Didirikan oleh seorang perwira intelijen Jepang untuk melawan militer Belanda di utara Sumatra, Barisan Harimau Liar berakhir sebagai gerombolan perampok.
“Biasanya semua
dilakukan oleh kelompok-kelompok itu dengan menggunakan alasan demi kepentingan
revolusi,” ungkap jurnalis sejarah Mohamad TWH.
Salah satu nama
kelompok itu adalah Barisan Harimau Liar (BHL). Menurut sejarawan Aiko Kurasawa
dalam Sisi Gelap Perang Asia,
sejatinya BHL didirikan oleh Kapten Tetsuro Ino’ue, seorang perwira intelijen
tantara Jepang. Dalam arsip Ministerie
van Defensie Belanda No. Inventaris 2037 disebutkan bahwa Inoe’ue merupakan
anggota perkumpulan rahasia Naga Hitam.
Naga Hitam adalah
kelompok ultranasionalis paramiliter Jepang yang didirikan pada 1901 oleh
Ryohei Uchida. Dalam gerakannya mereka menerbitkan jurnal dan menginsiasi
berdirinya sekolah-sekolah pelatihan spionase. Dari sisi kebijakan politik,
Naga Hitam juga melakukan penekanan kepada para politisi Jepang untuk
mengibarkan panji Pan-Asianisme.
Dalam struktur resmi
tentara Jepang, Ino’ue merupakan sekretaris komandan pasukan di
teritorial Letnan Kolonel Matsuma. Dia kemudian diangkat menjadi Kepala Bagian
Polisi Sumatra lalu didapuk menjadi bunshutjo (regent) Serdang.
Saat menjabat sebagai bunshutjo
Serdang itulah, Ino’ue membentuk teishintai (pasukan sukarela). Di kalangan
orang Sumatra Utara, pasukan itu lebih dikenal sebagai Barisan Harimau Liar.
“(Ino’ue) menunjuk
Jakob Siregar sebagai salah satu komandannya,” ungkap Kurasawa.
Ketika militer Jepang
menyerah kepada Sekutu, Ino’ue melarikan diri dari kedudukannya dan
menggabungkan diri dengan BHL. Dia lantas mengambilalih secara langsung organ
bersenjata yang dibentuknya tersebut dan memimpin perlawanan terhadap Belanda
di pegunungan Karo.
Sebagai badan
kelasykaran yang tidak terhubung dengan TNI, BHL menjalankan program
perjuangannya secara mandiri. Di kalangan orang-orang Karo saat itu, BHL tak
lebih dikenal sebagai organ liar yang para anggotanya berprilaku sangat brutal.
Hal itu terbukti saat mereka membantai 3.000 tawanan Sekutu yang dibebaskan
dari kamp Sumatra Timur.
Selanjutnya BHL lebih
populer sebagai gerombolan liar yang hobi-nya merampok dan memeras rakyat
sipil. Aksi mereka semakin menjadi-jadi kala dipimpin oleh seorang penjahat
kambuhan bernama A. Simarmata yang merupakan “murid” langsung dari Ino’ue.
Sesekali memang mereka melakukan penyerangan terhadap patroli-patroli Belanda,
namun kebanyakan mereka bentrok dengan kaum pejuang lainnya seperti pasukan
Mayor Bedjo, musuh bebuyutan BHL.
Simarmata juga memiliki
hobi menyerang unit gerilyawan Republik lainnya lalu melucuti senjata mereka.
Salah satu pasukan yang pernah menjadi mangsanya adalah rombongan kecil para
perwira TNI yang akan bertugas di Sumatra. Selain senjata, para perwira muda
yang baru saja lulus dari Akademi Militer Yogya itu juga harus merelakan
barang-barang berharga pribadi mereka dijarah Simarmata dan anak buahnya.
Letnan Dua R.F.
Soedirdjo adalah perwira TNI itu yang barang-barang pribadinya sempat disikat
oleh BHL. Begitu membekasnya akibat penjarahan itu hingga membentuk “dendam
yang membatu” dalam dirinya terhadap gerombolan tersebut.
Setelah revolusi
berakhir, pemerintah RI memerintahkan TNI untuk melakukan “bersih-bersih”
terhadap sisa-sisa laskar yang tak mau bubar namun kerjaannya hanya meresahkan
masyarakat semata. Salah satu laskar yang harus dimusnahkan itu adalah BHL
pimpinan Simarmata yang kerjaannya merampoki kendaraan-kendaraan yang melintasi
Jalan Pematangsiantar—Parapat.
Tugas pembesihan itu
ternyata jatuh kepada Batalyon 104 pimpinan Mayor Maraden Panggabean. Pucuk
dicinta ulam tiba, saat itu Letnan Dua R.F. Soedirdjo merupakan ajudan dari
Mayor Panggabaean. Maka terbukalah jalan untuk “membalaskan dendam pribadi”
itu.
Singkat cerita, bersama
Mayor Pangabean dan pasukannya, Soedirdjo lantas ikut menyerang markas BHL
Simarmata yang bermarkas di hutan antara Tigadolok dan Aek Nauli. Penyerbuan
itu berlangsung singkat karena para anggota BHL langsung menyerah. Kendati
demikian, Simarmata berhasil lolos.
Rupanya saat para
prajurit Batalyon 104 sibuk melucuti anak buahnya di halaman markas BHL,
Simarmata tengah tidur di suatu ranjang khusus yang bisa dilepaskan secara
otomatis. Begitu tahu markasnya diserang, dengan satu atau dua kali terguling,
secara otomatis dia langsung jatuh ke dalam lembah dan langsung lari memasuki
hutan.
“Suatu cara melarikan
diri yang sangat jenius, yang tentunya dipelajari sewaktu dia masih dalam
pasukan “Talapeta” asuhan Ino’ue…” ungkap Panggabean dalam otobiografinya, Berjuang
dan Mengabdi.
Namun tak lama setelah
penyerangan markas BHL itu, Simarmata yang tidak lagi memiliki anak buah,
memutuskan untuk menyerahkan diri kepada suatu pos Mobil Brigade Polisi.
Mengapa dia lebih memilih untuk menyerah kepada polisi?
“Katanya, dia takut
menyerah kepada Batalyon 104…” ungkap Panggabean.
Lihat Juga:
7 Pahlawan Dibalik Kemerdekaan Negara Indonesia Yang Sering Terlupakan