Banjir dan longsor di Sumatra Barat |
Banyak orang, ketika
mendapat sebuah musibah,
Baik karena sakit, kematian, maupun ditimpa oleh bencana alam
Akan berujar: “Mungkin ini sudah kutukan dari Tuhan”
Artinya setiap kemalangan yang menimpa dirinya
Cendrung ditafsirkan sebagai efek dari kemarahan Tuhan
Dan Tuhan marah, disebabkan karena dia melakukan kesalahan
Telah melanggar aturan Tuhan.
Itu padangan lama.
Sekarang sudah ada pandangan baru.
Dalam pandangan baru,
Bencana Alam dengan kutukan Tuhan, tidak ada hubungannya.
Bencana ya bencana, kutukan Tuhan ya kutukan Tuhan.
Korelasinya secara sebab akibat benar benar tidak ada
Bencana alam, terjadi karena pergeseran alur fenomena dari hal biasa.
Misalanya sebelumya sebuah gunung diam diam saja
Dia hanya duduk manis di posisinya.
Tapi suatu kali, karena ada perubahan alur mekanisme dalam tubuhnya,
Maka dia memuntahkan lahar keluar
Lalu lahar itu menimpa sebuah kampung
Nah,
Semburan lahar yang menimpa sebuah kampung,
Tidak ada hubungannya dengan apa yang dilakukan oleh penduduk sekitarnya.
Tidak ada hubungannya dengan kutukan Tuhan.
Begitu juga dengan bencana alam lainnya semisal gempa dan tsunami.
Tapi bagi mereka yang tolol, bencana alam, identik dengan kemarahan Tuhan.
Padahal, keduanya berbeda.
Bencana Alam, adalah produk mekenisme hukum alam itu sendiri.
Sedang kutukan Tuhan, adalah produk manusia.
Diciptakan oleh angan angan manusia yang menciptakan Tuhan.
TAK ada selembar daun jatuh tanpa izin Tuhan.
Ungkapan itu menyiratkan segala sesuatu terjadi atas
campur tangan Tuhan. Umat beragama meyakini itu.
Pun, orang beragama percaya bencana terjadi atas
kehendak Tuhan. Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, tanah longsor di Sumedang,
gempa di Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan melanda Indonesia terjadi
atas kehendak Tuhan.
Jika Tuhan sudah berkehendak, doa umat beragama pun
tak sanggup mencegah bencana. Ketua Badan Musyawarah Betawi Rahmat HS
mengatakan banjir di Jakarta, 23 Februari 2020, terjadi pada Minggu atau hari
libur berkat doa gubernur saleh. Dua hari kemudian atau Selasa, 25 Februari
2020 banjir melanda Jakarta. Doa gubernur saleh pun tak mampu mencegah bencana
banjir terjadi di hari kerja.
Meski atas kehendak Tuhan, umat beragama tak mungkin
mengatakan Dia penyebab bencana dan kemudian mempersalahkan-Nya. Oleh karena
itu, dalam setiap bencana, kata jurnalis Eric Weiner, kita memerlukan orang
untuk dipersalahkan selain Tuhan. Eric menyatakan itu dalam bukunya, The
Geography of Bliss.
Mencari orang untuk dipersalahkan dalam setiap
bencana serupa mencari kambing hitam. Bencana menghadirkan krisis dan
ketakutan. Kata antropolog Rene Girard, pengambing hitaman (scapegoating)
menjadi mekanisme kuno untuk mengatasi krisis dan ketakutan.
Kita pun mempersalahkan Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan atas banjir yang kerap melanda Jakarta. Pula,
kita mengambinghitamkan Tiongkok atas bencana nonalam, pandemi covid-19.
Kita mempersalahkan regulator atas kecelakaan pesawat.
Presiden Jokowi mengatakan banjir Kalsel karena
curah hujan tinggi. Agama mengatakan Tuhan yang menurunkan hujan. Akan tetapi,
kita menyalahkan pemerintah daerah yang tidak mempersiapkan sarana dan
prasarana untuk mengantisipasi curah hujan tinggi itu sehingga terjadi banjir.
Lagi, kita mempersalahkan manusia.
Baca Juga:
5 Bencana Melanda Indonesia di Awal Tahun 2021
Bencana datang silih berganti di awal tahun 2021 (Sajak Duka Negeriku Indonesia)
Walhi Kalsel mengatakan banjir di Kalsel bukan cuma
karena cuaca ekstrem, melainkan juga lantaran rusaknya ekologi di Tanah
Borneo. Yang merusak ekologi siapa lagi kalau bukan manusia. Tetap manusia yang
dipersalahkan.
Umat beragama paling banter mengatakan Tuhan
menurunkan bencana sebagai hukuman dan peringatan buat manusia. Bencana
diturunkan ke muka Bumi, kata Ebiet G Ade dalam lagunya, mungkin karena
Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan
dosa-dosa. Manusia juga yang salah. Sekali lagi, kita memerlukan orang
untuk dipersalahkan dalam setiap bencana, selain Tuhan.
Mempersalahkan manusia sebetulnya baik. Ini membuat
kita tidak pasrah, tidak taklid. Bila kita menganggap bencana sepenuhnya
kehendak Tuhan, kita boleh jadi menerimanya begitu saja, tak berbuat apa-apa.
Ini membuat kita memperlakukan bencana sebagai takdir. Mempersalahkan manusia
menunjukkan kehendak Tuhan berproses melalui tangan manusia sampai ia menjadi
bencana. Kehendak Tuhan menurunkan hujan dalam curah sangat tinggi menjadi
bencana dahsyat karena kita tidak merawat hutan. Kehendak Tuhan menurunkan
cuaca ekstrem tidak menjadi bencana banjir andai manusia merawat hutan alias
bersahabat dengan alam. Bencana terjadi, kata Ebiet lagi, mungkin karena alam
enggan bersahabat dengan kita.
Memperlakukan bencana dari Tuhan sebagai sesuatu
yang berproses membuat kita berbuat, berusaha, bertindak.
Kita, misalnya, melakukan mitigasi bencana untuk mengurangi risiko
bencana. Bencana bukanlah takdir karena ia bisa dikelola dan dimitigasi tangan
manusia.
Janganlah kita tinggal di kawasan yang
diidentifikasi rawan tanah longsor. Bikinlah bangunan tahan gempa di daerah
rawan gempa. Buatlah sistem peringatan dini tsunami. Auditlah kelaikan pesawat
secara berkala. Itu semua mitigasi bencana untuk mengurangi bahkan menghindari
risiko bencana.
Sumber:
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2045-kambing-hitam-bencana-selain-tuhan
https://www.kompasiana.com/revosamantha/54f843dba333113b618b4ce7/menampar-kutukan-tuhan-dan-bencana-alam
Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group |
Editorial