“Bila kau
bertemu dengan kegelapan, sampaikan pesanku padanya. Aku takkan pernah lari
dari takdir. Aku akan tetap disini, menanti matahari tiba, atau kegelapan boleh
menemuiku duluan.”
Mungkin,
Waktu adalah teman paling setia bagi manusia. Tak ada hambatan untuk saling
berbagi cerita kehidupan. Waktu tak akan lari kemana-mana, dia akan selalu ada
untuk memberitahuku kapan hujan akan turun. Lantas, apa hubungan Waktu dan
hujan?
Karena
sejauh yang kutahu, hanya hujan-lah yang menjadi saksi perjalananku. Hujan dan
Waktu adalah sahabat karib.
Permulaanku
dengan Waktu tidak seperti sekarang ini. Tidak mudah untuk menapakinya. Aku
harus jatuh-bangun, berdarah-darah, demi meraih uluran tangan sang Waktu yang
tak sabar menungguku datang dari kejauhan. Ya, Waktu membenciku pada permulaan
ini. Aku lebih berjalan lambat, tanpa peduli bahwa Waktu tak bisa
meninggalkanku sendirian.
Aku tahu perasaan Waktu ketika itu, karena kini aku
merasakan bagaimana sakitnya ditiadakan oleh orang lain.
Aku tak pernah lupa ketika Waktu menemukanku
menangis di pojokan kamarku yang sempit. Di antara rinai hujan,
menelisikkan suara rintiknya yang begitu kelu. Dia tahu aku tak bisa kehilangan
sepasang malaikat yang senantiasa mengelus rambutku sebelum beranjak tidur.
Atau, membuatkanku sarapan kesukaanku, telur dadar.
“ayo ikut denganku, akan kuajak jalan-jalan”
Sang Waktu mencoba menghiburku.
“tidak” aku menolaknya. Kepalaku masih tersembunyi dibalik pelukanku pada kedua lutut.
“terakhir kali aku ikut denganmu, kau
mengambil ayah dan ibu.”
“kau pembohong.”
Waktu terdiam. Aku melihat jarum jam dinding kamarku
juga berhenti. Hanya aku dan dia yang sadar dalam dimensi ini. Aku bisa membaca
Waktu ingin segera membantahku, tapi urung dilakukan. Aku pergi
meninggalkannya, karena aku tak lagi percaya padanya.
***
Sepuluh tahun lamanya aku tak bersua dengan Waktu.
Kita berdua sepertinya belum merindukan satu sama lain. Padahal, Aku
masih seperti dulu, menyukai selasar taman yang dikelilingi oleh sepetak bunga
tulip. Menggores tinta pada selembar kertas putih berukuran a empat.
Menuliskan tiap perjalanan yang telah kulalui.
Kata ‘sepi’, ‘seorang diri’, ‘diam’ masih
mendominasi berlembar-lembar kertas yang sudah menumpuk di atas meja rumahku.
Entah kata apa lagi yang bisa kutuliskan untuk menambah variasi kata baru.
Rasanya ada yang kosong di dalam sini, tanpa tahu obat penawar apa yang tepat
untuk menambalnya. Ada yang berbeda antara dimensiku dengan lainnya. Aku
kehilangan sang Waktu.
Ya, aku merindukannya.
Apakah Waktu
benar-benar melupakanku?
Kerinduan ini menghantarkanku pada keterpurukan.
Bagai anak ayam yang kehilangan induknya, aku tak bisa membaca dengan jelas
peta kehidupanku. Aku lebih banyak berjalan di sepertiga malam, hanya untuk
berharap, barangkali Waktu akan muncul di depan sana, dekat kedai kopi
favoritku.
“Harapan memang selalu ada, tapi aku lebih percaya
pada takdir.”
***
Sang Waktu menemukanku pada suatu sore yang sendu,
dengan senja berada di ambang langit. Siapapun bisa mendengar alunan
rintik-rintik hujan itu. Entah kenapa, dia selalu menemukanku ketika hujan.
Mungkin, karena ia bersahabat dengannya.
Tangan sang Waktu membelai pelan pipiku. Serasa
ibuku membangunkanku di setiap pagi yang indah. Betapa terkejutnya aku ketika
itu adalah sang Waktu, bukan ibu.
“bagaimana bisa...kau....” aku tak percaya dengan
apa yang kulihat.
Sang Waktu tersenyum.
“kita kan teman.”
“aku tak pernah memanggilmu teman.” Ucapku ketus.
“kalau begitu panggil aku tamu.” Balas waktu. “aku
ingin mendengar ceritamu.”
Untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, ada
yang memintaku bercerita. Ayah pernah berkisah, “kamu pasti akan berjumpa
dengan gelap dan terang. Tapi hanya waktu yang bisa menujukkanmu jalan mana yang
tepat.”
Aku pikir tak ada salahnya berbagi cerita. Toh, pada
akhirnya Waktu kembali hadir di sampingku.
***
Sang Waktu menemaniku hingga sepertiga malam. Senang
rasanya kerinduan ini terobati. Walaupun lisan berbohong, Toh batin bisa
berkata apa. Dia ternyata tak pernah meninggalkanku. Ia mengawasiku dibalik
langit ketujuh, rupanya. Karena bukan dia yang menyerah akanku, tetapi aku yang
pergi meninggalkannya. Dia percaya, bahwa suatu saat nanti akan tiba masanya
ketika aku dan dia ditakdirkan bertemu kembali. Sampai saat itu tiba, dia
senantiasa memperhatikanku. Sampai hari ini, saat dia membangunkanku dari tidur
lelap.
Kita mulai saling membuka diri. Waktu menasihatiku
banyak hal. Bahwa hidup itu bukan sesuatu hal yang boleh disia-siakan.
Kehilangan adalah perusak keharmonisan perasaan dan emosi yang sudah Tuhan
ciptakan secara sempurna untukku. Bahwa aku bisa menambal kekosongan di dalam
dada ini oleh satu hal; rasa cinta.
Waktu mengajariku, bagaimana kronologis dulu
Rasulullah SAW menorehkan kisah cintanya dengan Siti Khadijah, perempuan mulia
yang mampu menggugah hati sang kekasih Allah. Ketika dahulu, Ali bin Abi Thalib
harus kecewa ketika Fatimah, sang putri Rasulullah dipinang oleh Abu Bakar dan
Umar Bin Khattab. Apadaya, Tuhan menakdirkan Ali mengarungi bahtera pelayaran
kehidupan bersama Fatimah.
Waktu mengajariku, dia dan takdir berbeda. Mereka
diciptakan dari hal yang berbeda. Waktu-lah yang menunjukkan jalan pada takdir,
kemana ia kan berlabuh.
Waktu berpesan padaku, untuk mencoba melangkah dalam
perspektif yang berbeda. Bahwa bumi ini diciptakan bukan untuk berjalan dalam
satu langkah perjalanan. Membuka gembok hati adalah kunci utamanya.
***
Dalam suatu pagi yang sendu, seperti biasanya, aku
terpaksa meneduhkan diri di kedai favoritku, lima puluh meter dari rumah. Pagi
ini langit menangis tak keruan. Orang-orang berbondong beranjak dari santainya
hanya sekedar mencegah bajunya basah. Diantara orang-orang itu, ada seorang
gadis yang memancing perhatianku. Bukan karena dia cantik tiada tara, tapi
karena aku melihat sang Waktu menuntun gadis itu ke kedai ini. Ke arah mejaku.
“maaf, apakah kursi ini kosong.”
Sang gadis bertanya di antara lamunanku. Sang Waktu
langsung menginjak kakiku yang tersembunyi dibalik meja.
“aww”
“eh, iya, kosong kok..” jawabku tergugup.
Sang Waktu pergi meninggalkan gadis itu sambil
tersenyum. Entah berapa banyak rencana yang sudah disiapkan olehnya dibalik
langit ketujuh. Aku ditinggalkankan dalam perasaan campur aduk antara senang,
terkejut, ataupun bingung.
Ya, dalam sekejap aku sudah dijebak oleh kekaguman.
Walaupun dia hanya bertanya sekilas padaku, aku bisa melihat dari kedalaman
wajahnya. Wajah yang menunjukkan kesederhanaan dan kebaikan yang belum pernah
aku lihat sebelumnya. Gadis itu masih duduk di kursi depan sana, persis
dihadapanku. Di meja yang sama. Karena langit belum mau berhenti menangis,
gadis itupun memesan kopi yang sama denganku. Permulaan keterpautan, pradugaku.
Aku tahu maksudmu, Waktu. Kamu memang sahabatku.
***
Aku terbangun di sepertiga malam. Ada secarik kertas
memo menempel didahiku. Jangan sering-sering jalan-jalan malam,
sekali-kali berdoalah. Isi pesan itu memantik rasa penasaran. Tetiba, terdengar
bunyi kaleng jatuh berdentang di luar kamar. Ada secarik kertas juga di
dalamnya.
Munajatkan doamu agar kekagumanmu padanya berubah
menjadi harapan yang mampu membawamu pada langit ketujuh. Karena aku menunggu
ketika kamu menemuiku dengan seseorang yang ada dalam doamu.
***
Setiap hari aku menunggu sang gadis di meja dan
kursi yang sama. Hujan, terik panas, bermusim-musim cuaca berganti, aku tetap
disana. Dalam penantianku, kutitipkan sebuah surat pada sang waktu melalui sujudku
di sepertiga malam. Surat tanpa kertas.
Wahai sang Waktu, entah berapa banyak rencana yang
kau tuliskan untukku selama sepuluh tahun ini. Kau tahu, sepuluh tahun bukan
waktu yang sebentar. Sepuluh tahun kamu peduli padaku dibalik ketidaktahuanku,
dan selama itu pula aku membencimu. Bukan kamu yang tak memaafkanku, sahabat.
Aku yang pergi meninggalkanmu ketika dulu.
Bila kau bertemu dengan kegelapan, sampaikan pesanku
padanya. Aku takkan lari meninggalkan takdir. Aku akan tetap disini, menanti
matahari tiba, atau ia boleh menemuiku duluan. Aku harus segera berkisah
padanya, bahwa kini aku memilihmu, Waktu. Kamu-lah satu-satunya bukti dari
perjalananku. Perjalanan metamorfosa yang aku pikir, inilah kenangan terbaik.
Terimakasih Waktu, semoga kita bisa benar-benar bertemu dilangit ketujuh.
Dihadapan gadis yang kini menarik kursi di depanku,
aku membisikkan padanya panjatku, yang membuatnya tersenyum.
“aku dan kamu diciptakan berbeda untuk saling
melengkapi. Tuhan sengaja menitipkan tulang rusukku padamu, agar kamu tidak
tersesat dalam pelayaran menemukanku. Di muara pelabuhan yang orang
menyebutnya, cinta.”
Gadis itu diam tanpa kata, dia hanya tersenyum
bahagia. Sang Waktu hadir diantara kita berdua. Kita sudah dilangit ketujuh,
rupanya.
SELESAI
Secarik kertas pada jalan sepi
Bakiruk, 07 September 2021