Perempuan Melantunkan Adorasi dengan Air Mata

Perempuan Melantunkan Adorasi dengan Air Mata



Setapak rai numbei Ilalang malang, dipagi yang subuh ; tubuh-tubuh mengigil. Teguh setia menanti bening embun pagi membasuh mesrah.

 

Tuan, Jika matahari pagi terlanjur mengecup keningmu lebih awal sebelumku terjaga maka bersyukurlah sebab aku masih hidup dan menyayangimu seutuh dada.

 

Tuan, pagi aku kembali dihantam perih saat gugusan-gugusan cerita pagi bersamamu kembali teduh dipikiran. Aku menimang cemas menanti riuh kabarmu dari balik jeruji besi. Andai saja kehidupan dibumi manusia tak padat prosedural, aku ingin menikmati gigil malam bersamamu diatas tilam tanpa alas. Sebab jujur, sering aku di tikam kebiasaan-kebiasaan yang sering kita budidayakan bersama. 

 

Tuan, setelah hari-hari penghakiman itu, aku tanpa riuh kabarmu adalah sebuah kebiasaan yang mesti dilatih ulang.

 

Tuan, kalau boleh jujur ; aku tak bisa cemburu, bisaku hanya menyayangimu seutuh dada. Meski kadangkala kondisi sekitar menjadi alasan hati sulit sekali membendung ikhtiar sua yang terlanjur membatu.

                                           

Tuan, bagaimana kabar hari ini ???  Aku disini merayakan sepih bersama hamparan Ilalang malang yang sedari tadi gemulai dicumbu nakal sang angin. Ia seakan-akan memanggilku untuk sejenak meraba lukanya yang patah. Sedang aku merawat luka-lukaku sendiri, menunggu pulih atas kepulanganmu.

 

Tuan, perpisahan memang perjamuan paling laknat untuk mencicipi anggur kerinduan. Bersama nanar yang bertengger dipelupuk nalar, aku menunggumu disini berharap kepulanganmu menuangkan anggurmu diatas cawan yang lama kuharamkan atas namamu.

 

Tuan, bersama jarak yang memasung ragamu dari rengkuh jemari, aku hanya mengirim air mataku untuk menjaga hatimu dari kesepian. 


Tuan inilah Orasi Air Mata,

 

Ceritakan padanya orange yang merah di bayang – bayang revolusi

Bahwa disini ada teriakan menggetarkan singgasana

Pernah menjatuhkan zaman menyungging

Terik matahari berbaur menetaskan darah

melahirkan nayanyian membara.

Oeee…kau yang lahir di musim hujan

Jangan kemarau.

Anak-anak menunggumu memerahkan negeri

Orange-kan pelita perlawanan oleh syair –syair merana

Selaksa mereka tersinggung menyimak cerita

Kita telah gerah menempa kebohongan.

Kita telah lelah pada kesombongan

Meretas pilu

Pura – pura merdeka

Kita telah mengitan tanah

Dari sumpah dan janji atas restu air mata

memeluk derita kesedihan

 

orasi air mata

adalah penanda kita berani melawan ketakutan

ketakutan yang kini di itari orange merah yang melilit bangkit melawan

di bawah panji sembilan mata orange

ada kau generasi terikat tali naluri cemas kesemestaan

bangkit adalah bendera kemenangan

menambah coretan sejarah kau datang

lipatlah satu persatu serta jadikan bingkisan yang akan memerahkan semangat satu-satu

lalu datang menjemput angka –angka dijalan oleh pesan-pesan ibumu

di tengah rakyat kita bersamai menyemai rindu perlawanan.

 

Ceritakan padanya orange yang merah di bayang – bayang revolusi

Bahwa disini ada teriakan menggetarkan singgasana

Pernah menjatuhkan zaman menyungging

Terik matahari berbaur menetaskan darah

melahirkan nayanyian membara.

 




 

 

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama