Mungkin, skenario
“Malam Perjamuan Terakhir” berubah total blas menjadi “Malam Perjamuan Syukur
Atas Suksesnya Pembukaan Toko Kayu J&J alias Jesus & Joseph --nama
Ayahnya-- untuk Cabang Suriah”. Yesus saat itu mungkin merayakan kesuksesannya
dengan enak-enak minum anggur, makan daging domba yang dimasak lembut, lengkap
dengan kuah kari, roti gandum, serta ikan yang kerap disantap bersama para
Murid-Nya.
Tanpa perlu seraya
merasa kalut, lalu berjalan gontai dan menangis darah di Taman Getsemani
seperti yang terdaras dalam narasi Malam Perjamuan Terakhir.
Mungkin, Ia mulai
berpikir untuk menjamah bisnis anggur di samping membuat lemari kayu.
Kesuksesannya mengubah air menjadi anggur di sebuah pernikahan di Kana lantas
menggugah naluri bisnisnya. Ia akan segera membuat formula wine terbaik sejagad
dengan kesempurnaan rasa melebihi yahudnya anggur Barefoot --uhm, Rich Red
Blend, please.
Dan lagi-lagi, Ia pasti
bakal sukses buka cabang di mana-mana. (Uhm, Sus, namun kusarankan jangan buka
cabang di Indonesia. Alih-alih menjadi populer, ujung-ujungnya hanya bisa
dijual di pojok rak berdebu tebal dan dekat gudang milik 711, Circle K, atau
Indomaret. Itupun ilegal, Sus. Sekadar saran.)
Mungkin juga, Yesus
akan mulai buka klinik mata setelah Ia berhasil membuka mata seorang buta
ketika Ia mewartakan berita di Yerikho. Sedikit throw back, saat itu Yesus
tengah berjalan diiringi para Murid saat seorang laki-laki buta seketika
meraung-raung hendak menjamah jubah milik-Nya.
Awalnya, Yesus tidak
mendengarnya. Namun, raungan itu semakin kencang. Para Murid berupaya
mendiamkan si buta, tapi Yesus lantas mendengar raungannya dan balik badan. Ia
pun membuka mata orang itu. Sontak, para murid dan segenap masyarakat Yerikho
terperangah dan mengelu-elukan Yesus.
Mungkin, kalau Yesus
betul nawaitu buka klinik mata, Ia tak perlu pusing dengan biaya pemasaran yang
harus Ia alokasikan. Toh, namanya sudah dikenal dan disanjung sana-sini.
Kemampuan-Nya untuk memulihkan mata sudah begitu sahih; orang buta saja sembuh,
apalagi kita yang masalahnya cuma bintitan dan belekan. Seluruh orang Yahudi
pasti merujuk pada-Nya untuk mendapatkan resep salep mata.
Sehingga, mungkin,
kalau sudah sukses begini, Yesus akan mulai mencoba untuk lebih sering naik ke
atas dek kapal, melatih suara diafragma, dan memantapkan kepalan tangannya.
Untuk apa? Tak lain tak bukan: guna menjadi seorang motivator andal. Bayangkan,
di umur 30-an tahun, Ia mampu menjadi raksasa bisnis mebel, anggur, hingga
klinik mata. Pula hidup selibat.
Semua orang pasti
bertanya-tanya dan ingin tahu kiat mujarab Yesus menjadi begitu populer dan
sukses. Ia begitu senang berkisah dan berbincang dengan warga sekitar, sehingga
pas sekali rasanya kalau Ia bisa bercakap sambil menyuntikkan motivasi kepada
mereka yang Ia sebut “Saudara-Ku”.
Sungguh, potongan
narasi yang indah untuk menceritakan kehidupan Yesus, bila saja Yudas, anak
murid kesayangan-Nya, tak lantas mengkhianati diri-Nya.
Kalau saja Yudas tidak
berkhianat, mungkin Yesus akan terus hidup, lalu sibuk berbisnis, sibuk
mengurus segala nota pembayaran, tata buku, hingga urusan perpajakan pendapatan
bisnisnya, sehingga Ia lupa untuk meluangkan waktu makan malam bersama dengan
para Murid yang sudah setia berbagi beban dengan-Nya.
Lihat Juga:
Kalau saja Yudas tidak
berkhianat, mungkin Yesus akan terus hidup, lalu sibuk menggembar-gemborkan
cara jitu menjadi kaya di umur 30 tahun, sehingga Ia lupa untuk bercakap dan
bergurau dengan “para Saudara” --yang mungkin lebih butuh didoakan, ketimbang
disuntik dengan kutipan motivasi dosis tinggi dan berujung sakau imaji akan
kesuksesan.
Kalau saja Yudas tidak
berkhianat mungkin Yesus akan terus hidup, lalu sibuk menyembuhkan orang sakit
di pelataran Bait Allah, sehingga lupa bahwa jutaan manusia yang hidup di
belahan dunia lainnya pun mengharap dan meraungkan ihwal yang sama. Dan Yesus tak
mampu mendengar raungan itu, karena terlalu bising dengan sorak sorai pujian
orang Yahudi yang terkesima dengan kemampuan mahadahsyat yang Ia kuasai.
Kalau saja Yudas tidak
berkhianat, mungkin Yesus akan terus hidup, sehingga fasik, khilaf, dosa, dan
prahara manusia tak akan ditebus.
Kalau saja Yudas tidak
berkhianat, mungkin Yesus akan terus hidup, dan tiada ada sorak sorai
kemenangan di rumah-rumah Allah. Sorak itu mungkin akan ditukar dengan erang
emosi dan geru depresi.
Kalau saja Yudas tidak
berkhianat, mungkin Yesus akan terus hidup, dan wajah manusia-lah yang akan
penuh lumur darah akibat siksa dan derita ingkarnya sendiri.
Dan Yudas, nyatanya,
berkhianat.
Dengan
pengkhianatannya, Yesus pun akhirnya mati di Kayu Salib yang Ia panggul sendiri
ke Golgota. Segenap manusia dibayar tuntas, dengan tiap tetes darah dari tangan
dan kaki yang dipaku, dengan semburat air yang muncrat saat lambung-Nya
dihunjam tombak.
Sementara Yudas, hingga
saat ini, terus dipanggil dengan nama “pengkhianat”. Namanya disebut dengan
penuh kebencian, seakan seluruh dosa tertumpu padanya. Dianggap pengkhianat.
Dipandang jahat.
Padahal,
pengkhianatannya-lah yang membawa manusia pada pengampunan, kebahagiaan, dan
‘legal’ untuk sekadar berseru, “aku sudah menang atas ancaman dan rayuan
setan!”.
Khianat bawa selamat.
Sayang, manusia terlalu
egois dan bodoh memahaminya. Terlalu pongah untuk sekadar mengucap terima kasih
pada Yudas yang sudah berkontribusi besar dalam Narasi Penyelamatan manusia
dari belenggu neraka.
Mata manusia terlalu
sabur, untuk melihat bahwa bukan Yudas yang harusnya dipanggil pengkhianat dan
penjahat, melainkan diri manusia sendiri, karena telah jebloskan Yesus ke dalam
rangkai derita dari Yerusalem hingga Golgota.
Manusia. Gudang mungkar
dan ingkar.
Kalau saja Yudas tidak
berkhianat.