Kebiasaan tersebut
sejak kapan dimulai, saya tidak mengetahui secara persis. Tetapi, boleh jadi
sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Sejak manusia menyadari dirinya
tidak sendiri. Ada manusia lain di sekitarnya.
Tentu saja awalnya
dalam lingkup sempit, sebut saja lingkup keluarga. Ketika ada anggota
keluarga yang sakit, yang lain perlu datang memberi bantuan. Mungkin
mengambilkan minum, makan, atau membuatkan ramuan untuk obat. Membantu entah
apa pun yang sedang diperlukan oleh mereka yang sakit.
Karena orang yang sakit
tidak dapat berbuat apa pun. Setidak-tidaknya kehilangan tenaga untuk melakukan
tindakan. Akan melakukan ini atau itu begitu terbatas. Mengalami kesulitan.
Sehingga mendorong orang (yang sehat) di sekitarnya memberi pertolongan.
Seiring dengan
perkembangan peradaban manusia, tindakan menolong, melihat, dan menjenguk
sesama mulai meluas. Saat ada tetangga yang sakit, orang terdorong untuk
menjenguk.
Kemudian, semakin
meluas lagi. Yakni dalam lingkup perkampungan. Manakala ada salah seorang warga
kampung sedang sakit, orang-orang yang ada di satu kampung menjenguk, entah
bersama-sama atau sendiri-sendiri. Namun dalam perkembangannya di tengah situasi pandemi Covid 19 tradisi ini perlahan berkurang akibat protokol kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Kemudian berkembang
lagi. Terhadap kenalan, teman, atau kolega dalam relasi apa pun yang sedang
sakit meskipun berbeda kampung, orang berkepentingan untuk menjenguk. Tentu
saja kalau ada pemberitahuan. Selain itu, jika kondisi memungkinkan. Ada
kesempatan dan keadaan badan sehat.
Kebiasaan seperti itu
terus berkembang hingga sekarang. Menjenguk atau besuk orang sakit, baik yang
dirawat di rumah maupun rumah sakit, setiap waktu dapat kita lihat. Gilir
berganti. Sebagian pulang; sebagian yang lain datang. Hanya dalam
waktu tertentu. Lebih-lebih kalau perawatannya di rumah sakit, jam besuk
sudah ditentukan. Di luar ketentuan, pembesuk tidak diizinkan masuk.
Itu sebabnya pada
jam-jam tertentu di rumah sakit sepi pembesuk. Tetapi, pada jam tertentu ramai
pembesuk. Di daerah saya, budaya besuk di rumah sakit, tak jauh berbeda dengan
yang terjadi di daerah lain.
Lazimnya, bersama-sama
dalam satu rombongan. Kalau pun ada orang yang besuk sendirian karena ia saat
bersama-sama ada kepentingan yang tidak bisa ditunda.
Rombongan besuk ke
rumah sakit, ini yang unik, tak jarang saya melihatnya, mengendarai mobil bak
terbuka, pikap atau truk kecil. Ini kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat
pedesaan.
Menariknya, sekalipun
perjalanan relatif jauh, mereka (tetap) tampak gembira. Barangkali mereka
merasa bahwa besuk di rumah sakit sekaligus rekreasi.
Bukankah rumah
sakit-rumah sakit kekinian amat menakjubkan? Baik sisi bangunannya maupun
penataan lingkungannya sangat memesona.
Para pembesuk yang
berasal dari pedesaan boleh jadi menyaksikan rumah sakit dan lingkungannya yang
memesona itu bagian dari hiburan. Ya, sekali lagi, aktivitas besuk orang sakit
di rumah sakit, di samping memenuhi panggilan kemanusiaan, juga relaksasi.
Memberi penghiburan
Hal ini (sebenarnya) selaras dengan tujuan besuk. Yaitu, untuk memberi
penghiburan kepada si sakit. Orang dalam keadaan sakit memang membutuhkan
penghiburan. Dan, karenanya, orang-orang yang besuk seyogianya orang-orang yang
hatinya senang, bahagia, dan sukacita.
Tidak masuk akal, orang
yang besuk, hatinya dalam keadaan gundah, kesal, marah, dan tegang. Sebab,
tidak mungkin mereka memberi penghiburan kepada si sakit karena hatinya sendiri
belum terhibur.
Sikap yang terlihat di
depan si sakit mungkin tidak sejatinya alias mengada-ada. Aslinya kesal, tetapi
dipaksa-paksakan ramah, jadinya tampak canggung. Bisa jadi malah menambah sakit
orang yang dibesuk.
Akan sangat berbeda
kalau orang yang besuk hatinya sudah terhibur. Ia pasti dapat memberi
penghiburan kepada si sakit secara tulus. Sikap yang muncul di hadapan si sakit
apa adanya.
Tersenyum memang
tersenyum, tidak dibuat-buat tersenyum. Berbicara memang berbicara, tidak
dibikin-bikin berbicara. Sehingga aura yang menyebar di seluruh ruangan tempat
si sakit dirawat, menyenangkan. Keadaan ini yang dapat menghibur si sakit.
Bahkan, terhadap yang
menjagai atau mendampingi, keadaan tersebut juga menghibur. Besuk tidak hanya
menghibur pasien, tetapi menghibur juga orang yang menjagai atau mendampingi.
Sebab, mereka pun merasa letih. Letih menjagai dan mendampingi si sakit.
Dalam sepanjang
waktu berada di satu ruangan dengan aktivitas yang monoton, tentu
membosankan. Lambat laun keadaan tersebut membuat orang menjadi terbeban. Dan,
bukan mustahil bisa depresi. Bukankah orang-orang yang keadaan hatinya lelah,
meskipun fisiknya segar, tetap membutuhkan penghiburan?.
Jadi, kehadiran
pembesuk di ruang perawatan pasien, terutama memang memberi penghiburan kepada
pasien dan pendamping. Agar pasien dapat segera pulih dari sakitnya. Hati
pasien yang terhibur dapat menjadi obat. Karena memang ada pernyataan yang
bersifat terapi, yaitu hati yang gembira adalah obat.
Demikian juga agar
pendamping tetap memiliki kekuatan karena penghiburan pembesuk. Kuat secara
fisik dan psikis dalam menjagai atau mendampingi pasien sangat mutlak.
Orang dalam keadaan
tidak kuat secara fisik dan psikis tidak ada manfaatnya menjagai atau
mendampingi pasien. Bisa-bisa ia malah terkena penyakit sendiri karena stamina
tidak kuat.
Membangun nilai kemanusiaan
Aktivitas besuk sangat menguntungkan pembesuk sendiri. Sebab, besuk orang sakit
membangun nilai sosial pada dirinya. Ia dapat menjalin hubungan dengan orang
lain. Apalagi kalau aktivitas besuk dilakukan secara kolektif.
Pertama, ia dapat
membangun komunikasi dengan sesama pembesuk. Dalam konteks ini, satu pembesuk
dengan pembesuk yang lain semakin akrab atau guyub. Mereka dapat merasakan
keadaan yang sama. Mereka dapat menanggung bersama biaya yang dibutuhkan,
misalnya. Berangkat bersama; pulang bersama. Cara ini sangat membangun nilai
sosial pada diri seseorang.
Bukan tidak mungkin
kondisi itu dapat menjadi ruang belajar. Misalnya, yang dulunya tinggi hati,
berubah menjadi rendah hati. Yang dulunya rendah diri, berubah menjadi optimis
dan percaya diri. Jadi, besuk bersama-sama, baik di rumah sakit maupun di
rumah, sangat memungkinkan orang memiliki nilai kemanusiaan semakin meninggi.
Kedua, pembesuk dapat
berhubungan dengan pasien, sekurang-kurangnya dapat melihat pasien. Sehingga
sangat mungkin ia dapat ikut merasakan apa yang dirasakan oleh pasien. Di sini,
orang membangun rasa empatinya terhadap sesamanya.
Selain itu, pembesuk
dapat berintrospeksi diri. Dengan memiliki empati terhadap orang yang dibesuk,
introspeksi diri dapat terbangun. Setidak-tidaknya, ia menghayati bahwa
seseorang selalu dekat dengan sakit sebab seseorang juga sehat. Bukankah ada
sehat pasti ada sakit?.
Dengan berintrospeksi
diri, seseorang dapat lebih berhati-hati. Tentu juga lebih rendah hati. Dapat
mengucap syukur atas segala yang dialaminya. Dan, mengucap syukur berarti
mengakui adanya Tuhan. Jadi, aktivitas besuk, dapat membangun seseorang semakin
beriman kepada Tuhannya.
Begitulah kira-kira,
renungan dari aktivitas yang kami lakukan tadi sore setelah membesuk rekan kerja a.n. Ibu Apriana Kota yang sedang sakit di rumahnya di Wemalae, Kota Betun - Kabupaten Malaka sebelum saya menulis
artikel ini. Ada teman yang sakit, tapi begitu tiba-tiba sakitnya. Karena
sehari sebelumnya masih bertemu dengan saya, bersama-sama melakukan aktivitas
yang sama juga.