Seorang anak menyimak pembelajaran yang disiarkan melalui Televisi Republik Indonesia (TVRI) |
Jauh hari sebelum jatuh
tanggal, flyer sudah banyak beredar di lini media sosial. Sepertinya hal serupa
juga terjadi pada tahun ini. Hal semacam ini sepertinya bukan merupakan suatu
hal yang buruk. Meskipun dilaksanakan secara dalam jaringan, beragam seminar
nasional mengatasnamakan hari pendidikan merupakan sesuatu yang harus
diapresiasi. Pasalnya, kegiatan tersebut mengangkat berbagai macam tema yang
menarik. Salah satu tema yang banyak diangkat adalah permasalahan pembelajaran
daring selama masa krisis yang disebabkan oleh pandemi.
Pembejalaran daring
adalah suatu kelaziman untuk saat ini. Tidak ada pilihan lain kecuali keharusan
untuk beradaptasi dengan cepat. Pembelajaran harus didesain dengan begitu
menarik supaya proses pembelajaran daring tetap mengedepankan pembelajaran yang
penuh makna (meaningful learning) serta
pembelajaran yang membahagiakan (happy
learning). Meskipun kabarnya pembelajaran di luar jaringan atau
pembelajaran di tempat akan segera diniscayakan melalui kenormalan bersyarat,
namun demikian setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi refleksi,
terutama adanya hambatan komunikasi selama pembelajaran daring berlangsung.
Jika merujuk pada
pengertian komunikasi, yaitu adanya proses interaksi antara dua belah pihak
yang biasanya disebut dengan sender (pengirim)
dan juga receiver (penerima) dalam
bertransaksi, entah itu berisikan informasi, simbol, pemikiran dan dalam bentuk
lainnya. Dalam hal kegiatan pembelajaran, maka guru di sini memposisikan diri
sebagai pengirim informasi, pengetahuan dan atau simbol. Sementara siswa
merupakan penerimanya. Bisa juga antara siswa yang satu dengan siswa yang
lainnya melakukan transaksi serupa. Menariknya, sebuah pertanyaan muncul:
Bagaimana dengan proses
komunikasi yang terjadi dalam proses pembelajaran selama daring? Hambatan apa
saja yang muncul untuk kemudian menjadi perhatian? Bagaimana mengatasi hambatan
yang terjadi tersebut?
Ada banyak cendekiawan
yang berteori tentang hambatan komunikasi. Meskipun teori tersebut dinyatakan
dalam komunikasi secara umum. Namun sangat relevan untuk dikaitkan ke dalam
komunikasi yang terjadi dalam kelas selama pembelajaran. Di antara banyak teori,
Wursanto (2005) merupakan teori yang popular di kalangan peneliti di Indonesia
terkait dengan hambatan komunikasi. Ia mengatakan setidaknya ada 3 jenis
hambatan (noise) dalam komunikasi yakni hambatan teknis, hambatan semantik
serta hambatan dalam perilaku atau kemanusiaan.
Hambatan teknis selama
pembelajaran daring di Indonesia sepertinya bukan hal yang rahasia. Ada banyak
daerah yang belum siap menyambut maraknya teknologi di mana itu sangat
dibutuhkan dalam mendukung proses pembelajaran.
Singkatnya, ada banyak
permasalahan teknis (terkait teknologi) entah dari ketersediaan teknologi
pendukung, ataupun kurangnya pengetahuan dalam pemanfaatannya. Oleh dikarenakan
teknologi ini menjadi salah satu acuan keberhasilan pembelajaran selama masa
krisis, maka jika seandainya hambatan teknis masih ditemukan, sudah seharusnya
untk menjadi bahan evaluasi dasar.
Ke depannya, keberadaan
teknologi diperkirakan akan menguasai semua lini kehidupan, maka mempersiapkan
diri sedini mungkin merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, sudah
seharusnya kita belajar dari pandemi ini bahwa pentingnya teknologi dalam
pembelajaran. Tenaga pengajar harus sekuat mungkin dibekali dengan kemampuan
teknologi dasar. Disisi lain, pemerintah juga harus mempersiapkan teknologi dan
sarana pendukung meskipun suatu saat nanti pandemic ini sudah reda.
Selanjutnya adalah
hambatan semantik, hambatan ini muncul dan memiliki hubungan sangat erat dengan
hambatan teknis. Apabila hambatan teknis terjadi, maka hambatan semantik sudah
tidak bisa dihindari. Hal ini terjadi karena kesalahan dalam menafsirkan pesan
selama pembelajaran. Sebagai contoh, dikarenakan keterbatasan jaringan, suatu
pembelajaran online yang dilakukan secara Synchronous,
di mana guru dan pelajar berada dalam satu platform telekonferensi secara
bersamaan, akan tetapi memiliki keterbatasan signal, maka kemungkinan besar
pembelajaran yang berlangsung sangat tidak efektif.
Hasilnya, pesan yang
disampaikan sudah pasti tidak jelas dan menemui noise atau hambatan. Sehingga
memungkinkan pelajar untuk bertanya ulang dan berdiskusi ulang. Yang paling
buruk jika seandainya pelajar salah dalam menafsirkan informasi karena hambatan
yang ditemui melalui simbol atau bahasa yang disampaikan oleh guru. Oleh karena
itu, kedua hambatan ini (teknis dan semantik) sangat erat hubungannya.
Yang terakhir adalah
hambatan perilaku. Hambatan ini cenderung lebih mempermasalahkan egosentris
antara keduanya (penyampai dan penerima/ guru dan murid). Selama pembelajaran
secara daring, berlangsung, suasana pembelajaran yang otoriter sangat sering
terjadi. Pembelajaran satu arah, di mana guru hanya aktif menyampaikan
informasi, sementara pelajar tidak sedikit yang tertidur. Tidak ada yang salah
dalam pembelajaran seperti ini. Hal semacam ini terjadi karena kondisi
psikologis keduanya terpisah. Sehingga munculnya sikap egosentris.
Tidak sedikit pula guru
yang berpikiran bahwa tugasnya selesai hanya karena waktunya dalam menyampaikan
materi selesai. Ia tidak peduli apakah pelajarnya mendapatkan informasi yang ia
sampaikan. Hal ini terjadi karena tidak adanya jalinan atau hubungan emosional
antara keduanya. Selain itu, suasana kelas (kelas tidak selamanya dalam
ruangan, kelas dimaksudkan sebagai kelompok belajar) juga sangat mungkin
terkesan otoriter. Hal ini karena guru memberikan banyak tugas dengan dalih
bahwa task-based learning sangat sah dilakukan. Tidak salah, namun jika terlalu
banyak noise dalam komunikasi, maka task-based learning akan menjadi pembunuh
perlahan bagi pelajar.
Dari (setidaknya)
ketiga jenis hambatan komunikasi di atas, harusnya ini menjadi evaluasi kita
semua di momentum hari pendidikan nasional ini. Ketiga hambatan di atas
sepertinya bukan hal yang baru lagi selama pandemi ini berlangsung. Para guru
atau pengajar lainnya pasti dengan sadar diri bahwa komunikasi yang terjalin
selama ini sangat tidak efektif. Selanjutnya mari kita temukan solusi mulai
dari hal terkecil yaitu dari guru dan siswa itu sendiri. Selanjutnya,
pemerintah juga tidak bisa dipungkiri harus segera berbenah. Tidak hanya
mendeklarasikan bahwa pembelajaran tatap muka akan segera berlangsung, namun
juga berkaca dari pengalaman setahun lebih ini.
Selamat (menyongsong)
hari pendidikan nasional, mari kita peringati hari pendidikan nasional dengan
tidak lagi upacara di bawah tiang bendera (saja). Namun memperkaya diri dengan
diskusi pendidikan yang bergizi. Ki Hadjar Dewantara sepertinya akan sangat
terbuka dengan hal ini. Masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus kita
lakukan, terlebih setelah menjumpai pandemi dalam kurun waktu setahun lebih
ini.
Medio D'Numb Park-Harekakae, Kabupaten Malaka_NTT
Jumat, 30 April 2021