EMANSIPASI BUKAN SEKADAR ‘LADY BOSS’

EMANSIPASI BUKAN SEKADAR ‘LADY BOSS’



Namaku bukan Kartini
Tapi perjuangan emansipasinya kuwarisi
Semangatku boleh saja melampaui lelaki
Tapi aku tetaplah perempuan
Yang ingin diperhatikan pria
Supaya ada tempat berbagi suka maupun duka

Beberapa kali terlihat seorang ibu dibalut celana jeans, jacket tebal, rambut ikal seleher, mengatur lalu lintas di putaran Senayan. Tegas cenderung galak, sesekali memarahi pengendara tak tertib. Termasuk membentak partner kerjanya, pria tegap berwajah kaku, namun masih kalah garang dari penampilan si ibu yang sekilas menyerupai pria. Di sudut lain  ada remaja putri bergaya tomboy tengah membagi hasil ngamen pada team yang beranggotalan tiga pria. Semua patuh, tepatnya pasrah menunggu jatah tanpa protes.

Kesempatan lain kala di atas bukit Batu Lawang di Cilegon, aku bertemu perempuan setengah baya memanggul karung berisi kelapa. Langkahnya mantap bahkan sempat menyapa sambil tersenyum. Ajaww… aku terkesima! Mendaki bawa tas berisi dompet dan HP saja, nafas serasa patah, Ibu ini bawa sekarung kelapa. Kagum dan sedih beradu dalam benakku menjadi tatap terpana.

Beda dengan ibu pengatur jalan maupun remaja putri ‘bendahara’ pengamen yang  garang bak pria perkasa, perempuan di bukit ini tampil dengan rambut panjang digelung rapi, blus motif bunga dipadukan kulot bahan kain. Memang gurat wajah terasa keras, urat-urat menonjol tertekan beban berat menopang keluarga. Tenaga maupun  semangatnya bisa jadi tak kalah dari pria, tapi bentukannya tetap lembut khas perempuan.

Merujuk beberapa gambaran di atas, melintaslah kata emansipasi yang diperjuangkan R.A Kartini. Jelas bukan hendak menjadikan perempuan terlihat garang. Menyaksikan tampilan perempuan jadi perkasa menyerupai pria pasti  terasa miris. Sama mirisnya manakala bertemu pria gemulai laksana wanita. Namun pada akhirnya kaum perempuan terpaksa menjalani beberapa ‘bagian’ pria karena situasi demi perjuangan keluarga, wah…semakin mirislah. Sebagaimana kerap terlihat di sekitar kita, saking banyaknya kisah ‘pertukaran’ peran tanggung jawab dalam keluarga,  akhirnya terbiasa juga.

Memang ada perempuan mengejar karier akibat merasa punya persamaan hak tadi  dalam meniti jabatan bahkan melebihi pria. Namun tak sedikit pula bekerja tanpa berkehendak mencapai puncak, tetapi karena  terpaksa  sebagai penggerak  ekonomi. Pernah sekali terbacaku goresan menggelitik begini: Bukankah perempuan tercipta dari tulang rusuk? Lalu kenapa sekarang jadi tulang punggung ya?

Hhmmm.., mungkin itu sekadar canda beraroma ironi dan begitulah situasinya! Sampai di sini tak perlu kiranya mengaitkan lagi dengan emansipasi. Kuatir jadi rancu. Sekilas cerita ringan, pernah sehabis shooting di Surabaya kuposting foto di sosial media bersama mini_onsteam. Kunamai begitu, merupakan hasil pemikiran dari jumlah team yang memang ‘mini’ dalam tiap produksi. Sementara onsteam adopsi dari kata Belanda, seharus onze tapi bila dibaca terdengar seolah ons, sehingga artinya kurang lebih, ‘team mini kami’. Berlima saja dan aku satu-satunya perempuan sekaligus menjadi ‘ibu’ (baca: pemimpin) bagi empat pria.

Lalu di bawah foto dalam formasi aku di tengah dengan empat pria mengambil posisi kiri kanan, muncul beragam komentar. Ada dua sangat berkesan dari yang kukenal dekat, salah satunya Erenzt Joseph selalu kupanggil lieve broer menulis begini: “Sesungguhnya iki lanang kabeh” (sesungguhnya ini semua pria). Disusul Fathia Saripuspita, stand up comedian imut  menggemaskan, di mana dulu aku pernah jadi ‘kakak pembimbing’nya selagi summer course di Oxford berkomentar: “Begini nih gue suka.., Lady Boss.. anak buahnya berondong semua” (berondong sebagai kata ganti pria muda)

Yeay…, dua komentar ringan sarat humor meski sedikit butuh ruang interpretasi, membuat terketuk di tanggal 21 April. Inikah salah satu bentuk emansipasi itu? Ketika selalu jadi lady boss diantara pria. Atau justru sudah seperti pria atas nama emansipasi sebagaimana guyonan broer Erenzt tadi? Dalam bekerja aku memang tidak minta diistimewakan sebagai perempuan dan tetap tampil dengan lipstick, perona pipi, mascara, agar tampil menarik, lalu siap berbagi tugas ringan sampai berat sama dijinjing. Barangkali mereka pun kadang lupa aku perempuan, akibat seringkali spontan melakukan pekerjaan bagian pria. Bila itu terjadi, jujur bukan sedang pamer kesetaraan gender apalagi menunjukkan bisa seperti mereka. Sama sekali tidak!  Justru muncul dari relung jiwa  perempuan sejati, teringat  dua anak menanti di rumah.

Dalam ruang berpikirku yang dangkal-dangkal keruh ini, spontan saja ambil bagian dengan asumsi bila membantu team berjumlah mini tadi, pekerjaan bakal lekas tuntas, segera bisa bersenda gurau dengan anak. Simpel kan! Bukan supaya terlihat perkasa berkuasa, meski sangat menikmati jadi lady boss diantara para pria. Bangga diperlakukan sama seperti pria? Tentu saja, terlebih saat menatap wajah-wajah gagah begitu patuh. Puas…!

Eeiitss.. sebentar…, ada kalanya kesetaraan tadi tadi justru menjengkelkan. Sempat terjadi aku dibiarkan tertinggal jauh saat mendaki selepas shooting di Air Terjun Sipiso-piso. Lokasi wisata cantik di Tongging, kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Demi sensasi spektakuler Air Terjun Sipiso-piso, harus menuruni sekitar 500-an anak tangga dan mendaki undakan serupa ketika kembali.  Menghadapi  medan berat untukku sebagai perempuan yang nota bene tidak muda lagi, pastilah saat itu enggan bersentuhan dengan kata emansipasi. Ingin kuteriakin rekan kerja yang mendaki seturut  tenaga serta kecepatan pria muda lalu membiarkanku  tertatih. Tiba  di atas kudapati dia sudah menikmati  es teh manis, sementara aku terengah parah. Masih tersenyum tipis sempat pula dia berseru: “Lama banget jalannya.” Asli tanpa perasaan tapi pasti merasa bahwa inilah persamaan

Bila sedang begini, jelas ingin dibedakan dari pria. Bahkan menuntut diperlakukan sebagai perempuan yang butuh pertolongan, tidak seperkasa pria, berhak  diperhatikan termasuk membawakan tas agar mengurangi beban. Hingga nafasku normal kembali tak terdengar sepotong maaf kecuali kometar ringan: “Sering lupa kamu itu perempuan, soalnya sehari-hari perkasa banget. Kalau kerja selalu dominan.”

Herannya aku kok ikut tertawa dengar komentar yang belakangan. Bisa jadi  karena merasa jadi perempuan plin-plan. Menuntut persamaan saat menguntungkan, sebaliknya ketika kepayahan memaksa diperlakukan istimewa sebagai perempuan. Jadi.., emansipasi seperti apa ya masih relevan di era kekinian?

Sekelebat obrolan ringan bersama sahabatku, Chandra Hadisumarto, sebagai single mom berkarier pula, begini pesan manisnya: “Sebagai ibu, akan kuajarkan anak lelakiku menghargai perempuan.”

Tja..! Singkat, tajam dan efeknya mendalam. Minimal untukku, karena emansipasi itu memang bukan sekadar jadi lady boss kan ya! Kartini zaman now  menghargai diri sendiri, meski terus memperjuangkan persamaan hak, tetap tampil sebagai perempuan sejati. Dan pria sudah selayaknya menghargai perempuan.

Permisiiii…
Ini bukan tuntutan, sekadar gali ingatan
Emansipasi itu persamaan hak
Bukan perkara jenis kelamin  
Wanita tetaplah perempuan sesuai kodrat
Pria tetaplah lelaki sebagaimana tersurat
Saling menghargai satu sama lain



Salam Cinta: Ita Sembiring, Pekerja Seni

 




Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama