Ia mengeluhkan jika air
di sumur dekat rumahnya tidak bisa digunakan. Kondisi air keruh dan berbau
tidak sedap. Harus beli beras untuk makan dan minuman aqua di kios terdekat dan
air tangki yang disiapkan pemerintah belum maksimal karena banyak permintaan.
Yansintus melanjutkan
bahwa setelah pulang dari pengungsian mereka hanya bisa meratapi kondisi rumah
yang terbengkalai dan hancur karena banjir yang melanda bagian dalam rumah dan
sekitarnya. Ketianggian air saat terkena banjir hampir mendekati satu meter
atau setinggi pinggang.
“Sekarang memang
kami kesulitan air bersih. Sumur gali kami tidak bisa dipakai karena airnya
kotor dan berbau. Untuk makan dan minum memang kami sangat kesulitan,” ucapnya.
Lihat Juga:
Salib Ajaib Caravaca Dikatakan Telah Mengubah Seorang Raja Muslim
Sedih, Gereja Katolik St. Yusuf Lumajang Roboh Akibat Gempa Susulan
Hujan dan Tangis, Sebuah Puisi Duka Untuk Korban Bencana Alam di NTT
Pasca Bencana
Kondisi rumah memang
sangat memprihatinkan. Selain hamparan lumpur di sekeling rumah, juga
tumpukan-tumpulan kayu yang terbawa arus air. Warga sangat sibuk membersihkan
bagian dalam rumah dan menjemur perabot rumah tangga yang terkena banjir.
Sekali lagi Yasintus
menggambarkan bahwa setelah pulang ke rumah, semua yang ada ludes. Pakaian anak
dan orang dewasa tak bisa diselamatkan. Sofa dan perangkat rumah lainnya
terbawa arus.
“Setelah pulang dari
tempat pengungsian kami mulai dari nol karena perabot di dalam rumah terbawa
arus sungai,” katanya penuh iba.
Bantuan Wujud Empati Mengalir
Bantuan kemanusiaan
mengalir untuk para korban bencana banjir. Ada pasokan sembako dan air minum
serta pakaian layak pakai bagi anak-anak dan orang dewasa.
Aliran peduli
kemanusiaan mengalir dari Dandim Belu, simpatisan dari Komunitas Sahabat Mgr.
Gabriel Manek (SMGM) Atambua, dari para donatur yang disumbang melalui Komsos
Keuskupan Atambua.
Salah satu korban
bencana dan ibu rumah tangga, Petronela Luruk Klau juga mengisahkan tentang
derita yang sama karena rumanya terkena banjir. Ia bangga karena banyak orang
menaruh perhatian untuk para korban.
“Inilah beban hidup
yang kami pikul dan memang sangat berat. Setelah kami pulang dan masuk ke dalam
rumah ini kami harus mulai dari nol. Tapi saya senang karena banyak orang
peduli dengan kami yang sekarang lagi menderita ini,” katanya.
Banyak pengungsi masih
bertahan di tempat penginapan karena rumah yang ditinggalkan masih harus
dibersihkan dan butuh waktu yang lama. Juga ada kerusakan-kerusakan yang harus
di diperbaiki.