Nah, supaya tidak
menjadi perdebatan tanpa arah yuk simak ulasan haram tidaknya daging babi untuk
dikonsumsi umat Katolik dalam perspektif ajaran Iman Katolik berikut ini:
Ada pertanyaan : Apakah
makan babi diharamkan bagi umat Kristen? Sebab beberapa ayat di Perjanjian Lama
menyatakan :
“Demikian
juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang,
tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu” (Im 11:7; bdk Yes 66: 17); “Juga babi hutan, karena memang berkuku
belah, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang
itu janganlah kamu makan dan janganlah kamu terkena bangkainya” (Ul 14:8).
Dalam buku penjelasan
Katolik tentang Kitab Suci dijelaskan sebagai berikut: (Sumber: A Catholic Commentary on Holy Scripture,
ed. Dom B. Orchard, M.A., (New York: Thomas Nelson and Sons Ltd, 1952) p. 236
dan 268):
1. Perihal larangan
makanan tertentu di Alkitab adalah sehubungan dengan hukum yang menunjukkan hal
haram atau tidak haram, dalam rangka hukum pentahiran/ pemurnian bangsa Israel.
Dalam hukum ini dikatakan hal-hal yang haram dan bagaimana cara menghapuskan
keharaman tersebut.
Dalam hukum Imamat
Perjanjian Lama, hal “haram” menggambarkan keadaan seseorang yang karena
perbuatan tertentu yang belum tentu perbuatan dosa, tidak dapat datang kepada
Tuhan. Baik orangnya maupun penyebab kondisi orang itu dikatakan sebagai haram.
Maka “haram”/ uncleanness, pada umumnya adalah bersifat eksternal, tidak selalu
berkaitan dengan pelanggaran hukum moral, dan penghapusan keharaman tersebut
juga merupakan sebuah upacara eksternal yang mengembalikan keadaan orang yang
“tidak murni” tersebut ke kondisi sebelumnya.
Studi anthropologi
telah menunjukkan bahwa pembedaan hal haram dan tidak haram dan
pengertian-pengertian religius yang mendasari perbedaan itu telah tersebar luas
dan sudah lama ada sebelum zaman bangsa Yahudi.
Beberapa ide dan
praktek ini diterapkan oleh bangsa Israel yang nomadis dan kemudian disyaratkan
oleh Tuhan, sejauh mereka tidak bertentangan dengan kepercayaan Monotheistis
dan sebagai cara untuk melatih bangsa Israel menuju standar yang lebih tinggi
dalam hal kemurnian moral.
Maka motif moral dan religius dari hukum kemurnian adalah seperti yang tertera dalam Im 11:44, “… haruslah kamu kudus , sebab Aku [Tuhan] ini kudus….”Maka dasar untuk mengatakan suatu makanan haram atau tidak haram adalah dari segi kebersihan/ kesehatan, rasa enggan secara natural, pada tingkat tertentu pertimbangan religius, atau karena binatang-binatang tertentu mempunyai konotasi berhala ataupun tahyul.
Pengertian binatang haram yang diterima pada saat itu salah satunya adalah yang
berkuku belah, bersela panjang, tidak memamah biak (lih. Im 11:7, Ul 14:8),
namun juga termasuk ikan yang tidak mempunyai sirip/ sisik ay.7-9, burung
pemangsa ay. 13-19, serangga yang bersayap ay. 20-23, binatang reptilia ay.
29-38.
2. Maka kita melihat di
sini, larangan untuk makan makanan yang haram tersebut berkaitan dengan maksud
Allah untuk menguduskan umat-Nya. Setelah Kristus datang ke dunia, Kristuslah
yang menjadi jalan yang jauh lebih mulia untuk mencapai kekudusan daripada
segala hukum pemurnian tersebut.
3. Maka hukum
pengudusan/ pemurnian ini sesungguhnya dipenuhi dengan sempurna, tidak dengan
menghindari makanan yang dianggap haram namun dengan dengan kita menyambut
Kristus yang adalah Putera Allah yang kudus, sang Roti Hidup (Yoh 6:25-59) yang
menjadi santapan rohani, ‘jalan’ yang menghantar kita kepada Allah Bapa (lih.
Yoh 14:6).
Bagi umat Katolik, hal
ini kita terima pada saat kita menyambut Kristus sendiri dalam yaitu dalam
Sabda Allah dan terutama di dalam Ekaristi. Dimana Ekaristi menjadi sumber dan
puncak kehidupan Kristiani.
Itulah sebabnya Yesus
memberikan perintah ini, “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut
yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan
orang…… Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang
menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran yang jahat,
pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah
yang menajiskan orang…” (Mat 15:11, 18-20)
Hal ini juga kembali
ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “…. dalam
Tuhan Yesus… tidak ada sesuatu [makanan] yang najis dari dirinya sendiri…..
Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran,
damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rom 14:17).
Juga, Rasul Petrus
mengalami penglihatan bagaimana Allah tidak menyatakan makanan apapun sebagai
haram, “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram
(lih. Kis 10:15).
Di sini terlihat bahwa
Kitab Suci sendiri menyatakan bahwa apa yang ditulis dalam Perjanjian Lama (PL)
adalah gambaran yang akan digenapi dalam Perjanjian Baru (PB). “Di dalam hukum
Taurat hanya terdapat bayangan saja dari keselamatan yang akan datang, dan
bukan hakikat dari keselamatan itu sendiri…” (Ibr 10:1).
Aturan-aturan
Perjanjian Lama termasuk ketentuan makanan haram ini ada, untuk mengarahkan
umat kepada penggenapannya dalam Perjanjian Baru. Yaitu bahwa dimasa Perjanjian
Lama, bangsa Israel dipisahkan Allah dari bangsa bangsa lain, termasuk oleh
aturan Sabat, sunat dan larangan makanan.
Di Perjanjian Baru,
Aturan tersebut digenapi dan disempurnakan oleh Kristus, dengan cara yg
berbeda. Kalau penggenapannya sama, maka tidak disebut Perjanjian Baru (PB).
Sunat jasmani digenapi maknanya dengan sunat rohani yaitu Baptisan (lih. Kol
2:11-12). Sabat digenapi dengan hari Tuhan, yaitu Minggu yang memperingati
kebangkitan Yesus lambang kehidupan baru.
Soal larangan makanan
justru merupakan persiapan akan makna yang lebih hakiki, yaitu hal haram dan
halal bukan dari apa yang masuk ke dalam tubuh, tetapi dari apa yg keluar dari
tubuh.
Pengajaran ini pula-lah
yang mendasari sikap Gereja Katolik tentang makanan sembahyangan. Pada
dasarnya, kesimpulannya adalah:
Memang bukan soal apa
yang masuk yang menajiskan kita (lih. Mat 15:11), sehingga, dengan demikian
makanan apapun (asalkan memang dari segi kesehatan layak dimakan) dapat kita
makan, termasuk di dalamnya daging babi.
Namun jika dengan
memakan daging babi itu seseorang menjadi batu sandungan bagi orang lain
[terutama di hadapan orang-orang yang mengharamkan babi], maka sebaiknya ia
tidak makan babi (lih. Rom 14:21). Hal inilah yang dianjurkan oleh Rasul Paulus
(lih. 1 Kor 8:13). Dalam hal ini memang diperlukan “prudence”/ kebijaksanaan
dari pihak kita untuk menyikapinya dan memutuskannya.
Aturan-aturan
seremonial dalam Perjanjian Lama– termasuk hal larangan makanan– tidak
dimaksudkan Allah sebagai hakikat keselamatan itu sendiri. Melainkan, hal-hal
itu merupakan bayangan akan keselamatan sesungguhnya yang dikaruniakan Allah
melalui sengsara, wafat, kebangkitan Kristus [Misteri Paska Kristus], yang
menjadi dasar dan inti iman Kristiani.
Larangan makan babi
yang dianggap sebagai binatang yang kotor pada zaman itu, adalah langkah persiapan
bagi umat untuk pengudusan, yang kemudian diperoleh dari santapan rohani yaitu
Kristus sendiri sebagai Sang Roti Hidup. Oleh PB, pengudusan sejati tidak lagi
diperoleh dari menaati larangan makanan tertentu tetapi dari menyambut Kristus
dalam Ekaristi. Kita tidak dapat kembali kepada gambaran atau bayang-bayang
yang bukan hakikat keselamatan (lih. Ibr 10:1), setelah hakikat keselamatan itu
sendiri sudah digenapi di dalam Kristus.
Artikel ini sudah
tayang di Katolisitas.org