Ilustrasi siswa/i sedang mengikuti ujian |
Biasanya, dalam rapat membahas berbagai evaluasi dan
mempersiapkan agenda untuk menghadapi ujian nasional. Contohnya merencanakan
bimbingan belajar untuk anak-anak kelas akhir agar mereka memaksimalkan belajar
menjelang ujian.
Jika kita mengenang masa lalu, Ujian Nasional
seperti hantu yang terus menakuti mentalitas siswa dan juga guru, karena kita
ketahui bersama kelulusan di era UN ditentukan oleh pemerintah pusat dan bukan
oleh guru.
Ujian nasional yang dilandasi dengan regulasi
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005. Banyak penolakan dari kalangan pengamat
pendidikan dan juga aktivis organisasi pelajar perihal ujian nasional.
Bedanya ujian nasional dan ujian akhir nasional
tahun 2003 adalah penentuan kelulusan tidak ditentukan oleh sekolah, sehingga
banyak tradisi-tradisi aneh yang muncul agar para siswa bisa lulus dalam ujian
nasional.
Contohnya, ada ritual-ritual yang tidak masuk akal.
Belum lagi beban belajar yang berlebihan sehingga ketika pelaksanaan ujian
nasional banyak siswa yang merasa kelelahan dan akhirnya tidak dapat mengikuti
UN dengan maksimal.
Lalu, banyaknya sistem paket ujian nasional yang
menyebabkan ketakutan luar biasa bagi sekolah, orang tua dan siswa sehingga
menimbulkan kecurangan. Seperti pembagian kunci jawaban, mengganti jawaban
pasca-siswa mengerjakan soal.
Menurut saya, masa-masa adanya ujian nasional dan
kelulusan ditingkat pusat sebagai sejarah kelam pendidikan di Indonesia. Kita
belajar dari adanya kebijakan kelulusan yang ditentukan nasional malah
berdampak tidak berkualitasnya pendidikan kita.
Asesmen Nasional
Sebagai Kebijakan yang Memerdekakan
Dua tahun kepemimpinan Presiden Jokowi,
Kemendikbudristek yang dipimpin mas Nadiem berhasil melakukan kebijakan yang
berani. Dengan dibatalkan dan dihapuskan ujian nasional melalui Surat Edaran
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 4 Tahun 2020 tentang pelaksanaan
kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran corona virus disease
(COVID-19).
Asesmen Nasional adalah program penilaian terhadap
mutu setiap sekolah, madrasah, dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan
menengah. Mutu satuan pendidikan dinilai berdasarkan hasil belajar murid yang
mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses
belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran.
Informasi-informasi tersebut diperoleh dari tiga instrumen utama, yaitu Asesmen
Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
Walau posisi asesmen nasional saat ini belum
menggantikan ujian nasional, akan tetapi dengan adanya kebijakan ini dapat
memberikan napas segar bagi dunia pendidikan. Karena kita harus mencoba
berinovasi menentukan kelulusan bukan hanya sekadar mengisi soal pilihan ganda
semata.
Selain itu, adanya asesmen nasional bisa
menghentikan proses-proses kecurangan yang sering terjadi di ujian nasional.
Selanjutnya kebijakan ini dapat mengembalikan wewenang penentuan kelulusan
kepada guru dan sekolah sebagai bentuk kemerdekaan dari ketakutan yang menjajah
mentalitas siswa dan guru.
Harapan atas
Kemerdekaan Pendidikan
Dengan dihapusnya ujian nasional, tentu masih banyak
dinamika yang harus diselesaikan oleh Kemendikbudristek terutama bagi para
tokoh-tokoh Indonesia yang kontra terhadap kebijakan Mas Menteri ini. Namun
banyak juga harapan kepada Mas Nadiem dan tim untuk mewujudkan kemerdekaan
pendidikan di Indonesia.
Salah satu harapannya misalnya keadilan dalam dunia
pendidikan. Ujian nasional dianggap menjadi ikon tidak adilnya dunia pendidikan
di Indonesia. Di mana semua standar kelulusan disamaratakan. Padahal secara
infrastruktur, SDM dan akses pendidikan dari Sabang sampai Merauke tentu
mempunyai dinamika masing-masing.
Pengamat pendidikan Budi Trikorayanto mengatakan
Zaman pendidikan 4.0 itu pendidikan yang open source, merdeka, dan bukan lagi
berdasarkan standar serta keseragaman, tapi berdasarkan minat dan bakat masing-masing
siswa. Pendidikan yang customized, personalized.
Selanjutnya, asesmen nasional bisa dikaji lebih
dalam dan menjadi pengganti evaluasi pendidikan. Baik melakukan evaluasi proses
belajar siswa hingga proses evaluasi lembaga. Bahkan menjadi standar pencapaian
nasional.
Berikutnya, evaluasi pendidikan yang membebaskan dan
mencerdaskan. Membebaskan artinya bisa dilakukan sesuai dengan kearifan lokal
dari masing-masing daerah di Indonesia. Lalu bisa menyesuaikan dengan kondisi
dan lingkungan sekolah di daerah tersebut.
Selain itu, makna mencerdaskan adalah bisa
memaksimalkan siswa dalam belajar dan juga mendalami minat dan bakat menjelang
masuk universitas. Tidak ada alasan perihal toleransi kecurangan jika berbasis
minat dan bakat.
Terakhir harapan terhadap kebijakan
Kemendikbudristek ke depan adalah persyaratan dunia kerja yang masih
menggunakan nilai Ujian Nasional harus dihapuskan. Masih banyak perusahaan yang
memakai syarat nilai UN dengan standar tinggi. Padahal rata-rata nasional dalam
setiap ujian nasional cukup rendah.
Kebijakan Kemendikbudristek dalam 2 tahun terakhir
bisa membawa harapan kemerdekaan pendidikan di Indonesia, walau masih banyak
yang perlu diperbaiki, namun ini menjadi langkah konsisten untuk menjadikan
pendidikan di Indonesia menjadi maju dan modern
Fathin Robbani Sukmana, Sekretaris Jaringan Muda
Politik dan Demokrasi (JMPD) Indonesia
*** Artikel ini diambil dari https://kumparan.com/fathin-robbani-sukmana/kemerdekaan-pendidikan-di-indonesia-1wvAFi1BAeH/full