Lho Kok Orang Katolik Makan Babi, Kata Alkitab Haram ???

Lho Kok Orang Katolik Makan Babi, Kata Alkitab Haram ???



Setapak rai numbei Pertanyaan boleh tidaknya kita sebagai pengikut Kristus makan daging babi atau haram tidaknya daging babi untuk dikonsumsi, seringkali menjadi topik diskusi yang sering ditanyakan oleh pemirsa Sahabat Katolik Indonesia via Instagram.

Nah, supaya tidak menjadi perdebatan tanpa arah yuk simak ulasan haram tidaknya daging babi untuk dikonsumsi umat Katolik dalam perspektif ajaran Iman Katolik berikut ini:


Ada pertanyaan : Apakah makan babi diharamkan bagi umat Kristen? Sebab beberapa ayat di Perjanjian Lama menyatakan :


 Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu” (Im 11:7; bdk Yes 66: 17); “Juga babi hutan, karena memang berkuku belah, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan janganlah kamu terkena bangkainya” (Ul 14:8).


Dalam buku penjelasan Katolik tentang Kitab Suci dijelaskan sebagai berikut: (Sumber: A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom B. Orchard, M.A., (New York: Thomas Nelson and Sons Ltd, 1952) p. 236 dan 268):


1. Perihal larangan makanan tertentu di Alkitab adalah sehubungan dengan hukum yang menunjukkan hal haram atau tidak haram, dalam rangka hukum pentahiran/ pemurnian bangsa Israel. Dalam hukum ini dikatakan hal-hal yang haram dan bagaimana cara menghapuskan keharaman tersebut.


Dalam hukum Imamat Perjanjian Lama, hal “haram” menggambarkan keadaan seseorang yang karena perbuatan tertentu yang belum tentu perbuatan dosa, tidak dapat datang kepada Tuhan. Baik orangnya maupun penyebab kondisi orang itu dikatakan sebagai haram.
Maka “haram”/ uncleanness, pada umumnya adalah bersifat eksternal, tidak selalu berkaitan dengan pelanggaran hukum moral, dan penghapusan keharaman tersebut juga merupakan sebuah upacara eksternal yang mengembalikan keadaan orang yang “tidak murni” tersebut ke kondisi sebelumnya.


Studi anthropologi telah menunjukkan bahwa pembedaan hal haram dan tidak haram dan pengertian-pengertian religius yang mendasari perbedaan itu telah tersebar luas dan sudah lama ada sebelum zaman bangsa Yahudi.


Beberapa ide dan praktek ini diterapkan oleh bangsa Israel yang nomadis dan kemudian disyaratkan oleh Tuhan, sejauh mereka tidak bertentangan dengan kepercayaan Monotheistis dan sebagai cara untuk melatih bangsa Israel menuju standar yang lebih tinggi dalam hal kemurnian moral.


Maka motif moral dan religius dari hukum kemurnian adalah seperti yang tertera dalam Im 11:44, “… haruslah kamu kudus , sebab Aku [Tuhan] ini kudus….”Maka dasar untuk mengatakan suatu makanan haram atau tidak haram adalah dari segi kebersihan/ kesehatan, rasa enggan secara natural, pada tingkat tertentu pertimbangan religius, atau karena binatang-binatang tertentu mempunyai konotasi berhala ataupun tahyul.


Pengertian binatang haram yang diterima pada saat itu salah satunya adalah yang berkuku belah, bersela panjang, tidak memamah biak (lih. Im 11:7, Ul 14:8), namun juga termasuk ikan yang tidak mempunyai sirip/ sisik ay.7-9, burung pemangsa ay. 13-19, serangga yang bersayap ay. 20-23, binatang reptilia ay. 29-38.


2. Maka kita melihat di sini, larangan untuk makan makanan yang haram tersebut berkaitan dengan maksud Allah untuk menguduskan umat-Nya. Setelah Kristus datang ke dunia, Kristuslah yang menjadi jalan yang jauh lebih mulia untuk mencapai kekudusan daripada segala hukum pemurnian tersebut.


3. Maka hukum pengudusan/ pemurnian ini sesungguhnya dipenuhi dengan sempurna, tidak dengan menghindari makanan yang dianggap haram namun dengan dengan kita menyambut Kristus yang adalah Putera Allah yang kudus, sang Roti Hidup (Yoh 6:25-59) yang menjadi santapan rohani, ‘jalan’ yang menghantar kita kepada Allah Bapa (lih. Yoh 14:6).

Bagi umat Katolik, hal ini kita terima pada saat kita menyambut Kristus sendiri dalam yaitu dalam Sabda Allah dan terutama di dalam Ekaristi. Dimana Ekaristi menjadi sumber dan puncak kehidupan Kristiani.


Itulah sebabnya Yesus memberikan perintah ini, “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang…… Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran yang jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang…” (Mat 15:11, 18-20)


Hal ini juga kembali ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “…. dalam Tuhan Yesus… tidak ada sesuatu [makanan] yang najis dari dirinya sendiri….. Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rom 14:17).


Juga, Rasul Petrus mengalami penglihatan bagaimana Allah tidak menyatakan makanan apapun sebagai haram, “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram (lih. Kis 10:15).


Di sini terlihat bahwa Kitab Suci sendiri menyatakan bahwa apa yang ditulis dalam Perjanjian Lama (PL) adalah gambaran yang akan digenapi dalam Perjanjian Baru (PB). “Di dalam hukum Taurat hanya terdapat bayangan saja dari keselamatan yang akan datang, dan bukan hakikat dari keselamatan itu sendiri…” (Ibr 10:1).


Aturan-aturan Perjanjian Lama termasuk ketentuan makanan haram ini ada, untuk mengarahkan umat kepada penggenapannya dalam Perjanjian Baru. Yaitu bahwa dimasa Perjanjian Lama, bangsa Israel dipisahkan Allah dari bangsa bangsa lain, termasuk oleh aturan Sabat, sunat dan larangan makanan.


Di Perjanjian Baru, Aturan tersebut digenapi dan disempurnakan oleh Kristus, dengan cara yg berbeda. Kalau penggenapannya sama, maka tidak disebut Perjanjian Baru (PB). Sunat jasmani digenapi maknanya dengan sunat rohani yaitu Baptisan (lih. Kol 2:11-12). Sabat digenapi dengan hari Tuhan, yaitu Minggu yang memperingati kebangkitan Yesus lambang kehidupan baru.


Soal larangan makanan justru merupakan persiapan akan makna yang lebih hakiki, yaitu hal haram dan halal bukan dari apa yang masuk ke dalam tubuh, tetapi dari apa yg keluar dari tubuh.


Pengajaran ini pula-lah yang mendasari sikap Gereja Katolik tentang makanan sembahyangan. Pada dasarnya, kesimpulannya adalah:


Memang bukan soal apa yang masuk yang menajiskan kita (lih. Mat 15:11), sehingga, dengan demikian makanan apapun (asalkan memang dari segi kesehatan layak dimakan) dapat kita makan, termasuk di dalamnya daging babi.


Namun jika dengan memakan daging babi itu seseorang menjadi batu sandungan bagi orang lain [terutama di hadapan orang-orang yang mengharamkan babi], maka sebaiknya ia tidak makan babi (lih. Rom 14:21). Hal inilah yang dianjurkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 8:13). Dalam hal ini memang diperlukan “prudence”/ kebijaksanaan dari pihak kita untuk menyikapinya dan memutuskannya.


Aturan-aturan seremonial dalam Perjanjian Lama– termasuk hal larangan makanan– tidak dimaksudkan Allah sebagai hakikat keselamatan itu sendiri. Melainkan, hal-hal itu merupakan bayangan akan keselamatan sesungguhnya yang dikaruniakan Allah melalui sengsara, wafat, kebangkitan Kristus [Misteri Paska Kristus], yang menjadi dasar dan inti iman Kristiani.


Larangan makan babi yang dianggap sebagai binatang yang kotor pada zaman itu, adalah langkah persiapan bagi umat untuk pengudusan, yang kemudian diperoleh dari santapan rohani yaitu Kristus sendiri sebagai Sang Roti Hidup. Oleh PB, pengudusan sejati tidak lagi diperoleh dari menaati larangan makanan tertentu tetapi dari menyambut Kristus dalam Ekaristi. Kita tidak dapat kembali kepada gambaran atau bayang-bayang yang bukan hakikat keselamatan (lih. Ibr 10:1), setelah hakikat keselamatan itu sendiri sudah digenapi di dalam Kristus.


Artikel ini sudah tayang di Katolisitas.org

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama