Revisi Pemahaman tentang Kaul Kemurnian dalam Gereja Katolik

Revisi Pemahaman tentang Kaul Kemurnian dalam Gereja Katolik

Setapak rai numbei - - - Beberapa waktu lalu, saya terlibat dalam sebuah bincang-bincang ringan dengan seorang teman. Tema yang menjadi bahan perbincangan kami adalah Kaul-kaul Religius Kaum Hidup Bakti.

Teman saya mulai berkisah dari Kaul Ketaatan, Kaul Kemiskinan hingga Kaul Kemurnian, yang menurut pengakuannya cukup “berat”. Beratnya di mana, biarlah itu menjadi rahasia perbincangan kami. Sebelum mulai, seruput kopinya dulu.


Terinspirasi dengan perbincangan itu, dalam tulisan ini, saya mengajak kita sepintas mendalami tema tentang kaul kemurnian. Tanpa ingin berbasa-basi, mari kita lihat pandangan tentang kemurnian dalam arti yang klasik-tradisonal.


Dalam cara pandang klasik-tradisional, konsep kemurnian ini memuat beberapa hal, yakni 1) Penolakan atau kebencian terhadap seksualitas. 2) Penolakan untuk berelasi dengan lawan jenis. 3) berkaul kemurnian sebagai Pemenuhan akan hukum Gereja atau tata hidup religius. 4) Semata-mata untuk tetap hidup tanpa pasangan atau tidak menikah. 5) Mempertahankan keperawanan secara fisik. 6) menghindarkan diri dari semua bentuk relasi seksual (tetap seorang selibat secara badaniah, namun masih tidak murni dalam hati). 7) Kebajikan suci dari kemurnian, menjaga tubuh, hati dan jiwa dari berbagai noda dan dosa.


Dari cuplikan ulasan di atas terbaca bahwa pemahaman yang klasik-tradisional mengenai kesucian-kemurnian rupanya hanya terfokus pada penyangkalan dan penolakan serta sikap yang negatif terhadap seksualitas dan perkawinan.


Kemurnian akhirnya lebih dibicarakan dalam kaitan dengan term-term: ketakutan, noda, dosa dan salah. Penekanan dan penolakan pada aspek seksualitas ini yang akhirnya mengarah pada kemunduran afeksi yang serius di dalam hidup dan panggilan banyak kaum religius.


Banyak yang mudah jatuh dalam krisis cinta dalam panggilannya. Atau salah satu sampel representatif di sini adalah penolakan untuk berelasi dengan orang lain atau dengan lawan jenis.


Ketertutupan sosial ini yang sering menjadikan kaum religius kurang dewasa dalam mengenal dan mencintai. Saat mereka mengenal seseorang atau orang lain, level sikap “over-protektif-lah” atau “over-posesif-lah” yang kadang menguasai relasi persahabatan itu.


Bertolak dari situasi di atas maka sangat diperlukan sebuah revisi pemahaman yang serius akan konsep kemurnian-kesucian kaum religius.


Fokus dari revisi pemahaman ini bisa saja mencakup: perkembangan pribadi, perbaikan mutu afeksi dari kehidupan komunitas, dan memperhatikan gaya hidup yang dipilih sebagai satu kesaksian hidup untuk saling melengkapi sebagaimana dalam perkawinan kristiani.


Karena itu, hidup selibat, murni dan suci tidak harus melulu dilihat sebagai satu penolakan terhadap hidup perkawinan, seksualitas atau berelasi dengan sesama tetapi lebih sebagai satu komitmen kepada pertumbuhan dan perkembangan di dalam kasih yang dibaktikan kepada perkembangan dan pengembangan satu bagi dunia yang dicirikan dengan pelayanan tanpa mengutamakan diri sendiri.


Pembaktian diri kepada Allah tidak berarti kita dipanggil untuk hidup terpisah, terkucil, menyendiri; kita justru dipanggil untuk mencintai orang lain dengan Cinta Allah. Kita membentuk dan sedang dibentuk oleh orang lain. Kita pun juga ingin menarik atau ditarik.


Perasaan ketertarikan dan kegairahan akan sesuatu atau seseorang merupakan sesuatu yang alamiah, wajar dan biasa yang bekerja-bergerak dalam diri dengan cara halus dan perlahan meski kadang juga menyiksa.


Pada tataran psikologis, kita secara spontan tertarik dan ditarik pada apa yang dirasa sebagai “baik dan menarik”. Sesuatu yang baik ini, kadangkala bisa dilihat dari sudut pandang yang kabur-tidak jelas dan global.


Misalkan saja, sesuatu yang baik itu bisa muncul sebagai sesuatu yang khusus, contohnya: keinginan dan hasrat hati pada orang tertentu, pada jenis pengalaman tertentu.


Oleh karena itu, kegairahan itu bergerak halus-lembut dan alamiah, wajar; namun jika ditinjau secara moral, tidak baik tapi tidak juga jahat.


Atau di lain sisi, tubuh kita dapat menjadi obyek dari sensasi-sensasi yang menyenangkan yang mana secara psikologis, kita justru berusaha untuk menyentuh, menggenggam, disentuh, membiarkan untuk dirangsang, untuk digairahkan disenangkan, atau dipuaskan. Ini kebutuhan normal tubuh kita.


Sebagai manusia, kita juga membutuhkan kontak-kontak sosial untuk penerimaan, pengakuan, pujian, interaksi, dan komunikasi. Kita membutuhkan cinta, perawatan dan perhatian.


Kita diciptakan untuk bertumbuh dan berkembang melalui interaksi dan kedekatan kita dengan orang lain. Sebagai pribadi kita akan sulit untuk mencukupi diri sendiri tanpa sokongan orang lain.


Apa yang menjadi kekurangan kita akan dilengkapi oleh orang lain dan itu akan menjadikan diri kita sebagai pribadi yang utuh dan lengkap-sempurna. Karena itu, keterbukaan dalam relasi yang sehat dengan orang lain itu menjadi perlu pada titik ini.


Sekali lagi saya mau katakan bahwa pembaktian diri sebagai seorang religius tidak berarti bahwa kita dipanggil untuk menghayati satu pola kehidupan tanpa keintiman dengan orang lain atau dengan lawan jenis.


Keintiman tidak berakhir dengan diri sendiri tapi menuntut kita untuk berada dalam relasi ‘dengan orang lain.’ Keintiman memanggil kita dari keberadaan kita secara perorangan untuk masuk ke dalam dunia orang lain.


Inilah yang disebut dengan perjumpaan (Incontro, Encuentra, Encounter (en & contro) = kita biarkan diri kita keluar dari diri sendiri untuk masuk dalam diri orang lain).


Jenis perjumpaan ini menuntut perwujudan dan pernyataan diri, satu pengenalan akan orang lain, serta dikenal oleh orang lain, sampai pada tingkat-tingkat religius di dalam perjalanan rohani mereka dan kita. Pada titik ini, komunitas menjadi rumah pendukung, perisai dan tempat pengungsian.


Komunitas juga menjadi satu oasis cinta di mana kaum religius dapat disegarkan kembali melalui cinta dan perhatian dari anggota-anggota yang lain. Kepenuhan dan kesempurnaan hidup sebagai seorang religius tidak dapat diraih dalam lingkungan laki-laki atau perempuan secara terpisah.


Sebab itu kita butuh persahabatan di dalam maupun di luar komunitas. Komunitas yang terbatas pada laki-laki atau perempauan saja akan menjadi komunitas yang tidak lengkap, tidak seimbang, lumpuh dan cacat.


Akhirnya, saya menutup tulisan ini dengan kata-kata dari Aloysius Pieris: “Kesucian dan keintiman dengan semua suasana dan kenyataannnya merupakan merupakan suatu perjalanan panjang, satu proses pertumbuhan dan perkembangan kehidupan yang panjang”.


Kaul-kaul kita juga merupakan sebuah proyek atau program perjuangan yang panjang. Dalam perjalanan panjang kaul-kaul kita, kadang kita boleh membelokkan arah ke kanan dan kadang ke kiri.


Namun proses “penyimpangan dan persimpangan” yang kita buat atau kita alami ini tidak berbahaya sepanjang kita dapat mengoreksi secara terus menerus untuk kembali ke jalur panjang perjalanan kita.


Yakinlah, Dia yang adalah Tujuan dari perjalanan panjang kita akan menuntun dan menyertai kita. Seruput kopi dulu.


Referensi:
Domingo Andrès, Le Forme Di Vita Consacrata, Ediurcla-Roma, 2014.
Xavier Manavath, Seminar Pekan Hidup Bakti, Kupang, 2014.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama