Akan tetapi, pernahkah
kita berpikir bahwa kata "tetapi" mempunyai sebuah kekuatan yang
dahsyat? Ia mampu menjungkirbalikkan sebuah kebenaran, bahkan dunia ini
sekalipun. Mengapa?
Manakala kata
"tetapi" dijadikan sebuah alat untuk menjungkirbalikan sebuah fakta,
maka di sinilah letak kelihaian manusia mempermainkan kata. Ketika hitam
dirasionalisasikan menjadi putih, maka nurani kian tumpul karena kata ini.
Saya dan anda secara
sadar atau tidak sering menggunakan kata "tetapi". Kita mudah
menyembunyikan aib, mengabaikan moral demi sebuah prestise, reputasi, gengsi,
dll, hanya dengan gesit berkelit menggunakan kata "tetapi." Sebuah
kebenaran akan ternoda manakala ia diikuti oleh kata "tetapi," atau
sebuah kesalahan mudah diadaptasi menjadi sebuah kalimat yang enak didengar
yang maknanya tidak seekstrem makna aslinya hanya dengan kata "tetapi."
Meskipun aslinya, kita bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Namun manakala
keaslian itu dinodai oleh kata "tetapi," maka kita pasti menjadi
"aspal" (asli tapi palsu).
Jikalau kita meringsek
lebih jauh, satu hal yang begitu kontradiktif apabila kita membandingkan ke-aspal-an kita
dengan cinta yang telah Yesus berikan. Yesus telah memberikan cintanya tanpa
syarat; tanpa kata "tetapi." Ia tak pernah mengingkari salib berat
yang dibebankan pada pundak-Nya. Ia rela taat kepada kehendak Bapa-Nya untuk
memanggul salib sebagai jalan satu-satunya untuk menebus dosa manusia.
Mengapa harus salib dan
bukan yang lain? Inilah letaknya misteri cinta dari Allah Tritunggal kepada
manusia milik kepunyaan-Nya. Hal ini mengingatkan kita juga akan misteri Natal
yang telah kita rayakan atau misteri "Inkarnasi" Putera Allah-Yesus
Kristus-Sang Imanuel-Allah beserta kita. Natal dan Paskah, Betlehem dan Kalvari,
Inkarnasi dan Salib adalah dua peristiwa penting yang tidak bisa
dipisahkan untuk memahami hakekat iman Kristiani. Dan persis pada dua misteri
inilah, sebagai manusia biasa: lidah kita menjadi kelu, mulut kita menjadi
bungkam, dan kita hanya mampu berlutut dan mengucap syukur atas "Anugerah
Allah yang terbesar dalam hidup kita, yakni: Yesus Kristus, Putera Tunggal
Allah sendiri yang telah menghampakan diri, menjadi sama dengan manusia, untuk
mengalami nasib manusia.”
Inilah sikap apovatis atau
diam, sujud, menyembah dengan penuh rasa terima kasih seperti para gembala dan
tiga majus dari Timur. Mereka kehabisan kata-kata, ketika berhadapan
dengan Yesus, bayi lemah yang terbaring di dalam palungan di sebuah
kandang yang hina dina. Begitu pun di atas Salib, ketika Yesus telah
menghembuskan nafas-Nya yang terakhir, kepala pasukan Romawi kehabisan
kata-kata dan hanya mampu meyembah dan berkata: "sungguh orang
ini Putera Allah."
Sebagai umat beriman,
yang telah merayakan Natal pada Desember silam, kita disentak kesadaran dari
tidur panjang dan diantar masuk ke dalam salah satu peristiwa penting iman kita
yakni "misteri inkarnasi" Putera Allah. Sama seperti Salib, kita
pantas bertanya: "mengapa Yesus tidak datang sebagai sorang Raja yang
gagah perkasa, tetapi memilih dikandung oleh seorang wanita sederhana dari
pedalaman Nasareth: Maria? Mengapa Yesus yang adalah Anak Allah, mau dilahirkan
oleh seorang wanita dan bergantung sepenuhnya pada pemeliharaan dan perawatan
wanita ini baik di dalam kandungan maupun setelah dilahirkan? Padahal
Allah adalah mahakuasa, dan dengan kemahakuasaan-Nya, Ia mampu hanya bersabda
saja, seperti ketika Ia menciptakan segala sesuatu hanya dengan Sabda-Nya dan
semuanya terjadi. Allah dengan kemahakuasaan dan kedigdayaan-Nya mampu
melakukan semuanya itu sendiri tanpa memerlukan Maria dengan meminta
persetujuan Maria via malaikat Gabriel. Bisa saja Yesus diutus untuk
menyelamatkan umat manusia, tanpa perlu menjadi seorang bayi lemah..lha
wong Dia mahakuasa kog!! Begitu pun dengan Salib. Allah tidak perlu
memakai salib sebagai sarana untuk menebus dosa umat manusia. Dia hanya
bersabda saja, maka semuanya selamat.
Akan
tetapi, kenyataan dari kedua peristiwa penting iman kita ini, Allah
tidak memakai kedigdayaan-Nya, melainkan menjadi bayi lemah, yang dilahirkan di
kandang di Betlehem tanpa gegap gempita dan sorak-sorai keagungan seorang Raja
yang gagah perkasa. Yesus pun tetap memilih untuk taat memanggul salib-Nya ke
puncak Kalvari demi dosa-dosa kita. Apa penyebabnya?
Inilah misteri cinta
kasih Allah yang meluap-luap kepada manusia. Allah mau mengambil rupa
seorang hamba untuk menjadi sama seperti kita dalam segala hal kecuali
dalam hal dosa, dan taat sampai mati di kayu salib untuk meyelamatkan
kita agar kita diterima sebagai Anak-anak angkat Allah dan boleh sama
seperti Yesus menyebut Allah Bapa-Nya, sebagai Bapa kita juga oleh karena
kekuatan Roh Kudus yang telah dicurahkan dalam hati kita. Inilah Allah
yang mau berbela rasa dengan nasib umat manusia, sehingga Ia rela menjadi
"Allah yang beserta Kita" (Imanuel) melalui inkarnasi dan salib,
melalui Natal dan Paskah, melalui Betlehem dan Kalvari. Allah mau
mengalami bagaimana persisnya penderitaan kita, duka dan air mata kita,
bagaimana suka dan duka sebagai seorang manusia, sehingga Ia rela merendahkan
diri dan mengganggap kesetaraan dengan Allah bukan sebagai milik yang harus
dipertahankan, untuk menjadi sepenuhnya manusia sama seperti kita mulai
dari kelahiran-Nya di Betlehem sampai wafat-Nya di Kalvari. Inilah
misteri cinta Allah yang dahsyat dan luar bisa, yang pantas kita terima dengan
penuh syukur: bahwa Ia mau menjadi manusia sama seperti kita kecuali dalam hal
dosa untuk menyelamatkan kita.
Sebagai umat beriman
kita tentu meyakini bahwa Yesus tidak harus mati pada kayu palang dengan cara
seperti itu sebagai konsekuensi kedigdayaanNya. Namun kita perlu menelusuri
realita yang terjadi secara de facto: ada apa di balik beban yanag Ia
panggul itu. Ada begitu banyak orang yang mengikuti Yesus saat Ia
memanggul salib-Nya, namun Ia toh tetap memikul salib-Nya seorang diri sampai
akhirnya Ia mati dengan tangan terentang di atas kayu salib. Seorang filsuf
pernah menguraikan dan menafsirkan apa arti rentangan kedua tangan Sang Juru
Selamat yakni: begitulah besarnya cinta Yesus kepada manusia dan tidak ada
cinta yang lebih besar dari itu, cinta seorang yang mau memberikan
nyawah-Nya sendiri sebagai bagi para sahabat-Nya.
Karena itu, sungguh
sebuah tragedi sekaligus ratapan bagi Yesus -ketika dengan gigih Ia memanggul
salib tanpa alasan ….."tetapi ini kan untuk manusia"-, kita malah
hadir di tengah keletihan dan kedahagaan Yesus sambil melontarkan pertanyaan:
Yesus kutanya apa sebabnya kau panggul salib ke Golgota, dalam lagu-lagu kita.
Kalau kita berdalih: "……"tetapi" itukan hanya nyanyian yang
mesti kita nyanyikan". Lantas dimana kesadaran kita? Dapat ditarik sebuah
konklusi bahwa kita bernyanyi tanpa sebuah kesadaran dan pengetahuan bahwa Ia
memanggul salib demi cintaNya yang begitu besar untuk kita.
Cinta kasih Allah yang
takterlukiskan dengan kata-kata adalah "kunci hermeunetis" untuk
memahami makna inkarnasi dan salib, Betlehem dan Kalvari. Selamat
merayakan Hari Raya Jumat Agung dengan penuh syukur dalam sikap apovatis!
“SELAMAT MERAYAKAN HARI
RAYA JUMAT AGUNG
DENGAN PENUH RASA
SYUKUR BAGI UMAT KRISTIANI”
LUKA TERPEDIH
luka terpedih
bukan di sekujur tubuh yang tercambuk
bukan di kepala yang dimahkotai duri tertusuk
bukan di tangan dan kaki yang terpaku di tiang busuk
bukan di lambung yang terhunus tombak merasuk
bukan di bibir yang berkarang-cuka tercucuk
bukan pada harga diri yang dicaci-maki-ludahi
bukan pada hati yang disangkal-khianati murid sendiri
namun di teriakan itu:
Elohi, Elohi, lama sabakhtani?
yakni ketika ‘Aku adalah Aku’
meninggalkan Aku.