Patung Pieta di Basilika Santo Petrus, Vatikan (Foto: Dok. Pastor Markus Solo Kewuta, SVD) |
Pastor Dr. Markus Solo Kewuta, SVD (Foto: Tribunnews) |
Selamat berjumpa di
mana saja saudara-saudari semua berada. Tak lupa saya mengucapkan Selamat Hari
Raya Kenaikan Tuhan kita Yesus Kristus, dan juga Selamat Hari Raya
Idul Fitri bagi saudara-saudari Muslim yang juga jatuh pada hari ini,
13 Mei 2021. Salam damai sejahtera dari Roma/Vatikan untuk kita semua.
Pertama-tama, saya
ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Team Penyelenggara
Webinar dari Kongregasi Bunda Hati Tersuci Maria (KBHTM) Keuskupan Maumere,
khususnya Koordinator, Hendrikus Monteiro, yang sudah mengundang saya untuk
ikut hadir dan berbicara pada kesempatan yang berahmat ini. Terima kasih juga
untuk band yang sudah melantunkan lagu ciptaan saya “Bawalah Daku ke
Sion” pada awal sesi saya ini. Jauh di sini saya mendengar lagu yang
saya ciptakan tahun 1992 di Seminari Tinggi Ledalero, tidak jauh dari Kota
Maumere, host webinar kita malam ini, sekaligus membangkitkan banyak kenangan
indah di masa lalu.
Pada tempat kedua,
saya ingin mengucapkan Selamat merayakan Ulang Tahun ke-39 bagi KBHTM dan
selamat menyongsong Pancawindu berdirinya Kongregasi ini. Semoga semakin
bergiat dan sukses dalam menyebarkan spiritualitas Bunda Maria di dalam hidup
keluarga, tempat kerja, Gereja, masyarakat dan bangsa. Yang terpenting
tentunya, semoga nilai-nilai luhur dan keteladanan Bunda Maria semakin masuk
lebih dekat ke dalam lingkaran utama hidup kita.
Sejarah Bulan Maria
Berbicara tentang
Bunda Maria di bulan Mei adalah sangat tepat. Kita sama-sama tahu, bulan Mei
adalah Bulan Maria. Hal ini berkaitan erat dengan peristiwa penampakan Bunda
Maria di Fatima, 13 Mei 1917. Hari ini genap ke-104 tahun.
Menurut sejarah, bulan
Mei sebagai bulan Maria memiliki asal-usul pertama kali di abad ke-18 (tahun
1784), di Italia bagian Utara, di sebuah kota bernama Ferrara, menyebar di
Italia hingga ke Roma, menyebar lagi keluar Italia, terutama ke Swiss, Prancis,
Belgia, Jerman dan Austria, lalu akhirnya ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia
melalui misionaris-misionaris asing kita di masa lalu. Peristiwa penampakan
Bunda Maria di Fatima tahun 1917 memperkuat tradisi kesalehan Marianis pada
bulan Mei ini hingga saat ini. Paus Paulus VI, dalam Ensikliknya “Mense Maio”
yang dirilis pada tanggal 29 April 1965 menetapkan Bulan Mei secara resmi
sebagai Bulan Maria.
Paus Fransiskus pada
awal bulan ini, persisnya hari Sabtu sore, 1 Mei yang lalu, berdoa Rosario
bersama beberapa umat di Basilika Santo Petrus Vatikan dengan ujud untuk
“kemanusiaan kita yang sedang terluka”. Beliau berkata: “Di dalam bulan Mei
ini, marilah kita mengarahkan pandangan kita kepada Bunda Maria, Bunda Allah,
simbol penghiburan dan harapan yang pasti. Kita berdoa Rosiario bersama-sama
agar bisa menghadapi tantangan-tantangan masa kini, dan boleh merasa bersatu
sebagai satu keluarga rohani”.
Di dalam ucapan Paus
Fransiskus di atas sesungguhnya termaktub dua pesan utama. Pertama, dengan
memupuk dan mengembangkan relasi personal kita dengan Bunda Maria, dan padanya
kita mencari perlindungan, maka kita sedang menerima penghiburan atau pemuasan
bathin yang tepat, bukan melalui tawaran-tawaran jasmani yang sementara dan
bahkan merusak hidup kita. Dengan itu, harapan kita akan hidup dan pemenuhan
setiap janji dan rencana indah Tuhan di dalam hidup kita akan semakin kuat.
Kedua, dengan
mengarahkan pandangan dan memusatkan perhatian kita secara bersama-sama kepada
Bunda Maria, kita diperteguh dan dipersatukan di dalam sebuah keluarga rohani,
di mana Bunda Maria sendiri menjadi “Jalan” yang menghantar kita kepada Yesus.
Bunda Maria, Bunda
Yesus, Bunda kita adalah sebuah tema atau pokok pembicaraan yang nampak tidak
akan pernah selesai dibahas. Semakin orang melukiskan Bunda Maria, misalnya di
dalam karya-karya seni, baik seni pahat, lukis dan seni musik, maupun di dalam
berbagai refleksi serta ulasan, semakian ditemukan kekayaankekayaan atau
ilham-ilham spiritual yang mencengangkan dan memperkaya hidup iman kita. Hal
ini bukan saja terjadi di Flores, NTT atau Indonesia, tetapi ini sebuah fakta
di mana-mana, termasuk di Eropa, tempat saya hidup dan bekerja sejak tahun 1992
(selama kurang lebih 29 tahun sekarang). Bunda Maria selalu menjadi topik yang
menarik dan sekaligus figur penting di dalam praktek keimanan kita.
Kalau kita
membuka Youtube dan melihat lagu-lagu Maria, terutama
lagu-lagu terkenal seperti “Ave Maria” dari komponis Eropa terkanal Johann
Sebastian Bach, “Ave Maria” dan “Tutta Pulchra es” dari komponis Eropa
lainnya Anton Bruckner, atau lagu “Ave Maria” dari Pance
Pondag dan berbagai lagu Maria bermotif etnik dan lokal lainnya yang
umumnya bernada sangat menyentuh kedalaman jiwa, kita akan menemukan fakta
bahwa lagu-lagu itu sangat disukai oleh banyak orang; ditandai melalui jumlah
klicks dan jempol yang sangat banyak.
Alasan mendasar dari
fakta iman ini karena pertama-tama, di dalam diri Maria, kita
umat beriman menemukan sosok “Ibu” yang membuat kita lebih mudah
mengkomunikasikan diri, membuka diri, menyampaikan segala sesuatu yang ingin
kita sampaikan. Maria, Ibu, adalah simbol sebuah kedekatan. Kedua,
di dalam diri Maria, kita menemukan jalan atau jembatan yang
sangat pasti menuju Yesus. Kita mengenal adagium Latin ini: Per Mariam
ad Jesum, artinya melalui Maria kepada Yesus.
Pada kesempatan ini
saya mencoba untuk menyampaikan sebuah refleksi singkat dengan menggunakan
sebuah pendekatan baru, dan berharap akan bisa membantu memperkaya hidup iman
kita kepada dan bersama Bunda Maria. Saya beri judul: “Menemukan Ilham-ilham
dari Bunda Maria di dalam Pietà dari Michelangelo”. Untuk memudahkan
kita memahami refleksi saya, saya ingin share gambar Pietà di sini.
Saya bersyukur bahwa
oleh karena tugas dan pekerjaan di Takhta Suci Vatikan, saya memiliki akses
yang besar kepada Skulptur atau patung asli ini yang terletak di bagian kanan
setelah pintu Masuk dari Basilika Santo Petrus, Vatikan. Pintu ini disebut
“Porta dei Sacramenti”, artinya Pintu Sakramen-sakramen. Adalah sebuah
gestikulasi rohani yang bagus dan bermakna, bahwa Sakristi Paus berada persis
di samping Pietà. Selama empat tahun bergabung dalam Team Seremoniar Paus
Fransiskus (2015-2019), saya sendiri melihat bahwa setiap kali sebelum
perayaanperayaan Misa, diletakkan berbagai perlengkapan, termasuk doa-doa dan
teks-teks resmi lainnya di bawah patung Pietà.
Patung Pietà ini
merupakan salah satu dari hasil karya seni terbesar benua Eropa, dibuat oleh
seniman terkenal dunia, Michelangelo Buonarotti, pemahat dan pelukis asal
Firenza atau Florence, Italia, pada akhir abed ke-15 di Vatikan. Selain itu, di
Kapela Sixtin, tempat dilaksanakan pemilihan Paus yang disebut Konkav,
atau, terhimpun lukisan-lukisan Michaelangelo mulai dari Kisah Penciptaan
hingga Pengadilan Terakhir. Di antaranya terdapat lukisan terkenal Penciptaan
Manusia Pertama, Adam, di mana Allah dan Adam berbaring berhadapan dan sambil
merentangkan tangan ke arah satu dengan yang lain, tetapi kedua jari telunjuk
mereka tidak bisa bertemu.
Perlu diketahui juga
bahwa Patung Pietà ini sudah berada di dalam Basilika Vatikan bertahun-tahun
lamanya dan sudah membantu menginspirasi Paus demi Paus dan berbagai pemimpin
Gereja Katolik, yang kemudian diungkapkan melalui cara mereka masing-masing di
dalam merumuskan berbagai ajaran Gereja, terutama dalam kaitannya dengan Bunda
Maria.
Sejarah Singkat Pietà
Kalau sekarang para
Duta Besar berbagai negara untuk Takhta Suci adalah para awam, maka dulu, pada
zaman lahirnya Patung Pietà, persisnya antara tahun 1496-1499, para Duta Besar
negara-negara dunia untuk Takhta Suci adalah para Kardinal. Suatu waktu di masa
kepemimpinan Paus Alexander VI (abad ke-15), ketika nama Michelangelo mulai
tercuat ke permukaan, Duta Besar Prancis untuk Takhta Suci waktu itu, Yang
Mulia Kardinal Jean de Bilheres, meminta Michelangelo untuk mengukir sebuah
patung bernama Pietà dengan contoh patung-patung Vesperale dari
Jerman dan Prancis zaman itu. Motif utama gambar-gambar Vesperale adalah
skenario setelah penurunan jenazah Yesus dari Kayu Salib, yang umumnya
menggambarkan Bunda Maria menerima Puteranya yang tidak bernyawa.
Dinamakan Vesperale, yang selalu dikaitkan dengan sore atau
senja, untuk mengenang kematian Yesus di Golgota pada pukul tiga sore dan
momen-momen kesedihan Bunda Maria setelahnya.
Tujuan permitaan Duta
Besar Kardinal de Bilheres di atas adalah untuk menghiasi makamnya suatu waktu
kalau beliau meninggal dunia. Ternyata beliau meninggal pada tahun 1498, satu
tahun sebelum Patung Pietà diselesaikan oleh Michelangelo. Sejak
selesainya patung itu hingga awal abad ke-20, Pietà dianggap biasa-biasa saja.
Kekhasan Patung ini
ada dua: Pertama, dibuat dari sepotong batu Marmer putih dari
tempat penghasil marmer terkenal di Italia, yakni Carrara, di Provinsi Toscana.
Dengan kata lain, Pietà dipahat dari sebuah potongan marmer utuh. Kedua, ini
adalah karya seni pahat pertama dan satu-satunya dari Michelangelo yang memuat
nama Michelangelo. Di atas gambar kita bisa melihat dengan jelas
namanya yang tertera di atas seutas pita yang melintang diagonal dari bahu
Bunda Maria dan turun melintasi jantungnya hingga bersentuhan dengan tubuh
Yesus. Michelangelo memulai pemahatan Patung Pietà ketika berumur 22 tahun dan
selesai ketika ia berumur 25 tahun.
Selama Konsili Vatikan
II (selama tiga tahun, yakni 1962-1965) Vatikan berperan serta pertama kali
dalam pameran karya seni tingkat dunia bertempat di New York, dari tahun 1964
hingga 1965. Pada saat itu, Pietà tiba-tiba menjadi seperti sebuah magnet yang
memikat minat sangat banyak orang. Ada yang berniat membelinya dengan harga
sangat mahal. Vatikan memutuskan untuk mengembalikannya ke Vatikan, dan sejak
saat itu ditempatkan di dalam Basilika Santo Petrus, tepatnya di area pintu
masuk yang berdampingan dengan Porta Santa atau Pintu Kudus.
Selain merupakan sebuah karya seni sakral yang bernilai sejarah, tetapi Pietà
juga dinilai sangat inspiratif karena mengandung banyak ilham spiritual yang
tersembunyi dan memperkaya iman kita. (Tahun 2017, ketika menerima
mantan Presiden RI, Bambang Susilo Bambang Yudhoyono, saya membawa dia
sekeluarga kepada Pietà dan mereka semua sangat tercenang).
Mari kita coba untuk
menemukan satu dua ilham inspiratif di balik Pietà. Saya membatasi diri pada
dua ilham penting saja oleh karena keterbatasan waktu. Bagi yang masih berminat
untuk mengenalnya lebih mendalam, silakan datang sendiri ke Vatikan, atau
menelusurinya dengan kajian-kajian sendiri .
Pertama: Bunda Maria,
Contoh Keikhlasan dan Pengolahan Duka
Yesus baru saja
diturunkan dari Salib, sudah tidak bernyawa. Bunda Maria menerima Puteranya dan
memangku di atas pangkuannya. Michelangelo ingin mempertemukan di sini dua
titik penting, yakni masa masa kecil Yesus yang sering dipangku, penuh dinamika
kehidupan, keceriaan dan harapan, dan masa sekarang, di mana sudah tidak
bernyawa lagi. Yesus yang bayi, Yesus yang tidak bernyawa lagi pada umur 33
tahun, sama-sama dipangku oleh ibu yang satu dan sama. Michelangelo ingin
mengangkat dan menekankan kuatnya relasi kasih antara ibu-anak dalam dua
situasi berbeda, tetapi dipersatukan oleh satu kasih yang sama, dari dulu
hingga sekarang.
Di sini dilihat bahwa
Bunda Maria mencurahkan kasih ke-Ibuannya secara sempurna; sejak mengandung,
melahirkan, membesarkan, mendidik dan mendampingi Puteranya Yesus, bahkan
berjalan bersama Puteranya yang memanggul salib hingga melihat dengan mata
sendiri, bagaimana Dia dianiaya, disalibkan dan wafat tanpa ada satu kesalahan
pun. Dengan kata lain, Bunda Maria adalah ibu yang mengakui Yesus sebagai
Puteranya, baik di dalam suka, maupun di dalam duka. Dia tidak memilih untuk
mengakui Puteranya sesuai situasi dan kondisi, melainkan tanpa syarat.
Michelangelo juga
melukiskan Yesus dan Bunda Maria dengan sebuah penghayatan hidup serta misi
keduanya sedemikian mendalam, sehingga melihat kedua protagonis atau figur
utama ini, kita seperti melihat dan menyaksikan atau sedang menyentuh
tubuh-tubuh hidup dan real. Urat nadi, tulang-tulang dada, bekas paku,
otot-otot lemas setelah pertarungan sengit melawan penderitaan di Salib, semua
nampak seperti nyata dan hidup. Michaelangelo ingin mengatakan bahwa Yesus
sebenarnya tidak mati. Bunda Maria tidak perlu menangis dan berduka. Tidak lama
lagi akan ada moment sukacita karena kebangkitan.
Kebetulan saya sendiri
masih berada di dalam kedukaan besar di dalam keluarga. Mungkin sempat
mendengar kalau kakak sulung kami, Pater Yosef Bukubala Kewuta, SVD, pergi
meninggalkan kami dengan cara tiba-tiba di Surabaya pada tanggal 27 April belum
lama ini. Saya merasakan betapa beratnya ditinggalkan oleh seorang yang sangat
dikasihi. Akan tetapi memandang Bunda Maria pada Pietà dirasakan ada hiburan
iman yang besar. Ada pengalaman dipersatukan di dalam duka dan samasama pula
bermuara pada iman akan kebangkitan.
Kita melihat pada
Pietà bahwa Bunda Maria bisa menerima kematian Puteranya dengan sebuah
keikhlasan hati yang luar biasa, jauh melampaui kemampuan setiap manusia di
dunia ini. Tanpa keihklasan yang dibangun di atas iman, Bunda Maria pasti tidak
bisa memiliki kekuatan fisik dan psikis demikian besar untuk bisa memangku
tubuh Puteranya yang tentu saja sangat berat. Imannya yang sangat mendalam yang
terungkap lewat “Fiat”-nya (motto kehidupannya sebagai Bunda Yesus)
yakni: “Terpadilah padaku menurut perkataanMu” (Lk 1:38) menjadi sumber
kekuatan yang membuatnya mampu dan tegar untuk menerima kenyataan yang demikian
pahitnya.
Perlu diketahui bahwa
pada tahun 1972 Patung Pietà yang berdiri tanpa perlindungan saat itu mendapat
serangan dari seorang yang tidak waras sehingga wajah dan tangan Bunda Maria
sempat mengalami kerusakan. Akan tetapi langsung dilakukan perbaikan sesuai
bentuk asli, dan bentuk inilah yang bertahan sampai hari ini.
Tangan kanan Bunda
Maria, yang biasanya lebih kuat merangkul Tuhan di dalam suasana penderitaan
dengan sangat kuat. Tangan kiri yang dekat dengan hati dan jantung terbuka
menggambarkan cintanya yang tidak pernah berkurang serta harapan akan kehidupan
setelah kematian yang ditandai dengan kebangkitan. Itulah iman Bunda Maria,
yang juga adalah iman kita semua.
Dari mata Bunda Maria
tidak terlihat setetes air mata pun. Ia menutup kedua mata bukan karena tidak
ingin melihat Puteranya dalam kondisi yang sangat menyedihkan, tetapi ia
sebaliknya ingin membatinkan segala penderitaan Puteranya dan menyimpannya di
dalam hatinya. Terlaksana sekali lagi apa yang pernah dikatakan tentang Bunda
Maria: “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan
merenungkannya” (Luk. 2:19).
Wajah Bunda Maria yang
polos, teduh, bersahaja, penuh roh cinta keibuan menggambarkan sebuah bentuk
solidaritas, belarasa dan empati yang mendalam. Tidak ada ungkapan kemarahan, kebencian
atau balas dendam terhadap musuhmusuh. Ia seutuhnya memfokus perhatiannya pada
Puteranya yang sudah wafat, mencoba meletakkan seluruh dirinya ke dalam setiap
luka dan tetes darah; dan itulah yang terpenting baginya saat itu.
Dengan kualitas-kualitas
keimanan dan kerohanian Bunda Maria seperti ini, layak kita namakan dia: Bunda,
contoh keikhlasan, contoh pengolahan duka tanpa batas.
Kedua: Kasih Ibu-Anak
Tak Dapat Dipisahkan oleh Maut
Kasih ibu-anak selalu
bermula dari kandungan ketika ibu dan anak hidup di dalam sebuah sistem
simbiosis dan menciptakan sebuah relasi yang tidak bisa dipisahkan satu dari
yang lain. Keduanya hanya terpisah kemudian melalui kelahiran dan pemutusan
tali pusat, akan tetapi jejak kasih sayang tetap melekat selamanya di dalam
relasi ibu dan anak . Oleh karena itu, maut pada satu pihak sekalipun tidak
dapat memisahkan mereka.
Didasarkan atas relasi
yang kuat ini, Bunda Maria tidak pernah melihat tubuh Anaknya yang sudah tidak
bernyawa itu sebagai sebuah bentuk kekalahan cinta. Karena baginya, kasih tidak
pernah kalah. Rasul Paulus meneguhkan prinsip Bunda Maria ini di dalam 1
Korintus 13:13: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan
dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih”.
Pangkuan Bunda Maria
oleh karena itu menjadi seperti sebuah “pangkuan” yang tetap selalu mengundang,
selalu memiliki tempat bagi mereka yang letih dan berbeban berat. Di sana semua
duka lara berubah menjadi tanda kemenangan karena ia sendiri telah berhasil
menyelamatkan kekurangan anggur di Kana dengan perkataan yang terkenal itu:
“Apa yang dikatakan-Nya (Yesus Puteranya), lakukanlah itu…” (Yoh. 2:5).
Lebih dari itu Bunda Maria berhasil mengubah konsep tentang kematian PuteraNya
menjadi tanda kemenangan hingga bersama dengan rasul-rasul yang diserahkan
Yesus sendiri kepadanya sebagai ibu mereka, masih dapat menyaksikan kebangkitan
Putera-nya: Ibu, ini Anakmu… (Bdk. Yoh. 19:26-27).
Michelangelo yang
dikenal sebagai seorang Katolik sejati dan mengenal Kitab Suci secara mendalam,
sudah menghadirkan sebuah karya besar, masterpiece, di dalamnya kita boleh
merenung dan mendalami kualitas-kualitas kerohanian Bunda Maria yang berguna
untuk pendalaman iman kita, dan terutama memperkuat relasi kita dengan Bunda
Maria. Dengan mencontohinya, kita dibantu untuk juga bisa menghadapi
situasi-situasi berat di dalam hidup kita. Kita tidak pernah melangkah sendiri.
Selalu ada “ibu” yang mendampingi kita. Asalkan kita tahu bahwa kepadanya kita
harus pergi sambil membawa segala beban hidup kita. Dia sangat memahami kita.
Pangkuannya selalu terbuka.
Kita sudah berusaha
menemukan dua ilham utama. Tentu saja refleksi-refleksi lanjutan, baik pribadi
maupun bersama, akan membuka gerbang-gerbang baru yang mewahyukan kepada kita
ilham-ilham tersembunyi lainnya dari Bunda Maria. Di atas segala-galanya,
Michelangelo menitip kepada kita sebuah pesan penting lain berikut ini:
“Sentimento”
Pietà, yang adalah
bahasa Italia, asal kata bahasa Latin “Pietas”, di dalam
konteks Michelangelo adalah sebuah “sentimento”, sebuah
“rasa” atau “perasaan” yang menyalurkan cinta dan kasih sejati dari sebuah
kedalaman iman; sebuah keharuan yang melampaui sebuah belarasa sesaat; sebuah
belas kasih dan hormat yang mendalam terhadap orang yang sedang berada di dalam
nasib malang. Juga ketika kita harus jatuh ke dalam situasi seperti ini, kita
tidak hilang iman dan berbalik memarahi Tuhan dengan tuduhan tidak cukup
melindungi kita, tetapi terus berkanjang di dalam iman dan pengharapan karena
di balik segala sesuatu selalu hadir pesan (message) dan rencana Tuhan untuk
kita masing-masing.
Bunda Maria pulalah
yang meyakinkan kita melalui Pietà bahwa sebesar apa pun kesulitan dan
tantangan hidup kita, kita tidak pernah merasa kalah atau dikalahkan, karena
kasih Tuhan kepada kita anak-anakNya selalu jauh lebih besar dari segala
sesuatu yang menantang kita, dan rencana-rencana indahNya akan terlaksana di
dalam hidup kita pada waktunya, “kairos” (bahasa Yunani),
artinya pada waktu yang tepat menurut Tuhan.
Ave, Maria, grátia plena, Dóminus
tecum. Benedícta tu in muliéribus, et benedíctus fructus ventris tui, Iesus. Sancta
María, Mater Dei, ora pro nobis peccatóribus, nunc et in hora mortis
nostrae. Maria, Sedes Sapientiae, Takhta Kebijaksanaan,
doakanlah kami. Amin.