Banjir Jakarta |
Banjir memang tak bisa dilepaskan dari politik.
Banjir bukan sekadar soal air yang menggenangi sejumlah kawasan. Banjir terkait
erat dengan berbagai langkah pembangunan yang diambil pemerintah. Tentu saja
ada aspek politik di situ. Tapi lebih dari itu, banjir terkait erat dengan
citra politik pemimpin daerah, khususnya di kota-kota besar. Karenanya menarik
untuk memperhatikan bagaimana publik dan politikus merespons kejadian banjir.
Ketika banjir merendam berbagai daerah, khususnya
Kalimantan Selatan, Presiden Jokowi mengingatkan masyarakat untuk waspada
dengan cuaca ekstrem. Ringkasnya, di mata pemerintah banjir disebabkan oleh
cuaca ekstrem, yaitu tingginya curah hujan. Anggapan itu ditolak oleh aktivis
lingkungan. Mereka menuding, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam yang
berlebihan menyebabkan banjir. Bantahan itu didukung oleh analisis Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang menjabarkan bahwa selama 10
tahun terakhir memang telah terjadi penurunan luas hutan sebanyak ratusan ribu
hektar, beralih fungsi menjadi wilayah perkebunan.
Hal yang senada diucapkan oleh Gubernur DKI Jakarta
Anies Baswedan. Seperti tanggapannya terhadap banjir besar tahun lalu, Anies
juga mengatakan bahwa cuaca ekstrem adalah penyebab banjir. Pernyataan itu
ditambah pula dengan pernyataan soal air kiriman dari hulu (Bogor). Ia terus
menerus menampilkan data yang mencitrakan bahwa situasi banjir di Jakarta terus
mengalami perbaikan selama pemerintahannya. Artinya, tak ada yang salah dalam
kebijakan pembangunan di Jakarta.
Apa yang bisa pahami dari pernyataan-pernyataan itu?
Banjir adalah soal alam. Solusinya, serahkan pada alam. Berharaplah agar cuaca
ekstrem tak terjadi, sehingga banjir pun tidak akan terjadi. Kita tidak bisa
berharap ada tindakan nyata untuk mencegah terjadinya banjir di masa mendatang.
Persepsi publik terhadap banjir beragam. Banyak
orang menganggap banjir memang terkait langsung dengan hujan lebat. Kalau turun
hujan lebat lalu banjir, itu adalah persoalan alami yang tidak perlu dikeluhkan.
Cukuplah anggap itu sebagai musibah. Jarang ada kesadaran soal banjir yang
merupakan tanda buruknya ekosistem yang disebabkan oleh perilaku manusia.
Penduduk di daerah yang tidak ramai tidak
menghubungkan banjir dengan berubahnya fungsi lahan. Mereka pun tak menganggap
perubahan fungsi lahan sebagai sesuatu yang negatif. Di kota-kota besar seperti
di Jakarta banjir tak dikaitkan dengan kesadaran soal pembangunan yang
mengabaikan perhitungan soal aliran air, atau perilaku manusia. Tersumbatnya
saluran air oleh sampah-sampah yang dibuang sembarangan oleh penduduk kota,
atau oleh sempitnya tepi sungai akibat adanya pemukiman manusia di situ.
Lihat Juga:
Bagaimana Belanda Mengurus Banjir di Batavia?
Kambing Hitam Bencana Selain Tuhan
Tapi bukankah soal banjir ramai diperbincangkan di
media sosial? Betul. Tidak hanya di media sosial, di TV juga banyak dibahas.
Tapi perbincangan dan pembahasannya hanya berputar pada saling tuding berbasis
suka atau tidak. Yang tidak suka pada Anies tentu terus menyoroti banjir
sebagai tanda kegagalan pemerintahannya. Yang mendukung Anies terus mengatakan
bahwa Anies sudah bekerja keras mengatasi banjir, dan sudah berhasil melakukan
berbagai perbaikan.
Ada perdebatan konyol antara Wakil Gubernur DKI dan
staf khusus Kementerian PUPR. Mereka berdebat soal apakah banjir di Jakarta itu
ditangani dengan baik atau tidak. Wakil Gubernur mengklaim sudah menangani
dengan baik, tapi klaim itu dibantah oleh staf kementerian. Ini apa sih? Dua
pihak di pemerintahan saling klaim dan saling tuding. Artinya, banjir ini bagi
mereka lebih merupakan komoditas politik ketimbang masalah yang harus dicarikan
solusinya secara bersama.
Di Jawa Tengah terjadi banjir dua kali dalam waktu
berdekatan. Apa tanggapan Gubernur Jawa Tengah? Melalui akun Twitter-nya Ganjar
Pranowo menanggapi singkat: "Itu salah saya." Tanggapan itu menuai
pujian. Ganjar dianggap ksatria karena tidak menyalah-nyalahkan pihak lain. Ia
adalah gubernur yang bertanggung jawab.
Pemuji Ganjar mungkin lupa bahwa Ganjar sudah lebih
dari enam tahun jadi gubernur. Apa yang sudah dia buat untuk mencegah banjir di
daerahnya? Itu seharusnya dituntut untuk dijabarkan, guna menilai bagaimana
kinerjanya dalam penanganan banjir. Tapi bagi orang banyak itu tak penting.
Yang penting Ganjar sudah bersikap berbeda dengan Anies. Padahal dalam konteks
substansi penanganan banjir, mereka berdua sama saja.
Bagi pengelola negara, pemimpin daerah maupun
pemerintah pusat, banjir adalah isu politik yang tanggapannya cukup diberikan
di tingkat komunikasi politik. Bagi publik, banjir adalah bahan baku untuk
ungkapan-ungkapan di media sosial, guna memuaskan rasa suka dan tidak suka.
Baik bagi pemerintah maupun publik, banjir tidak akan diperbincangkan secara
serius, untuk diikuti dengan gerakan perubahan. Kita hanya akan menunggu air
surut dan berharap tidak turun lagi hujan lebat.
Sampai jumpa di musim banjir berikutnya.
By: Hasanudin Abdurakhman - detikNews
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom) |
***
Referensi Artikel:
https://news.detik.com/kolom/d-5475791/politik-banjir?tag_from=wp_nhl_18