sarjananya
berjudul “Penggambaran Hariti di Jawa dan Bali (Abad ke-7-15 M)”, menjelaskan,
peran Dewi Hariti dalam masyarakat Jawa Kuno selain sebagai dewi kesuburan dan
pelindung anak, sangat mungkin disamakan dengan Dewi Sri. Sebagian besar
masyarakat bekerja di lahan pertanian. Peran Hariti pun dibutuhkan untuk
melancarkan usahanya.
“Tidak hanya untuk
kesuburan perempuan dan kesejahteraan keluarga tetapi juga kesuburan tanah
pertanian dan hasil panen,” tulis Dewi.
Sementara itu, Edi
Triharyantoro, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam “Pemujaan Hariti di
Trowulan” yang terbit dalam Berkala Arkeologi, menyebutkan bahwa pemujaan
terhadap Hariti sebagai dewi kesuburan bisa ditemui di beberapa belahan dunia.
Selain di India, Hariti juga dikenal di Tibet, Cina, dan Jepang. “Pemujaan
terhadapnya bersifat universal,” catat Edi.
Dewi mencatat, mitologi
Hariti dimulai di India sejak sekira abad ke-2. Pengaruhnya sampai ke Asia
Timur. Jepang mendapat pengaruh dari Cina. Baru kemudian sampai di Indonesia,
yakni Jawa Kuno, Bali Kuno, dan Sunda.
Pemujaan terhadap
Hariti dituangkan dalam bentuk arca maupun relief candi. Penggambarannya bisa
dijumpai di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Relief Hariti bisa
ditemukan di dinding lorong pintu masuk sebelah utara Candi Banyunibo,
Yogyakarta dan di lorong pintu masuk ke bilik di Candi Mendut, Magelang. Kedua
candi itu diperkirakan dibangun pada awal abad ke-9.
Di Candi Banyunibo,
Hariti digambarkan dalam posisi duduk virasana (bersila) dan sikap tangan varamudra
(memberi anugerah). Di dekat kakinya, lima anak duduk berjejer, seorang di
kanan dan empat di sebelah kiri. Anak-anak itu berjongkok dan merapat satu sama
lain, kecuali seorang anak di sebelah kanan yang duduk miring bersandar pada
Hariti. Dua anak lain sedang memanjat pohon.
Berbeda dari relief
Hariti di Candi Banyunibo yang terpotong bagian kepalanya, di Candi Mendut
kondisinya masih utuh. Hariti duduk bersimpuh di atas padmasana. Ia memangku
seorang anak. Di sebelah kanannya, tumbuh pohon kalpataru dengan seorang anak
memanjatinya. Delapan anak bermain di bawah pohon itu.
Di sebelah kiri Hariti
juga tumbuh pohon kalpataru. Seorang anak memanjat dahannya. Empat anak bermain
di bawah pohon itu.
Menurut Dewi, Hariti
adalah cerminan dari masa lalu di Jawa bagaimana sosok perempuan sebagai
dirinya sendiri dan ia sebagai seorang ibu yang dapat merangkap banyak peran.
“Hariti sebagai dewi minor kesuburan dan pelindung anak merangkap sebagai dewi
ibu,” catatnya.
Dalam perkembangannya,
menurut Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam “Kisah-kisah
dan Kepercayaan Rakyat di Seputar Kepurbakalaan” yang terbit dalam Paradigma:
Jurnal Kajian Budaya Vol. 2, No. 1 (2011), orang Jawa yang tinggal di sekitar
Candi Mendut percaya apabila ada pasangan menikah yang belum juga dikaruniai
anak, maka pasangan itu harus meditasi dan datang mengadu kepada Atawaka (si
suami) dan Hariti (si istri) di Candi Mendut. Tujuannya untuk memohon berkat
agar segera mendapat keturunan.
Asal-Usul Pemujaan Kesuburan
Secara umum, pemujaan
kesuburan telah dikenal sejak zaman Batu Tua Akhir di daerah Eropa Timur dan
tengah. Pada waktu itu dihubungkan dengan pemujaan terhadap dewi ibu.
Munculnya pemujaan
terhadap kesuburan berawal dari perasaan takjub dan ketidakpahaman manusia
terhadap proses-proses yang terjadi di alam semesta. Misalnya, tentang
kelahiran, baik kelahiran manusia maupun binatang.
Tokoh ibu lalu dianggap
sebagai sumber penyebabnya. Itu berbekal dari pengamatan keseharian mereka
bahwa perempuan atau ibulah yang melahirkan.
“Jalan pemikiran mereka
masih sederhana, maka pencarian terhadap sebab-sebab itu juga bersifat sederhana,”
tulis Edi.
Ketika manusia mulai
bercocok tanam, pemujaan terhadap dewi ibu atau dewi kesuburan ini menjadi
semakin penting. Dewi ibu dianggap sebagai personifikasi dari tanah, tempat
tumbuhnya tanaman yang dibutuhkan manusia.
***
Referensi
Catatan Histori:
https://historia.id/kuno/articles/dewi-sri-dan-hariti-dalam-masyarakat-jawa-kuno-P1op2/page/1