Saul berkata, “Walaupun
Tuhan telah menyerahkan aku ke dalam tanganmu, engkau tidak membunuh aku.” –1
Samuel 24:19
Pagi
itu, seorang petani mengendarai truknya dan mulai memeriksa tanaman di tanah
pertaniannya. Ketika ia sampai di ujung tanahnya, darahnya mendidih. Lagi-lagi
ada orang memanfaatkan lokasi tanah pertaniannya yang terpencil untuk membuang
sampah secara ilegal di sana.
Ketika petani itu memindahkan kantong-kantong
sampah yang berisi sisa makanan itu ke bak truknya, ia menemukan sehelai
amplop. Pada amplop itu tercetak alamat si pelaku. Ia berpikir, sungguh
kesempatan yang terlalu bagus untuk dilewatkan. Malam itu ia pergi ke rumah si
pelaku dan memenuhi halaman rumah orang itu dengan sampah—bukan hanya sampah
yang dibuang di ladangnya tetapi juga sampahnya sendiri!
Mungkin balas dendam itu membawa kenikmatan
tersendiri. Namun, apakah tindakan itu dapat dibenarkan? Dalam 1 Samuel 24,
Daud dan anak buahnya bersembunyi di sebuah gua untuk melarikan diri dari
kejaran Raja Saul yang ingin membunuhnya. Ketika Saul berjalan masuk ke dalam
gua yang sama untuk membuang hajat, anak buah Daud melihat hal itu sebagai
kesempatan yang tidak boleh dilewatkan untuk membalas dendam (ay. 4-5). Namun, Daud menolak untuk mengikuti
nafsu membalas dendam. “Dijauhkan Tuhanlah kiranya dari padaku untuk melakukan
hal yang demikian kepada tuanku,” katanya (ay. 7). Ketika Saul mengetahui bahwa Daud
memilih untuk tidak membunuhnya, ia hampir tidak percaya. “Engkau lebih benar
dari pada aku,” serunya (ay. 18-19).
Saat kita atau seseorang yang kita kasihi
menghadapi ketidakadilan, mungkin akan tiba kesempatan bagi kita untuk membalas
dendam. Akankah kita menyerah pada hasrat tersebut, seperti yang dilakukan si
petani, atau kita melawannya, seperti yang diperbuat Daud? Akankah kita memilih
kebenaran daripada pembalasan dendam?