Terorisme dan Framing Media

Terorisme dan Framing Media

Ilustrasi teroris. Foto: Indra Fauzi/kumparan


Setapak rai numbei - - - Hal pertama yang harus kita ketahui bersama ialah pemahaman terkait dengan perbedaan antara tindak pidana terorisme dan tindak pidana politik, sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 undang-undang nomor 5 tahun 2018, bahwa tindak pidana terorisme harus dianggap bukan tindak pidana politik

Meski ada banyak motif yang melatarbelakangi terjadinya aksi terorisme, para penegak hukum harus tetap menjunjung tinggi norma yang ada, hal ini terjadi demi terwujudnya tujuan dari adanya hukum itu sendiri, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Kekerasan dan aksi teror merupakan agenda yang menimbulkan suasana kecemasan banyak masyarakat, media adalah entitas yang strategis yang menimbulkan suasana kecemasan terhadap publik, keterkaitan terorisme dan media menjadi sebuah fenomena yang selalu ada khususnya di Indonesia, meskipun beberapa terduga teroris banyak ditangkap.

Selain itu bahaya terorisme di Indonesia akan selalu ada. Meskipun para terduga teroris yang tergabung dalam organisasi teror tersebut banyak ditangkap. Apa yang dilakukan pemerintah, dan sebagian kecil masyarakat, tampaknya belum cukup untuk menanggulanginya. Bom Gereja Katedral pada Minggu (28/3/2021) membuktikannya. Termasuk aksi teror yang terjadi di Mabes Polri.

Fenomena teror maupun segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan jihad menjadi gejala yang sudah rentan terjadi di Indonesia, sehingga muncul beberapa organisasi teror di antaranya ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) meskipun kategori kelompok ini berpusat di iraq dan Syria.

Hal ini diperparah dengan terjadinya tragedi 11 September atau 9/11. Konspirasi yang dibangun di kalangan barat benar-benar menyulut amarah umat muslim. Tuduhan terhadap Presiden Irak (Saddam Hussein) yang sampai saat ini belum terbukti kebenarannya tidak hanya mencederai dunia media massa, akan tetapi juga berdampak besar terhadap kebijakan hukum yang diambil oleh para pemimpin negara pasca kejadian tersebut.

Akibat dari kejadian ini, stigma miring terhadap umat muslim di seluruh dunia (islam adalah radikal) memberikan dampak yang sangat besar. Contoh yang paling dekat di telinga kita ialah munculnya Islam Phobia, tentu media massa memberikan pengaruh besar terhadap kelancaran strategi orang barat untuk melumpuhkan peradaban islam.

Beberapa upaya sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah paham ini termasuk merevisi UU Terorisme. Kewenangan polisi diperlebar, ruang penyelidikan dan penyidikan menjadi sangat besar. Hasilnya, dalam dua tahun terakhir, lebih dari seribu orang terduga teroris yang diamankan.

Organisasi teror ini menjadi sebuah fakta yang meramaikan publik, hal ini didukung oleh kondisi social politik yang membuka ruang public di mana sebelumnya tertutup rapat atau dibungkam oleh rezim penguasa.

Namun fakta tersebut tidak serta memberikan jaminan bahwa media massa akan mampu berkembang dengan lebih baik, justru kegelisahan saya muncul ketika media sosial menjadi industri yang lebih memperhitungkan profit ketimbang substansi informasi dan tanggung jawab sosial sebagai penyalur informasi.

Kita ambil contoh bagaimana selama ini informasi atau berita terkait dengan aksi teror beberapa tahun terakhir, framing yang dilakukan oleh media seakan selalu menyudutkan salah satu pihak (dalam hal ini umat muslim).

Padahal jika kita mencoba untuk memahami lebih jauh, media massa sebagai salah satu instrumen penting dalam kehidupan bermasyarakat seharusnya bisa memberikan energi positif ataupun ketenangan pasca terjadinya suatu tindakan terorisme.

Liputan terkait dengan siapa dan dari kelompok mana pelaku terorisme, seakan lebih menarik untuk dibahas, dari pada memberikan rasa tenang kepada masyarakat dengan memberikan informasi yang lebih produktif

Hal ini semakin memuluskan tujuan dari pada Tindakan terorisme itu sendiri, yakni menimbulkan rasa teror dan rasa takut secara meluas, dan pada akhirnya menimbulkan korban yang bersifat massal.

Media dan Terorisme

Media dan terorisme adalah dua tema penting, karena memiliki petunjuk umum dalam beberapa aspek. Misalnya, mereka melihat media massa sebagai basis kampanye pemilu dan memberi ruang terbuka untuk diskusi dan debat Mengenai segala macam hal, termasuk terorisme.

Selain itu, media dan terorisme tidak terlepas dari komersialisasi berita. Dalam posisi ini terorisme adalah fakta sosial yang bisa digunakan minat untuk meningkatkan konsumsi berita media massa, kedua tema tersebut terletak pada fungsi dasarnya Media massa sebagai peserta dalam menyebarluaskan informasi dan mengedukasi masyarakat dan menghibur publik dengan keinginan organisasi teroris untuk menarik perhatian publik.

Semakin banyak fakta menunjukkan masalah kapasitas akses reporter ke jaringan teroris dan tren penggunaan sumber daya dari kelompok (lembaga kepolisian) yang menyebabkan masalah terorisme mudah untuk menjalani transformasi.

Kerangka berita terorisme ini telah berubah di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai bentuk intervensi negara kontrol informasi tentang terorisme. Praktik intervensi Penguatan legitimasi ini di mata rakyat disebut Bonapartisme status.

Pemberitaan tentang pelaku tindak terorisme di media memiliki dua kemungkinan, yaitu pengakuan, dan pengakuan keberadaannya, dari sudut pandang pelaku teror, dan perolehan berita bernilai jual. *** (Khoirul Aman, kumparan.com)

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama