TEPAT 21 tahun silam,
Riyanto kala itu berusia 25 tahun, berpamitan pada ayahnya Sukarmin. Dengan
seragam loreng hijau khas Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama
(NU), dan vespa kesayangannya, ia siap untuk betugas. Ia mendapat tugas
mengamankan kebaktian di Gereja Eben Haezer, Jalan Kartini nomor 04, Kota
Mojokerto, Jawa Timur, 24 Desember 2000.
Tidak ada firasat buruk
apapun dalam benak sang ayah. Dia hanya melepaskan sang anak dengan pesan
hati-hati saat bertugas. Dia tak menyangka hari itu adalah hari terakhir kali
bertemu sang anak. Saat mengamankan jalannya kebaktian di gereja, ia bersama
beberapa petugas keamanan dan Polsek setempat menemukan sebuah bungkusan
mencurigakan di dalam gereja. Riyanto memberanikan diri membuka bungkusan itu.
Ternyata bungkusan itu berisi sebuah bom. Sekejap Riyanto berteriak, tiarap!
Riyanto berusaha
membuang bom itu keluar jendela agar tidak meledak dalam gereja. Bom dalam
bungkusan itu dilemparkan ke tempat sampah tetapi terpentang dan mengenai
dirinya. Riyanto tewas saat itu juga. Warga lingkungan Sabuk RT/RW 02/04
Kelurahan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto ini membuka cerita baru bagaimana
peran Banser dalam mengawal NKRI.
Prajurit Ulama
Ahmad Deni Haidar,
Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Barat menyebutkan setiap kali Natal atau
Paskah, Banser selalu menjadi sorotan. Karena Banser adalah salah satu ormas
Islam yang terdepan dalam mengamankan perayaan Natal dan Paskah. Banser menjadi
garda depan bila toleransi terusik dengan aksi-aksi intoleransi. “Banser masih
mau mengucapkan selamat Natal dan Paskah kepada saudara-saudara Kristen.
Padahal di beberapa daerah ucapan Natal dan Paskah itu haram. Bagaimana mau
mengamankan ibadah Natal dan Paskah kalau mengucapkan saja haram hukumnya?”
tanya Haidar.
Hal senada diungkapkan
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Gus Yaqut, dalam pesan singkat meminta agar
orang-orang Islam harus jernih dalam berpikir. Dalam Islam tidak ada anjuran
untuk memecahkan umat beragama apalagi membenci minoritas. Dalam konteks ini
Ansor berusaha menjaga NKRI karena pesan utama Islam yang konsen pada habl
min an-nas, habl min Allah, dan juga habl min `alam, “bagaimana hubungan
antarsesama manusia, hubungan manusia dengan Allah, dan hubungan manusia dengan
alam”.
Yaqut merumuskan pesan
ini merujuk pada konteks kemanusiaan di Indonesia. Umat Islam, katanya, harus
mampu membangun relasi kemanusiaan terhadap umat beagama lain. Karena
realitasnya adalah Indonesia itu berbeda agama. Maka relasi saling menghormati,
menghargai perbedaan, gotong royong sesuai Pancasila. “Sampai di sini jangan
takut karena dalam Islam bahkan banyak ulama meyakini bahwa Pancasila tidak
bersebrangan dengan Islam. Bahkan dalam Pancasila terpancar nilai keislaman,”
tulis Gus Yaqut.
Kelangkaan SDM
Betul, Banser adalah
sahabat dekat TNI/Polri, termasuk sekuriti gereja kala Paskah dan Natal. Tapi
bagaimana pengamanan pada hari-hari biasa? Apakah sudah cukup tenaga keamanan
di lingkungan gereja? Bagaimana dengan manajamen keamanan diterapkan paroki
terhadap para sekuriti?
Menjawab beberapa
pertanyaan ini, Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanto menjelaskan
setiap gereja yang menggunakan sekuriti sebagai tim pengamanan hendaknya
memiliki manajemen sekuriti atau manajamen pengamanan yang terpadu. Satpam di
gereja-gereja wajib senantiasa memperhatikan dan melaksanakan sistem manejemen
pengamanan mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan agar menghasilkan tujuan yang diharapkan oleh
lingkungan atau organisasi di mana satpam bertugas.
Mengutip shearing dan stenning dalam
jurnal Crime and Justice, salah satu defenisi sekuriti adalah
berbagai macam bentuk jasa pengamanan, yaitu petugas pengalaman, petugas
patroli, investigasi, sistem alarm, peralatan pemantau, anjing penjaga, alat
sensor, dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, pengertian sekuriti lebih
sempit sebagai perlindungan dari perusakan secara khusus terhadap informasi,
individu, atau properti.
Berdasarkan pengertian
ini, Stanislaus menjelaskan Sumber Daya Manusia merupakan faktor utama pada
sebuah program keamanan. “Hanya masalahnya di gereja-gereja (di perkantoran
umum) sekuriti itu dipilih bukan karena SDM tetapi karena fisiknya yang kekar,
orang yang bisa mengamankan gedung. Bahkan sekuriti itu dianggap orang-orang
yang pendidikannya terbatas. Di sini letak persoalannya,” ujar Stanislaus.
Ia menyayangkan
kelangkaan SDM sebagai ancaman baru bagi keamanan gereja. Stanislaus meyakini
bahwa para personil keamanan harus dilatih untuk mengenali aktivitas
mencurigakan yang diindikasikan dilakukan oleh para teroris (terrorist activity
indicators) lewat beberapa cara. Pertama, lewat pengamatan. Seorang
teroris dapat saja mengamati mengenai kekuatan dan kelemahan yang akan dituju,
juga mengamati personil keamanan yang sedang bertugas. Kedua, pengumpulan
data (elicitation). Seorang teroris bisa mendapatkan data tentang struktur
bangunan gereja atau lokasi dan data personil keamanan. Ketiga, menguji
sistem keamanan; dilakukan teroris untuk mengukur waktu yang dibutuhkan untuk
menerobos masuk lingkungan gereja. “Hal-hal ini harus dipahami oleh sekuriti
yang memiliki SDM yang cukup.”
Sekretaris Ansor Jakarta, Dendy Zuhairil (kanan) ikut menjaga perayaan Natal di Gereja Katedral Jakarta. |
Pembenahan Sistem
Hal yang sama
ditambahkan Nathanael Unmahopa, Bintara Pembina Desa di Kecamatan Gunung Putri,
Kabupaten Bogor. Menurutnya seorang sekuriti perlu memahami jelas tugas dan
fungsinya termasuk lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Dalam bekerja, harus
ada sistem pengamanan fisik seperti adanya CCTV, ada pencahayaan yang memadai,
membuat manajamen risiko dengan aparat penegak hukum, termasuk melakukan rapat
mingguan mengenai manajamen risiko.
Umat Paroki Keluarga
Kudus Cibinong, Keuskupan Bogor ini menuturkan faktor yang harus menjadi
perhatian juga adalah komunikasi dengan seluruh penghuni pastoran atau yang
berada di lingkungan gereja. Di sini perlu membuat suatu rantai komando yang
jelas dan memiliki sistem komando pusat dan cadangan. Bisa komando pusat di
pastoran lalu komando cadangan di pos sekuriti.
“Paling penting, setiap
personil keamanan gereja, harus memiliki lisensi dan sertifikat, dan seluruh
personil keamanan harus ikut serta dalam seluruh kegiatan pelatihan dan
perencanaan untuk memastikan mereka memahami tugas dan tanggung jawab mereka,”
ujar anggota TNI yang sering menjadi Training Security Management
Program ini.
Nathan menambahkan,
para sekuriti di setiap gereja harus sudah terlatih untuk memiliki stimulus
dalam keadaan darurat dan simulasi evakuasi. Setiap gereja harus memiliki
standar manajemen keamanan seperti kontrol parimeter yaitu melakukan patrol dan
mengunci seluruh pintu sebelum dan sesudah kegiatan di gereja. Ada juga kontrol
akses melarang benda-benda tertentu masuk lingkungan gereja atau orang-orang
asing masuk lingkungan gereja.
“Manajamen seperti ini
apakah sudah diterapkan di gereja-gereja? Sepertinya belum semua sekuriti di
gereja memahami hal ini. Asal datang tepat waktu dan pulang tepat waktu,
mumpung tak dikontrol masih sempat tidur-tidur di pos,” ungkap Nathan.
Sesuai pengalamannya,
rata-rata sekuriti di gereja adalah orang yang tidak memiliki rencana darurat,
kurangnya proses penyisiran gedung gereja sebelum Misa, kurangnya akuntabilitas
terkait para pedagang keliling di sekitar pagar gereja.
“Ini tugas yang tidak
mudah butuh kerja sama antara pastor paroki, Dewan Pastoral, dan seluruh umat,
juga tim sekuriti. Tapi jika ingin gedung gereja tetap aman para sekuriti harus
tetap memahami tugas dan peran mereka,“ pesan Nathan.
Yusti H. Wuarmanuk
(HIDUP, NO.16, Tahun
ke-75, Minggu, 18 April 2021)