Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung didampingi sejumlah imam menggelar Perayaan Ekaristi di lokasi bencana di Adonara, NTT. |
Ratapan keluarga dari
balik hujan lebat terdengar pilu. Tuhan, Engkau sungguh tega menimpakan derita
ini pada kami. Mengapa harus bapa, mama, kaka dan ade kami yang Engkau ambil?
Protes dan keberatan
kepada Tuhan karena tragedi ini susah beranjak pergi. Jika sudah begitu,
haruskah kita berpaling pada protes mereka yang tidak percaya pada Tuhan?
Haruskah kita kalah dan tunduk pada alam pikir kaum ateis, bahwa banjir bandang
dan tanah longsor di berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sebagian
di Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah bukti ketidakperkasaan Allah?
Saya sependapat dengan
Alvin Platingga, filsuf pembela iman Kristiani, yang mengatakan bahwa hal yang
paling dibutuhkan ketika berhadapan dengan tragedi seperti bencana alam adalah
“dukungan dan penghiburan rohani” (Philosophers
who Believe, 1993: 71). Alasannya, berspekulasi pada problem kemahakuasaan
Allah di hadapan kekejaman bencana alam hanya akan melahirkan keputusasaan
bahkan kegilaan.
Intuisi Platinga bukan
sebuah sikap ketakberdayaan. Sama seperti juga ditegaskan Katekismus Gereja
Katolik, sebuah jawaban yang cepat atas pertanyaan mengapa Allah “mengizinkan”
tragedi dan penderitaan tidak akan pernah memuaskan kita (KGK, 309).
Bisa jadi term
“mengizinkan” tidak tuntas menggambarkan kebenaran dan cinta kasih Allah kepada
manusia di satu sisi serta bencana alam di sisi lainnya. Dalam konteks ini,
pendapat Platinga bisa saja benar, bahwa lebih baik mengatakan “kita tidak tahu
mengapa Allah mengizinkan tragedi dan penderitaan” (Philosophers who Believe, 1993: 71-72), dan bahwa yang kita tahu
dengan pasti adalah kehendak bebas Allah untuk rela menderita demi
menyelamatkan manusia dan seluruh ciptaan-Nya. Dalam arti itu, Platinga tampak
sejalan dengan penegasan Katekismus Gereja Katolik, bahwa tragedi dan
penderitaan hanya bisa dipahami dalam misteri keselamatan secara menyeluruh (KGK,
309), apa yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam KGK 309-314.
Tetapi lagi-lagi ini
bukanlah jalan keluar yang memuaskan. Meskipun tidak lengkap, sebuah jawaban
bisa membantu dapat diberikan di sini dengan catatan bahwa pemahaman yang lebih
lengkap harus diberikan dalam konteks rencana keselamatan Allah secara menyeluruh.
Menurut saya, teori entropi dapat menjadi jawaban atas gugatan terhadap
kemahakuasaan Allah di hadapan bencana alam. Dalam diskursus eksistensi Tuhan,
teori ini dipopulerkan oleh George Coyne, ilmuwan dan imam Yesuit yang pernah
bekerja di observatorium Vatican pada tahun 1978.
Sejalan dengan ajaran
Gereja (bdk KGK 309-314), Coyne mengatakan bahwa alam semesta diciptakan
sempurna dan memiliki hukumnya sendiri. Alam semesta selalu membarui diri demi
mencapai keseimbangan baru. Dalam arti itu, bencana alam adalah bagian dari
cara kerja alam mencapai suatu keseimbangan.
Dalam proses
keseimbangan alam itulah tidak jarang manusia menjadi korban karena “kebetulan”
sedang berada di sekitarnya. Manusia sebenarnya dapat menghindari bencana alam
tersebut persis karena Allah menganugerahinya akal budi untuk memelajari
gejala-gejala alam agar bisa memberi peringatan dini kepada sesamanya – melalui
teknologi super canggih yang menghasilkan ramalan cuaca yang tepat (Gary
Stern, Can God Intervene?, 2007:
92-94).
Bencana alam sudah
terjadi di NTT dan ratusan orang telah menjadi korban. Dukungan rohani apa yang
dapat diberikan kepada keluarga korban? Dalam suratnya memeringati satu tahun
runtuhnya jembatan Morandi di Genoa, Italia, tanggal 13 Agustus 2019 yang
menewaskan 43 orang, Paus Fransiskus menegaskan bahwa alih-alih mempermalukan
manusia, bencana alam justru dapat mendekatkan kita dengan penderitaan itu
sendiri yang telah diambil alih Allah melalui penderitaan Putra-Nya. Bagi
Fransiskus, dalam relasi mendalam dan doa, kemarahan, kekecewaan, rasa marah,
dan frustrasi karena penderitaan mendapatkan maknanya pada Allah yang
menderita.
Allah yang hadir dan ikut menderita adalah wujud solidaritas yang paling paripurna. Penderitaan saudara-saudara kita di NTT tidak hanya mendekatkan kita dalam solidaritas dan persaudaraan, tetapi juga meneguhkan kita dalam solidaritas Allah yang paripurna: jalan kesempurnaan melalui jalan salib.
Yeremias Jena, Katekis dan Dosen di Unika Atma Jaya Jakarta
(HIDUP, No.16, Tahun ke-75, Minggu, 18 April 2021)