Betapa tidak.
Sebagaimana dikisahkan Bernadus Kewuel, seorang warga desa Lewotolok yang
rumahnya tidak jauh dari gereja dan yang selamat dalam musibah itu, hujan turun
sangat lebat sekitar pukul 1.30 pagi waktu Indonesia tengah. Itu adalah hari
minggu Paskah, 4 April 2021, hanya beberapa jam setelah perayaan malam Paskah
di gereja mereka. Di malam Paskah itu, Romo Sinyo da Gomes, Deken Lembata baru
saja selesai bercengkerama dengan beberapa umat seusai misa malam Paskah.
Bernadus belum lama meninggalkan gereja dan balik ke rumah sebelum banjir
bandang itu menerjang dari arah Gunung Ile Lewotolok (https://regional.kompas.com/read/2021/04/09/193211978/cerita-bernadus-selamat-dari-banjir-di-lembata-saya-lihat-banjir-besar)
Suara lirih dan
tangisan seseorang dari video tersebut mengekspresikan perasaan takjub. Betapa
Gereja Stella Maris Lewotolok yang dalam kalkulasi manusia seharusnya hanyut
dan hancur, ternyata masih berdiri kokoh. Hanya bagian belakang gereja itu yang
terkubur lumpur. Menyimak video dan foto, perhatian kita pun tertuju pada
altar, tabernakel dan patung Yesus di Salib yang tampak utuh.
Mungkin teman-teman
sulit membayangkan peristiwa menakjubkan kita. Sebagai orang yang berasal dari
desa yang tidak jauh dari tempat kejadian, saya bisa memberikan gambaran di
sini. Gereja Stella Maris Lewotolok terletak persis di pinggir kali, tidak jauh
dari bibir pantai. Jika kita perhatikan rumah-rumah di sekitarnya yang hancur
dan rata dengan tanah dan gereja Stella Maris masih kokoh berdiri, sulit
rasanya untuk tidak menghubungkannya dengan mukjizat dan tanda-tanda kebesaran
Tuhan.
Alkitab yang Masih Utuh
Alkitab yang selamat dari amukan banjir bandang dan reruntuhan batu di desa Waimatan, Lembata. Foto: Yogi Making/https://www.facebook.com/Eliasmaking |
Mukjizat Tuhan dari
balik bencana tampak tidak berhenti di Lewotolok. Mari kita bergeser ke arah
timur, ke desa Waimatan yang teletak 5,8 kilometer dari gereja Stella Maris
Lewotolok. Ada sebuah keajaiban yang terjadi di sana.
Adalah Yogi Making,
salah seorang relawan mengisahkan kejadian ini di akun facebook-nya (https://www.facebook.com/Eliasmaking).
Kamis, 8 April 2021, Yogi dan teman-teman relawan menyusuri desa Waimatan.
Mereka bekerja keras menemukan puluhan mayat yang masih tertimbun lumpur dan
batu-batu besar. Desa Waimatan yang terletak persis di lereng gunung itu nyaris
terkubur seluruhnya oleh lumpur dan batu-batuan yang runtuh dari lereng gurung.
Desa Waimatan yang tampak hancur diterjang lumpur dan batu-batuan. |
Demikianlah, di tanggal
8 April itu, mata Yogi tertuju pada sebuah buku yang nyaris hancur. Buku itu
tergeletak di atas sebuah batu. Penasaran, Yogi pun mendekat. Dan ternyata ….
Yogi menghela nafas. Sebuah Alkitab tampak tergeletak di atas batu itu. Alkitab
yang nyaris hancur itu ditemukan dalam keadaan terbuka. Dan lebih menajubkan
lagi, bagian Alkitab yang terbuka itu menunjuk ke Kitab Ayub.
Keesokan harinya, Yogi
mendeskripsikan pengalaman ini di laman facebook, katanya, “Sebuah Alkitab saya
temukan terletak di atas batu di lokasi terdampak bencana [di] desa Waimatan,
Kamis, 8/4/2021, kondisinya kotor, penuh lumpur, tetapi dalam posisi terbuka,
persis pada Kitab Ayub yang menulis tentang ‘kesalehan Ayub dicobai’”. Yogi
melanjutkan, “Seluruh harta Ayub dijarah dan dibakar, juga anak-anak Ayub habis
tersapu badai. Dan Ayub dalam cobaan itu berkata, ‘Tuhan yang memberi Tuhanlah
yang mengambil, terpujilah nama Tuhan.’”
Tafsiran Sederhana
Kalau kita perhatikan
Kitab Ayub yang terbuka itu, tampak sebagian besar bab 1 dan dan sebagian besar
bab 7. Itu artinya bab 2–6 dapat dipastikan sudah sobek dan rusak oleh bajir.
Bab 1 dan bab 2 Kitab Ayub berbicara mengenai kesalehan Ayub dicobai, bab 3
tentang keluh kesah Ayub, bab 4–31 tentang percakapan Ayub dengan
sahabat-sahabatnya. Khusus tentang bab 7 yang tampak pada foto, di situ
dikisahkan bahwa “hidup itu berat”.
Apa arti semuanya ini?
Saya mencoba menafsirkannya dari kacamata seorang beriman Katolik. Saya
mengajukan 3 tafsiran berikut.
Pertama, Alkitab yang
tidak hancur tetapi kotor dan berlumpur itu menggambarkan kehidupan kita
sebagai umat Allah. Orang Waimatan yang seratus persen Katolik itu baru selesai
merayakan malam Paskah. Sebagai manusia, mereka dan kita semua adalah makhluk
berdosa. Kita kotor dan penuh lumpur (bdk lagu “Hanya Debulah Aku”, PS
481), tapi kita tidak akan hancur dan binasa. Banjir dan bencana adalah waktu
Tuhan untuk menyucikan dan membersihkan kita. Barangkali seperti yang dikatakan
Yesus kepada Petrus yang menolak kakinya dibasuh di malam perjamuan terakhir,
“Tidak semua kamu bersih” (Yoh. 13:11).
Kedua, bab 1 Kitab Ayub
tentang kesalehan Ayub dicobai sebagaimana tampak di foto itu hendak mengatakan
apa? Emosi dan pikiran saya dibawa kepada saudara-saudara saya di desa Waimatan
yang menjadi korban dan keluarga-keluarga mereka yang masih hidup. Banyak dari
para korban itu adalah para suami, istri dan anak-anak, beberapa anak-anak
kecil nan lugu, anak-anak remaja, kakek dan nenek, juga pasangan muda suami
istri. Seperti yang juga dilakukan Ayub, keluarga yang ditinggalkan pasti
mengajukan gugatan dan protes kepada Allah: mengapa saya, mengapa keluarga
saya, mengapa anak-anak saya, mengapa suami/istri saya, mengapa orang tua saya,
mengapa kampung kami, dan seterusnya.
Pertanyaan dan gugatan
ini akan terus diajukan selama hidup. Akan menjadi pengalaman yang sangat pahit
dan lirih jika tragedi ini dijadikan oleh orang/pihak tertentu untuk memperolok
dan mempermalukan mereka yang terkena musibah.
Dalam situasi demikian,
Kitab Ayub bab 1 yang terbuka itu mengingatkan kita untuk tidak berhenti pada
level meratapi penderitaan atau pun menjauhkan diri dari Allah. Kita tampaknya
diajak untuk terus membaca baris demi baris dari kitab Ayub itu untuk menemukan
kebesaran hati Ayub: mengeluhkan tindakan Allah kepada orang benar (Ayub bab
16) adalah bagian dari dinamika iman, tetapi keyakinan bahwa Allah akan tetap
berpihak (Ayub bab 19), bahwa Allah sebenarnya tidak acuh tak acuh melainkan
peduli dan hadir (Ayub bab 24), bahwa kebesaran Allah tidak akan pernah
terselami secara tuntas (Ayub bab 26), bahwa tujuan sengsara adalah pertobatan
(Ayub bab 36), dan bahwa Allah akan memulihkan keadaan kita dan memperbaruinya
(Ayub bab 42).
Ketiga, bab 7 dari
Kitab Ayub yang terbuka itu mengafirmasi situasi hidup keseharian kita, baik
itu sebelum maupun sesudah bencana alam. Bahwa hidup itu memang berat, bahwa
hidup itu penuh cobaan. “Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan
hari-harinya seperti hari-hari orang upahan?” (Ayub 7:1) Orang-orang yang dekat
dengan Allah saja mendapat cobaan bertubi-tubi, apalagi kita yang masih jauh
dari Allah dan masih membanggakan kedosaan kita.
Hidup pasca bencana
tidak akan pernah menjadi lebih ringan. Cobaan akan datang silih berganti.
Cobaan Kesetiaan kita pada Allah pun akan selalu dipertaruhkan. Di situ kita
mesti mengingat peristiwa Alkitab yang ditemukan nyaris hancur di atas batu di
Desa Waimatan itu. Kita adalah insan yang kotor dan berdebu. Hidup kita akan
terombang-ambing di tengah arus banjir dan percobaan, tetapi berita gembiranya
adalah kepastian bahwa kita tidak akan pernah dihancurkan dan dibinasakan.
Allah akan tetap menatang kita. Dia akan menolong dan memulihkan
hamba-hamba-Nya, supaya kita tidak terus dipermalukan para penghina Tuhan (Bdk 1Kor.
10:13).
Tuhan, terima kasih
atas seluruh peristiwa alam ini. Jadikan kami umat yang senantiasa dekat,
memuji dan memuliakan Dikau, kini dan sepanjang masa (Bdk Mmz. 62: 2-3). Amin
Yeremias Jena, Katekis/Dosen
Unika Atma Jaya, Jakarta
Referensi Artikel ini:
https://www.hidupkatolik.com/2021/04/11/53119/dua-mukzijat-dari-balik-bencana-di-lembata.php