Ilustrasi teroris. Foto: Indra Fauzi/kumparan |
Meski ada banyak motif
yang melatarbelakangi terjadinya aksi terorisme, para penegak hukum harus tetap
menjunjung tinggi norma yang ada, hal ini terjadi demi terwujudnya tujuan dari
adanya hukum itu sendiri, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Kekerasan dan aksi
teror merupakan agenda yang menimbulkan suasana kecemasan banyak masyarakat,
media adalah entitas yang strategis yang menimbulkan suasana kecemasan terhadap
publik, keterkaitan terorisme dan media menjadi sebuah fenomena yang selalu ada
khususnya di Indonesia, meskipun beberapa terduga teroris banyak ditangkap.
Selain itu bahaya
terorisme di Indonesia akan selalu ada. Meskipun para terduga teroris yang
tergabung dalam organisasi teror tersebut banyak ditangkap. Apa yang dilakukan
pemerintah, dan sebagian kecil masyarakat, tampaknya belum cukup untuk
menanggulanginya. Bom Gereja Katedral pada Minggu (28/3/2021) membuktikannya.
Termasuk aksi teror yang terjadi di Mabes Polri.
Fenomena teror maupun
segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan jihad menjadi gejala yang sudah
rentan terjadi di Indonesia, sehingga muncul beberapa organisasi teror di
antaranya ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) meskipun kategori kelompok
ini berpusat di iraq dan Syria.
Hal ini diperparah
dengan terjadinya tragedi 11 September atau 9/11. Konspirasi yang dibangun di
kalangan barat benar-benar menyulut amarah umat muslim. Tuduhan terhadap
Presiden Irak (Saddam Hussein) yang sampai saat ini belum terbukti kebenarannya
tidak hanya mencederai dunia media massa, akan tetapi juga berdampak besar
terhadap kebijakan hukum yang diambil oleh para pemimpin negara pasca kejadian
tersebut.
Akibat dari kejadian
ini, stigma miring terhadap umat muslim di seluruh dunia (islam adalah radikal)
memberikan dampak yang sangat besar. Contoh yang paling dekat di telinga kita
ialah munculnya Islam Phobia, tentu media massa memberikan pengaruh besar
terhadap kelancaran strategi orang barat untuk melumpuhkan peradaban islam.
Beberapa upaya sudah
dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah paham ini termasuk merevisi UU
Terorisme. Kewenangan polisi diperlebar, ruang penyelidikan dan penyidikan
menjadi sangat besar. Hasilnya, dalam dua tahun terakhir, lebih dari seribu
orang terduga teroris yang diamankan.
Organisasi teror ini
menjadi sebuah fakta yang meramaikan publik, hal ini didukung oleh kondisi
social politik yang membuka ruang public di mana sebelumnya tertutup rapat atau
dibungkam oleh rezim penguasa.
Namun fakta tersebut
tidak serta memberikan jaminan bahwa media massa akan mampu berkembang dengan
lebih baik, justru kegelisahan saya muncul ketika media sosial menjadi industri
yang lebih memperhitungkan profit ketimbang substansi informasi dan tanggung
jawab sosial sebagai penyalur informasi.
Kita ambil contoh
bagaimana selama ini informasi atau berita terkait dengan aksi teror beberapa
tahun terakhir, framing yang dilakukan oleh media seakan selalu menyudutkan
salah satu pihak (dalam hal ini umat muslim).
Padahal jika kita
mencoba untuk memahami lebih jauh, media massa sebagai salah satu instrumen
penting dalam kehidupan bermasyarakat seharusnya bisa memberikan energi positif
ataupun ketenangan pasca terjadinya suatu tindakan terorisme.
Liputan terkait dengan
siapa dan dari kelompok mana pelaku terorisme, seakan lebih menarik untuk
dibahas, dari pada memberikan rasa tenang kepada masyarakat dengan memberikan
informasi yang lebih produktif
Hal ini semakin
memuluskan tujuan dari pada Tindakan terorisme itu sendiri, yakni menimbulkan
rasa teror dan rasa takut secara meluas, dan pada akhirnya menimbulkan korban
yang bersifat massal.
Media dan Terorisme
Media dan terorisme
adalah dua tema penting, karena memiliki petunjuk umum dalam beberapa aspek.
Misalnya, mereka melihat media massa sebagai basis kampanye pemilu dan memberi
ruang terbuka untuk diskusi dan debat Mengenai segala macam hal, termasuk
terorisme.
Selain itu, media dan
terorisme tidak terlepas dari komersialisasi berita. Dalam posisi ini terorisme
adalah fakta sosial yang bisa digunakan minat untuk meningkatkan konsumsi
berita media massa, kedua tema tersebut terletak pada fungsi dasarnya Media
massa sebagai peserta dalam menyebarluaskan informasi dan mengedukasi
masyarakat dan menghibur publik dengan keinginan organisasi teroris untuk
menarik perhatian publik.
Semakin banyak fakta
menunjukkan masalah kapasitas akses reporter ke jaringan teroris dan tren
penggunaan sumber daya dari kelompok (lembaga kepolisian) yang menyebabkan
masalah terorisme mudah untuk menjalani transformasi.
Kerangka berita terorisme
ini telah berubah di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai bentuk intervensi
negara kontrol informasi tentang terorisme. Praktik intervensi Penguatan
legitimasi ini di mata rakyat disebut Bonapartisme status.
Pemberitaan tentang
pelaku tindak terorisme di media memiliki dua kemungkinan, yaitu pengakuan, dan
pengakuan keberadaannya, dari sudut pandang pelaku teror, dan perolehan berita
bernilai jual. *** (Khoirul Aman, kumparan.com)