Tiba-tiba, saya teringat dialog grup lawak di TV
beberapa waktu lalu.
“Apa penyebab banjir?”.
Pancingan dari salah satu pelawak.
Teman-temannya berebut menjawab.
Ada yang menjawab sampah, penduduk terlalu padat,
sungai kotor, dan banyak lainnya yang kelihatannya masuk akal.
Tapi semua disalahkan si pemancing.
“Yang benar, penyebab banjir itu adalah hujan. Coba
kalau engga hujan, apa terjadi banjir?”.
Itu jawaban guyonan. Jangan ditanggapi terlalu
serius. Terserah anda di posisi mana (atau siapa), jawaban si pemancing justru
menyindir jawaban teman-temannya.
“Menyalahkan” hujan sebagai penyebab banjir, persis
sama dengan “menyalahkan” Tuhan saat musibah tiba. Itu sikap yang tidak
bijaksana. Tuhan tidak suka.
Biasanya, banjir hanya sebentar. Paling lama 1
minggu atau bisa jadi lebih singkat. Tapi bagi yang terdampak, 1 minggu atau 1
jam, cukup membuat menderita. Harta benda hancur, rumah kumuh, kendaraan kena
total lost, aroma busuk. Penderitaan yang berat, moril dan materiil, jiwa dan
raga. Bagi yang tak terkena banjir, jangan coba-coba maidho (mencela). Pasti
salah sasaran.
Untung manusia Indonesia baik-baik. Mudah lupa akan
penderitaan. Mudah memaafkan orang yang menzolimi mereka. Sebentar lagi banjir
akan kering, dan prasyarat dan syarat agar banjir tidak datang lagi, menguap
hilang begitu saja. Semuanya kembali dilanggar. Kesalahan dibiarkan. Tunggu
tahun depan. Banjir akan datang kembali dengan perkasa. Penderitaan berulang
setiap tahun.
Banjir adalah akibat. Jangan menilai sesuatu yang
timbul. Tengoklah apa yang menyebabkan ia muncul. Yang harus dikoreksi adalah
perilaku sebelum banjir melanda.
Kalau selama setahun ke belakang kita tak berbuat
apa-apa untuk mencegah banjir, jangan salahkan curah hujan yang ekstrem. Hujan
adalah berkah. Kemarau panjang, tanpa hujan lebih “menyiksa” manusia. Jadi,
syukurilah hujan.
Apalagi, saat ini teknologi sudah begitu canggih
untuk memprediksi datangnya hujan dengan segala resikonya.
Kuncinya adalah perilaku manusianya. Masyarakat dan
pemimpinnya.
Kalau sungai tak pernah dinormalisasi, tak ada juga
naturalisasi, air hujan tak dimasukkan ke tanah, tak juga dibuat gorong-gorong
ke laut, sampah tak dikelola, kali dibiarkan dangkal dan nyaris tak dikeruk,
waduk kota tak ditambah dan yang lama tak dibersihkan, anggaran pencegahan
banjir dihapus dan dipindahkan ke pos lain yang tak jelas manfaatnya atau
bahkan ditilep untuk keamanan dan kenyamanan posisi, pemimpin jangan salahkan
hujan dan Tuhan bila banjir melanda.
Lihat Juga:
Bencana datang silih berganti di awal tahun 2021 (Sajak Duka Negeriku Indonesia)
Kambing Hitam Bencana Selain Tuhan
Kalau sampah dibuang seenak perut, bantaran sungai
diokupasi menjadi tempat tinggal, selokan di depan rumah tak pernah ditengok,
dan buang air bersih atau kotor tanpa pengaturan yang bijaksana, masyarakat
jangan ikut-ikut menyalahkan hujan dan Tuhan bila banjir menerjang rumah anda.
Biar fair dan adil, kalau banjir tiba mari kita
lihat apa yang dilakukan minimal setahun ke belakang. Apakah sang pemimpin
merencanakan pencegahan dan penanggulangan banjir dan mengeksekusinya?. Apakah
masyarakat berbudaya bersih dan peduli lingkungan?.
Kalau sudah dan banjir tetap menerjang, mungkin
memang saat itu curah hujan begitu lebat dan ekstrem.
Tapi kalau kita tak melakukan apa-apa, terus
menyalahkan hujan bila banjir, hati-hati kualat.
Di mata orang Jawa, banjir adalah sesuatu yang
“dihormati”. “Banjir” mempunyai sinonim dalam tutur “kromo inggil”.
“Jakarta saweg banjir”, (Jakarta sedang banjir)
bukanlah kalimat yang pas diucapkan kepada orang lebih tua.
“Jakarta saweg beno” (Jakarta sedang banjir). Itu
lebih pantas.
Bukan bermaksud menyamakan banjir kali ini dengan
air bah Nabi Nuh. Tapi merenungkan apa yang tertera dalam Kitab Suci, adalah
cara yang tepat untuk melihat diri sendiri ke dalam, tidak hanya keluar.
“Dan sungguh, kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.
Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang
zalim” (Q S 29:14).
“Berfirmanlah Allah kepada Nuh : Aku telah
memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan
kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnakan mereka bersama-sama dengan
bumi” (Kitab Kejadian 6:13).
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku
inspiratif
***
Artikel ini
diambil dari:
https://www.hidupkatolik.com/2021/02/20/51903/penyebab-banjir-itu-hujan.php