Suara azan terdengar berkumandang di Gereja Katolik
Santa Anna di Barcelona. Ya, di gereja, bukan di masjid.
Selama Ramadan, gereja itu memang menjadi tempat
berkumpul komunitas Muslim Barcelona. Mereka menyelenggarakan iftar dengan
menghadirkan makanan buatan sendiri untuk disajikan kepada sesama Muslim.
Setiap malam ada sekitar 50 hingga 60 Muslim hadir
di gereja tua itu, dan kebanyakan dari mereka adalah tunawisma. Mereka berbuka
puasa bersama, dan kemudian menjalankan salat Tarawih. Beberapa sukarelawan
gereja juga hadir membantu penyelenggaraan acara tersebut.
Seorang pria memotret dengan ponsel, saat iftar Ramadan di gereja Santa Anna, Barcelona, Spanyol, di tengah pandemi COVID-19, 28 April 2021. (REUTERS / Albert Gea) |
Kegiatan Muslim di Gereja Santa Anna ini merupakan
gagasan Faouzia Chati, presiden Asosiasi Perempuan Maroko di Catalonia. Ia dan
rekan-rekannya dari asosiasi itu biasa menyelenggarakan acara seperti itu di
ruang-ruang tertutup di Barcelona.
Namun, pembatasan berkumpul di dalam tempat-tempat
tertutup memaksanya untuk mencari ruang alternatif dengan ventilasi yang baik
dan ruang untuk menjaga jarak.
Kebingungannya ini didengar Pastor Peio Sanchez,
pemimpin Gereja Santa Anna. Ia memenuhi permintaan Chati untuk menggunakan
gerejanya untuk kegiatan Muslim.
Faouzia Chati mengatakan, "Orang-orang sangat
senang umat Islam bisa berbuka puasa di gereja Katolik, karena agama berfungsi
untuk mempersatukan, bukan untuk memisahkan kita.”
Suka relawan menyiapkan makanan untuk kegiatan amal berbuka puasa Ramadan di gereja Santa Anna, Barcelona, Spanyol, di tengah pandemi COVID-19, 28 April 2021. (REUTERS / Albert Gea) |
Pastor Sanchez setuju dengan Chati. Ia memandang
kehadiran Muslim di gereja sebagai lambang koeksistensi beragama.
“Pertemuan agama bisa menjadi cara untuk menunjukkan
koeksistensi sipil bahwa meskipun memiliki budaya yang berbeda, bahasa yang
berbeda, agama yang berbeda, kami lebih mampu duduk dan berbicara daripada
kebanyakan politisi, yang pada akhirnya lebih banyak berbicara tentang apa yang
membedakan mereka, daripada apa yang bisa mempersatukan kita," jelasnya.
Lamin Mane, seorang Muslim asal Senegal, yang
menjadi sukarelawan dalam kegiatan itu, bersyukur dengan adanya kegiatan ini.
“Setiap hari ada lebih banyak orang yang datang ke
sini untuk makan malam dan semua orang bersyukur, karena jika kita tidak punya
uang kita bisa datang untuk makan di sini tanpa masalah, saya tidak melihat ada
masalah dengan saya sebagai seorang Muslim dan Anda seorang Kristen, tidak sama
sekali."
Hafid Oubrahim, seorang pria keturunan Maroko yang
menghadiri iftar di Gereja Santa Anna berpendapat sama. "Kami semua sama,
tidak ada masalah sama sekali. Kami semua bersaudara, kami menghormati mereka
dan mereka menghormati kami,” jelasnya.
Muhammad Khattabi, seorang jurnalis asal Maroko,
memiliki pandangan yang lebih dalam.
"Seperti yang kami katakan sebelumnya, ini
adalah gereja, gereja untuk Yesus, tetapi ini adalah rumah Tuhan seperti semua
rumah-rumah Tuhan bagi agama-agama lain. Masjid atau gereja, semuanya adalah
rumah Tuhan, dan inilah sebabnya kita harus sangat menghormati tempat-tempat
ini karena itu adalah rumah Tuhan tempat doa kepada Yesus dilakukan,"
jelasnya.
"Dan itulah mengapa kami bangga dengan tempat
ini seperti kami bangga dengan masjid-masjid. Dan kami berterima kasih kepada
Faouzia Chati atas semua yang dilakukannya dan kami bersyukur dan bahagia di
bulan Ramadan ini, alhamdulillah," imbuh Khattabi. [ab/uh]