Makam keramat yang dipercaya milik Siti Nurbaya (Foto: Rus Akbar/okezone) |
Langsung saja kerutan
dahi kita mengingat peristiwa nikah paksa yang dilakukan seorang pengusaha
tamak bernama Datuak Maringgih, terhadap anak Bagindo Sulaiman, Siti Nurbaya.
Padahal Siti telah
dijodohkan oleh Syamsul Bahri sejak mereka masih kecil. Namun karena utang
terhadap Datuak Maringgih, akhirnya Sulaiman merelakan anak gadisnya untuk
dinikahkan pria berusia senja tersebut.
Namun karena cintanya
dengan Syamsul Bahri, Siti akhirnya mengakhiri hidupnya dengan memakan lemang
beracun. Belakangan Syamsul dan Datuak Maringgih bertemu di medan perang dan
akhirnya keduanya meninggal dunia.
Iya sepenggal cerita
bersejarah ini menjadi populer sekira 1980-an. Saat itu televisi nasional di
Indonesia memfilmkan buku yang ditulis oleh seorang sastrawan bernama Marah
Rusli pada 1922 lalu.
Cetakan dari Balai
Pusataka ini pun menjadi kisah “Romeo dan Juliet” versi Sumatera Barat yang tak
lekang oleh zaman. Bahkan salah satu band ternama di Indonesia membuat lagu
berjudul “Siti Nurbaya.”
Legenda ini memang
menjadi cerita bersejarah tidak hanya bagi warga yang terkenal Jam Gadang itu,
namun cerita ini sudah menjadi dongeng rakyat Indonesia.
Namun apakah Anda tidak
penasaran dengan kebenaran legenda itu? Benarkah cerita itu dalam kenyataan
atau hanya memang menjadi cerita semata.
Beberapa waktu lalu
okezone mencoba penelusuran mengenai cerita rakyat tersebut. Penulis pun
mendapat kabar adanya makam “Siti Nurbaya” berada di Gunung Padang.
Tanpa menunggu waktu, penulis
pun memulai perjalanan ke gunung yang berjarak sekira dua kilometer dari pusat
kota. Membutuhkan waktu sekira 15 menit dengan mengendarai motor penulis bisa
mencapai kaki Gunung Padang.
Penulis tidak perlu
mengeluarkan uang untuk mencapai bukit setinggi 400 meter tersebut. Karena
memang Pemerintah Provinsi tidak menyediakan loket penjualan karcis untuk
memasuki gerbang “dahulu kala” itu.
Kaki penulis pun seakan
tak lelah melintasi jalan setapak selebar satu meter itu. Bayangan akan sejarah
tak ternilai itu pun melecut penulis untuk terus mencapai makam tersebut.
Setelah berjalan selama
30 menit, penulis pun menemukan pondok peristirahatan. Napas penulis yang mulai
“kembang kempis” pun mencoba di normalkan sembari menyelonjorkan kaki yang
sudah keras akibat jalan menanjak.
Namun jangan khawatir,
perjalan menuju jalan ini mata penulis seakan dimanjakan dengan pemandangan
Kota Padang. Indahnya kota Gadang itu dan semilir angin, membuat badan penulis
kembali bangkit.
Beberapa menit setelah
istirahat, penulis pun kembali melanjutkan perjalanan menuju makam kekasih
Syamsul Bahir itu. Jalan setapak yang berliku dan menanjak itu tidak
menyurutkan penulis untuk melangkahkan kaki.
Di jalan ini penulis
harus ekstra hati-hati. Pasalnya, tangga dibuat oleh pemerintah sudah berlumut
dan licin. Sebelum mencapai makam Siti Nurbaya, penulis dihadapkan dengan
persimpangan jalan.
Jika penulis mengambil
jalan lurus, maka akan mencapai Gunung Padang. Dan kalau mengambil arah kanan
akan menemukan makam Siti Nurbaya. Penulis pun mengambil jalan ke arah itu.
Sampai di sini, penulis
pun harus menempuh perjalanan menunduk dan turun sejauh 5 meter. Tak berapa
lama, penulis akhirnya menemukan sebuah kuburan yang diselimuti kelambu putih.
Makam yang terbuat dari
sebagian besar semen tersebut, terlihat indah dengan latar belakang pemandangan
turunnya matahari atau sun set. Sayangnya nisan dari semen tersebut tidak
terlihat jelas nama jasada yang dimakamkan.
Warga sekitar menyakini
makam tersebut sebagai makam Siti Nurbaya. Kuburan yang terlihat sedikit kusam
itu tampak diapik dua buah batu. Bahkan dalam kondisi tertentu makam ini banyak
didatangi warga.
Syahbudin Abas (43),
warga sekitar, belum terlalu yakin bahwa makam tersebut adalah makam istri
kesekian Datuak Maringgih. Namun dia mengakui berdasarkan cerita warga sekitar
makam itu adalah Siti Nurbaya
Berkaca pada Cinta Siti Nurbaya
Pernikahan terpaksa
yang dialami Siti Nurbaya, tokoh utama dalam buku Siti Nurbaya karya Marah
Rusli, sering kali menjadi olok-olok bagi perempuan yang dijodohkan orangtuanya
saat ini. Namun, apakah benar Siti Nurbaya dijodohkan atau dipaksa orangtua
untuk menikah dengan saudagar kaya yang berhati jahat?
"Aku tahu Nur, bahwa engkau tidak suka kepada
Datuk Maringgih," kata ayahku pada malam itu kepadaku. “Pertama umurnya
telah tua, kedua karena rupanya tak elok, ketiga karena tabiatnya yang keji”
Selanjutnya sang ayah berkata, “Aku tahu hatimu pada Samsu dan hatinya
kepadamu. Aku pun tiada lain, melainkan itulah yang aku cita-citakan dan
kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat engkau duduk bersama-sama dengan
Samsu kelak, karena ialah jodohmu yang sebanding dengan engkau…Nurbaya,
sekali-kali aku tiada berniat, hendak memaksa engkau. Jika tak sudi engkau,
sudahlah, tak mengapa. Biarlah harta yang masih ada ini hilang ataupun aku
masuk penjara sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula duka citamu…”
Cuplikan di atas memperlihatkan penderitaan ayah Siti Nurbaya, Baginda
Sulaiman, saat meminta kesediaan anaknya untuk membantu keluarga mereka keluar
dari cengkraman jahat Datuk Maringgih. Sang ayah membujuk Nur untuk membantu
mereka karena keinginannya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi
istri dan anaknya jauh lebih besar dari kesedihannya jika melihat keluarganya
jatuh di lubang kemiskinan.
Dalam buku yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1922 itu, diceritakan bahwa
pada awalnya Nur memang tidak bersedia diminta sang ayah untuk menikahi Datuk
Maringgih demi menolong keluarga. Namun, akhirnya Nur bersedia menikah karena
tidak tahan melihat sang ayah digiring oleh petugas Belanda. Hal itu bisa
terlihat dari sebait cuplikan ini, "…Tatkala
kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang
bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada
kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak, "Jangan dipenjarakan ayahku!
Biarlah aku menjadi istri Datuk Maringgih!"…”
Dari cuplikan-cuplikan
di atas, jelas sekali terlihat sebuah perbedaan besar antara dijodohkan,
dipaksa, dan terpaksa. Di novel itu, Baginda Sulaiman memang meminta Siti
Nurbaya untuk menikah agar bisa membantu dirinya lepas dari jeratan licik Datuk
Maringgih, tetapi ia tidak ingin Nur hidup dalam penderitaan karena menikahi
Datuk Maringgih. Keputusan akhir tetap diberikan kepada Nur.
Marah Rusli, sastrawan yang juga dokter hewan ini, pun menceritakan betapa
beban yang harus ditanggung Siti Nurbaya sangat besar. Rasa cintanya pada
kekasih hati, Syamsul Bahri, membuatnya sempat menolak keinginan sang ayah.
Namun, meski Baginda Sulaiman menerima keputusan Nur, besarnya rasa cinta Nur
kepada orangtua menyebabkan ia merubah keputusan, yaitu persis saat ia melihat
sang ayah hendak dibawa ke penjara.
Di masa itu, perjodohan
merupakan hal yang wajar. Marah Rusli membalut budaya masyarakat dengan konflik
yang sangat menarik. Tak aneh jika kisah ini masih membekas di benak pembaca.
Bahkan menjadi olok-olok bagi mereka yang menikah berdasarkan perjodohan. Novel
Marah Rusli ini memang bertujuan membebaskan perempuan dari perkawinan yang tidak
didasarkan oleh rasa cinta.
Keberadaan novel yang paling tenar di antara novel karya Balai Pustaka lainnya
ini mau tidak mau membobol budaya perjodohan yang masih kuat di dalam
masyarakat Indonesia. Persoalan yang dikemukakan Marah Rusli dalam
karya-karyanya bukan lagi istana-sentris dan hal-hal bersifat fantasi belaka,
melainkan gambaran realita masyarakat pada masa itu.
Novel berbalut kisah
cinta dan pengorbanan seorang perempuan pada masa itu membuat cerita Siti
Nurbaya menjadi kuat. Melalui buah tangannya, dokter hewan itu ingin
menyampaikan gagasan tentang kekolotan di kalangan bangsawan yang merugikan,
kearifan hidup pada zaman pembaharuan, corak perkawinan ideal, keburukan
poligami, serta masalah hubungan laki-laki dan perempuan. Marah Rusli juga
seolah-olah ingin menyampaikan reformasi sosial dan mencita-citakan perkawinan
tanpa paksaan. (WIK)
Referensi Catatan Histori:
https://news.okezone.com/read/2011/02/08/345/422483/legenda-siti-nurbaya-di-tanah-minang