Secara filosofis, tidak ada yang baru dari kebijakan
Merdeka Belajar. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menawarkan
pendekatan kebijakan pendidikan yang sebenarnya adalah replikasi dari gerakan
serupa di masa lalu. Bedanya, jika sebelumnya gerakan itu ada di posisi yang
kerap berlawanan dengan negara, kini negara mengadopsinya sebagai upaya
korektif terhadap dirinya sendiri.
Ki Hajar Dewantara melalui tulisan-tulisannya di era
1920-1930-an telah menggagas sistem pendidikan "nasional"
memerdekakan. Tidak hanya dalam proses, tetapi juga dalam hasil keluarannya:
individu-individu yang juga merdeka pikirannya.
Dalam Pendidikan dan Pengajaran Nasional, salah
satu tulisannya yang dibukukan di dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian I:
Pendidikan, Ki Hajar menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah "…memerdekakan manusia sebagai anggauta
persatuan (rakyat)." Yang dimaksud dengan manusia merdeka, menurut Ki
Hajar, ada tiga macam, yakni berdiri sendiri (zelfstandig), tidak bergantung kepada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur
dirinya sendiri (vrijheid,
zelfbeschikking).
Misi utama Ki Hajar mendirikan Perguruan Taman Siswa
adalah mendirikan sistem yang mencerminkan karakteristik yang tepat dengan
minat dan kemampuan sebagian besar masyarakat Hindia Belanda. Misi tersebut
merupakan antitesis terhadap sistem pendidikan segregasif yang dibedakan
berdasarkan kondisi sosial ekonomi dan bahasa-kerja. Sekolah-sekolah swasta,
yang banyak dikategorikan sebagai wilde schoolen (sekolah-sekolah
liar) oleh pemerintah kolonial, berusaha menemukan model pendidikan
"nasional". Taman Siswa adalah salah satu contoh nyata pendidikan
"alternatif" yang melawan kekuasaan hegemonik.
Di era kolonial, tidak ada gerakan pendidikan yang begitu masif selain yang
dilakukan oleh Taman Siswa. Namun, setelah Indonesia merdeka, Taman Siswa
mengalami masa kemunduran. Semangat Taman Siswa membangun pendidikan nasional
meredup justru ketika negara yang diimpikan itu terwujud.
Pendidikan yang
Melawan
Empat puluh dua tahun selepas Indonesia merdeka,
"perlawanan" serupa Taman Siswa muncul lagi di Sleman. Di sana, Y.B.
Mangunwijaya memulai proyek laboratorium pendidikan yang ia beri nama Dinamika
Edukasi Dasar (DED). Laboratorium ini mengembangkan gagasan "pendidikan
memerdekakan". Menurut Mangunwijaya, agar mampu memerdekakan, pendidikan
haruslah menyenangkan. Rasa senang lahir dari prinsip-prinsip kreatif, inovatif,
dan kritis. Gagasan itu kemudian dimanifestasikan dalam bentuk sekolah dasar di
Dusun Mangunan, Berbah. Mangunwijaya menamainya Sekolah Dasar Eksperimental.
Gagasan dan praktik pendidikan Mangunwijaya tentu
saja bukan hal yang baru. Ia mereplikasi gaya Taman Siswa. Gagasan dan praktik
Ki Hajar sendiri mengadopsi pemikiran Montessori dan Rabindranath Tagore.
Menurut Agus Suwignyo dalam Pendidikan, Kekuasaan, dan Kolonialisme (2019),
menyitir wawancara Dhaniel Dhakidae, DED adalah bentuk kritik Mangunwijaya
terhadap Taman Siswa era pascakemerdekaan yang dianggap telah tergerus
nilai-nilai luhur pendidikannya.
Pada 1989, dua tahun setelah program DED diinisiasi,
tengah ada perbincangan pendirian Sekolah Bibit Unggul yang akan didirikan di
Magelang. Konsep pendidikannya adalah kedinasan militer yang akan mendidik
murid-murid berkualitas untuk menjadi kelompok sipil yang patuh. Sekolah itu
pada akhirnya didirikan pada 1990 dengan nama resmi Kampus Perguruan Taman
Taruna Nusantara.
Perguruan Taman Siswa dan pihak militer, yang
masing-masing mendirikan yayasan sendiri, bekerja sama mengelola sekolah
tersebut. Sekolah Taruna Nusantara, menurut Mangunwijaya, merupakan simbolisasi
dari proyek rekayasa sosial Orde Baru yang menuntut masyarakat menjadi submisif
dengan dalih pembangunan nasional. Soeharto menyakini kepatuhan para elit
terdidik akan juga ditiru masyarakat biasa.
Merdeka Belajar sebagai sebuah kebijakan berupaya
memberikan kebebasan yang pada praktiknya hilang di dalam sistem pendidikan
kita. Semua pihak dengan berbagai kebutuhan layanan pendidikan diajak terlibat
dan menjadi bagian sebuah "gedung megah" bernama pendidikan nasional.
Mereka tidak lagi berdiri di pinggir, tetapi di pusat. Kebijakan ini didesain
untuk memberikan keleluasaan bergerak kepada sekolah untuk melakukan inovasi
pendidikan.
Lihat Juga:
Waspada Hoax Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 12, Perhatikan Alamat Situsnya!
Sekolah dan Balada Corona (Sajak Jalan Setapak), Fenomena Pendidikan di masa pandemi Covid 19
Tantangan Kultural
Terkait kebebasan, di dalam Azas Taman Siswa
1922 Ki Hajar menekankan kebebasan individu, tetapi harus tetap mengacu
pada "tertib-damainya hidup bersama". Kebebasan ala Taman Siswa adalah
kebebasan yang menentramkan dan kemerdekaan yang tahu-batas.
Sayangnya kebebasan yang "tertib-damai"
itu adalah kesepakatan yang sulit dicapai. Perlu dipahami bahwa secara
historis, Indonesia bukanlah komunitas yang merayakan kebebasan individu secara
natural. Sejak pra-kolonialisme hingga era reformasi, masyarakat Indonesia
kerap dipaksa patuh oleh penguasa yang gemar mengatur segalanya.
Di era Orde Baru, misalnya, kebudayaan komunal yang
menyeragamkan dipraktikkan secara masif. Ia memaksakan kebersamaan. Kebebasan
individual ditekan hingga batas terendah. Pasca-Soeharto, masyarakat yang
sekian lama terikat ini bak binatang yang baru dilepas dari kandang. Sebagai
kompensasi dari kekangan masa lalu itu, kebebasan yang didapat digunakan secara
brutal. Identitas individu dan kelompok diekspresikan berlebihan. Masyarakat
Indonesia bergeser dari masyarakat komunal-nasional menjadi komunitas dengan
budaya kelompok sendiri.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana
"spirit" kebebasan tahu-batas, yang didefinisikan secara elitis di
atas, diturunkan ke bawah, ke masyarakat yang berpusat pada kelompok sendiri
tadi. Hal ini jelas bukan perkara mudah. Takdir historis membentuk masyarakat
Indonesia menjadi tipikal masyarakat yang taat pada aturan karena rasa takut.
Rasa takut itu lahir dari represi yang berlangsung sejak dalam pikiran.
Kita harus mengakui bahwa pendidikan menjadi salah
satu alat represi itu. "Tertib-damainya hidup bersama" menjadi tujuan
akhir yang mengabaikan proses. Yang penting nurut, entah didasarkan atas
kesadaran atau rasa takut. Sialnya, yang disebut terakhir ini yang sering kita
temui.
Kita dapat bercermin kepada Finlandia. Negara itu
menghabiskan waktu lebih dari 32 tahun untuk mereformasi sistem pendidikannya.
Separuh waktunya dipakai untuk merancang kebijakan dan separuh lainnya untuk
menyelesaikan persoalan implementasi. Yang terakhir ini terkait erat dengan
perubahan kultural masyarakatnya. Misalnya, bagaimana mereka berusaha mereka
mengubah paradigma pendidikan akademik yang dianggap lebih baik daripada
pendidikan vokasi dan mengedepankan pelayanan pendidikan berbasis equity dibanding equality.
Kita sedang berupaya mewajarkan kemerdekaan belajar.
Negara mengajak semua elemen masyarakat melakukan perlawanan terhadap represi
kebebasan berpikir. Hal terpenting yang mesti dilakukan negara adalah secara
konsisten memberikan ruang kebebasan itu. Negara hanya perlu mengarahkan ke
mana masyarakat perlu pergi, bukan menentukan dengan cara apa tujuan bersama
itu dicapai.
Jalan pendidikan kita sudah benar. Hanya saja, untuk
melewatinya, kita akan tersandung dan sesekali jatuh.
Irawan Santoso Suryo Basuki penggiat klub buku Read.Discuss.Repeat dan peneliti kebijakan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan