Aku
memikirkan tentang seseorang yang selalu berpikir tentang ingatan-ingatan orang
tanpa sehelai rambut pun miliknya yang pernah tinggal di kepala orang lain. Aku
menyesalkan sikap pemuja nalar yang menelanjangi setiap benih gagasan tanpa
sekalipun ia merenda derai hujan persentuhan. Aku memaki setiap omong besar
yang teralun dari nada-nada sumbang penghakiman. Aku mengutuk sekepal dendam
yang menuntut balasan tanpa ia memulainya dengan tegur sapa kehangatan.
Aku berceloteh pada
bibir pantai, meludahkan tangisan putus asa. Mengusir buih agar kembali ke
tengah lautan, melarutkan angan sendiri, tentang pelepasan luka, tanpa
pertarungan. Aku mengutuk sedemikian rupa sikap seseorang, bahkan sikap
kebanyakan orang, yang tak mampu berpikir tajam, keras, sangar. Aku menghardik
mereka semua dalam alunan nada-nada balerina. Mereka semua payah, lemah! Satu
kepalan adalah sikap menahan gempuran, bukan pelepasan harga diri seiring ruas
jari yang terbuka, memberikan apapun yang kalian punya, tanpa sisa.
“Biarkan aku terus
melawan, aku tak ingin dikalahkan!”
***
Matahari panas
memberikan auranya tersendiri untuk tanah ini, menjebakku pada keasingan
sekitar. Tidak ku jumpai siapapun, kecuali penjaga di bilik belakang sana.
Sudah bosan aku mengetuk-ketuk layar gadget, lelah mataku mengikuti puluhan
ribu huruf, bukan aku jika menjadi objek, aku adalah subyek. Telah ku tepis
semua informasi yang datang dari ragam moncong para pewarta, aku yang
seharusnya memberitahu kalian semua, aku pemilik segala kualitas, dan sudah
sepatutnya kalian mulai merembukkan harga yang pantas untuk itu. Jangan berani
menawar, andai kalian tahu, sudah berpuluh-puluh tahun aku mengongkosi hidup
dengan kepahitan, maka sekali saja aku mengecap rasa manis: selesailah hidupku!
Aku mengutuk mentari
panas yang membosankan ini dengan gelegar yang kuciptakan sendiri. Mengusir
nada sumbang berganti senandung sarat perenungan. Bukan hidup jika rela jadi
seonggok kaku; seolah rumah bagi pelesatan jutaan anak panah. Aku beranjak,
meminta sebuah ukulele (juk, read
Timor). Mengalunkan lagu suka cita dengan mulut, tangan, dan telinga sendiri.
Lima judul lagu sudah ku selasaikan, berhenti sejenak, sembari memberi waktu
kepada suasana. Tetiba terdengar seseorang memanggil,
“Hai Mas.” Suara
perempuan terdengar dari teras,
Aku melambaikan tangan,
memberi tanda agar mendekat,
Perempuan itu
tersenyum, lalu mengambil posisi duduk di sebelahku.
“Apa kau sudah memuat
tulisanku hari ini?” Aku bertanya, tidak begitu ingin tahu, tapi hanya sekadar
memastikan.
“Tunggu, kenapa tak
membiarkanku meneguk beberapa tetes air? Bukankah kedai ini punya perasan
buah-buahan yang dapat membuatku segar kembali?” Seolah menuntut pembayaran
jasa, perempuan itu coba untuk menunda pembicaraan, aku sangat mengerti situasi
ini.
“Bicaramu mirip
kebanyakan seniman yang gemar memutar kata, kenapa tidak langsung berteriak Jus
buah saja?.”
“Aku bersamamu
sekarang. Jadi, aku perlu mengkondisikan diriku, agar terlihat pantas berdua
denganmu di meja ini haha..” Ia mengemas alasan yang sangat tawar, tidak aku
pedulikan itu.
Beberapa menit
kemudian, seseorang membawa segelas pesanan, memaksa ia bersegera menunaikan
persoalan yang aku tanyakan.
“Sudah, kau bisa
mengeceknya sekarang dari gadget mu. Meskipun tadi, ada seseorang menegurku dan
mempertanyakan naskah itu. Tapi aku tak peduli, mungkin dia harus lebih
menggali pengetahuannya, sebelum berani untuk membantahku.” Perkataan perempuan
itu memicu diriku untuk sedikit menegapkan duduk.
“Apa yang dia katakan?
Dia menilai tulisanku atau penulisnya?”
“Entahlah, tapi dia
sempat menaruh ke dua matanya beberapa lama di laptopku.”
Aku ingin segera
membakar rokok surya 12, lalu menghirupnya. Aku sudah kadung terbakar suasana.
“Sesekali, undanglah ia
menemuiku di sini. Lalu katakan keberatannya kepadaku langsung, bertatap
mata.”
“Boleh, aku hanya perlu
berpura-pura mengajaknya jalan-jalan selepas dinas. Mungkin besok aku membawa
dia kesini menemuimu.” Jawabannya melegakan diriku, sekaligus memantik gairah
nalarku.
“Pesanlah makanan jika
kau lapar, aku yang bayar!”
Perempuan itu mengikat
senyum, lalu mengepalkan tangan, meninju udara.
***
Ketahuilah, wahai
pemilik segala ketekunan. Bahwa hari-harimu akan lebih bergairah jika terus
mengulang kebiasaan tentang hal-hal yang kau yakini benar. Tidak perlu sok
bijak mengukur segala sesuatu, putuskan saja dan tak perlu kau pertimbangkan.
Semua yang kau dengar, membuatmu dangkal. Semua yang kau katakan, sibak
menggema di belantara akal pikiran, menyusutkan hitungan. Memberinya
perhitungan baru. Tekankan saja: Satu kali pandangan, ada beribu penglihatan.
Engkau harus berani bertaruh atas keyakinan yang kau genggam. Bawa setinggi
mungkin, lalu tebarkan ia di angkasa.
Aku seperti berkecipak
di kolam tanpa riak, biarpun semesta sudah menjatuhkan bongkahan sarat tekanan.
Air hanya menggenang saja. Bagaimana aku hendak mengukur kedalaman?
Seseorang mengganggu
pikiranku malam ini. Sementara aku harus menuntaskan beberapa tulisan, mereka
sudah menungguku esok pagi dengan isyarat denting handphone. Lantas akan
kujawab apa? Hendak menuliskan apa aku sekarang, sementara lalu lintas diksiku
malam ini begitu semrawut. Aku kurang meneguhkan, karena semua orang memegang
pluit. Aku harus tetap berusaha, tidak boleh aku biarkan oranglain memaku
pikiranku yang liar. Aku akan segera membangunkanmu esok hari, memastikan
ketidakmatian pada nalarmu. Temui aku!
***
“Kopi seperti biasa
mas?” Tanya penjaga kedai kepadaku.
Ku beri acungan jempol
di udara, ia mengangguk.
Hari begitu dingin jika
semua orang berdiam dalam ketidaktahuan. Apa sulitnya beranjak? Tanyakan segala
hal kepadaku. Aku pandai menyibak. Tidakkah kau lihat rambutku yang ikal
panjang ini?
Aku tertawa dalam
batin. Sesekali aku menengok pintu masuk. Berharap menemukan seseorang yang ku
tunggu, berdiri di sana. Datang dengan seikat tuduhan, lalu akan kutelanjangi
semua yang ia pakai.
Namun, detak berganti
detik. Kopi sudah sekian kali kulumuti. Belum ada tanda-tanda mereka datang.
Memaksa aku untuk kembali tertawa.
“Mas, Jus jeruk ya,
dua.” Suara yang kutunggu membuat daguku terangkat, lalu mataku beranjak dari
layar gadget dan kubidikkan tepat ke arahnya. Perempuan itu datang berdua
sekarang, dan aku kenal dengan siapa dia datang.
“Wah, Bung! Kau bekerja
di sana juga?” Aku menggelar perbincangan sembari telapak tangan kupeluk
hangat.
Hanya senyum yang
kudapati.
“Mas kenal dia?
Syukurlah. Tidak percuma aku berbohong.” Seloroh perempuan itu dengan menaruh
kedua jari di depan jidat.
Aku menatap lelaki itu,
tidak aku temukan ketakutan pada wajahnya. Itu sedikit mengangguku.
Aku memutuskan untuk
mulai masuk ke dalam persoalan, ia pun segera mengambil posisi tegap, tanda
bersiap.
“Apa yang membuatmu
terganggu dengan tulisanku?”
Ku dengar lelaki itu
menarik nafas sebelum mulai menjelaskan,
“Ketika kemacetan
menghinggapi jalanan, perlu ada orang-orang membuka jalan. Tidak perlu lagi
saling bersikeras menyalahkan.” Lelaki itu membuka dengan kemasan kalimat sarat
perumpamaan.
“Lalu?”
“Ya, orang seperti Anda
yang berani melakukan hal-hal yang tidak setiap orang memikirkannya.”
“Soal konten tulisanku?
Kenapa berputar-putar begitu. Putaran jika menjadi siklus, akan meluaskan
pandangan. Namun jika hanya berputar saja tanpa kejelasan, itu memusingkan!”
Jawabku sedikit menggertak.
Dia tertawa, lagi-lagi
aku merasa diremehkan.
“Begini, Anda kan
seniman. Perumpamaan-perumpamaan seperti itu adalah makanan para seniman
sehari-hari, jadi perkataanku tidak mungkin memusingkan, benar bukan?”
Ku jawab saja, kalimat
yang ia suguhkan tidak begitu bergizi untuk ku telan.
Lagi-lagi ia tertawa,
membuatku jengkel. Lalu tanpa sadar aku meninju meja, kukepalkan tangan tepat
di depan hidungnya.
“Segera tuntaskan
ketidaksukaanmu padaku!”
Lelaki itu diam, entah
pada batinnya ia berbicara apa. Aku tak sanggup mengetahuinya, meski sebenarnya
ingin juga kuketahui.
Melihat perubahan
sikapku, lelaki itu mengalihkan pembicaraan dengan meminta sebatang rokok, lalu
telunjukku mempersilakan. Perlahan ia hirup, empat lima kali hisapan, ia
kembali menelurkan kata,
“Mas hanya perlu
mengubah lesatan telunjuk dengan lebih membuka jari-jari lainnya, bawa kelima
jari itu mengelus keadaan dengan selembut-lembutnya bujukan.” Lelaki itu
kembali bermetafor.
“Kau bilang aku hanya
pandai menunjuk saja? Apa karena aku orang tua, sehingga yang kau pahami dariku
hanya imbauan-imbauan atas semua kesalahan? Perlu kau ketahui, bahwa tugas
adalah tugas, bukan demi surga dan neraka, tetapi demi kehormatan seorang
manusia.” Aku memungkasi perkataanku dengan mengutip sebait sajak Rendra.
Terbatuk ia mendengar
jawabanku.
“Jangan ajari aku tata
cara berhubungan dengan khalayak, aku sudah khatam dengan itu. Segera beritahu
aku seperti apa aku yang kau inginkan? Lalu aku akan membawamu kepada keadaan
yang seharusnya engkau berada di sana.”
Mendengar penjelasanku,
lelaki itu memutuskan untuk mengakhiri permbicaraan, sebelum semuanya menjadi
lebih membahayakan hubungan ketiganya.
“Sudahlah bung, aku
melepas tuduhku sekarang. Aku hanya ingin menyapa. Bukankah bus yang saling
melaju, juga saling bertemu. Kita hanya perlu saling menyapa saja, tidak ada
lagi yang bersikeras untuk saling membuka jalan, daripada kita disesatkan oleh
pikiran-pikiran kita masing-masing. Tapi mohon percaya, aku takkan bermaksud
hendak memutus tujuan satu sama lainnya. Biarkan berjalan saja.” Ia membungkus
pertemuan dengan mudahnya.
“Kenapa? Apa yang kau
takutkan? Pecundang!” Aku pancing dia lagi, berharap berlanjut baris
pertempuran.
Ia hanya tersenyum,
sangat meremehkanku.
Lalu ia meminta pamit,
dan menyuruhku untuk kembali mengirimkan beberapa naskah, sembari berjanji
untuk membacanya.
Sia-sia jika
kulanjutkan, mungkin pikirannya sudah kadung bebal dimakan rutinitas yang tanpa
gairah. Aku persilakan saja dia pergi, namun sedikit kukenangkan padanya satu
kalimat,
“Kalau tidak berani
menyatakan apa yang kau pikirkan, karena menganggap itu akan menghacurkan
keadaan. Setidaknya penuhi dulu dirimu dengan beberapa pengetahuan.
Sering-seringlah membaca, setidaknya itu dapat membantumu, mendobrak ke dalam
kesadaranmu.”
Ia hanya mengangguk
saja, lalu pergi dengan menginjak rokok yang telah habis sebagai kuda-kuda.
Sambil lalu, aku
seperti mendengar ia berisik pelan,
“Tidak ada seorang pun
yang dapat menjalani perjalanan oranglain.”
(Selesai)