Sembari menunggu antar anak kursus EF (English First). Hari pertama offline pasca
libur pandemi. Setiba di resepsionis seorang wanita tinggi
rambut pirang menyapa kami lalu menyampaikan tata tertib prokes
selama kursus. Wanita tersebut bernama Miss Chloe asal UK. Ia mengajak kami
berbicara perkembangan anak saya dalam berbahasa Inggris.
Anda jangan membayangkan saya bisa berbicara lancar
layaknya obrolan warung kopi. Saya lebih memposisikan sebagai pendengar yang
baik. Tanpa fikir panjang, saya segera menyetujuinya agar segera terbebas
dari perangkap berbahasa. Mestinya Anda paham maksud kata perangkap
tersebut, meskipun begitu saya sangat bangga terhadap kelincahan berbahasa anak
saya.
***
Di sebuah perjalanan saya, istri, anak, dan yangti
ke Yogya sambil menikmati sensasi naik Kereta Api Bima. Satu gerbong berisi
kami dan 5 penumpang, 4 orang asing dan 1 lokal. Dengan bahasa dan aksen
khas british kental kian menambah semarak suasana gerbong. 1 pribumi
seumuran anak SMA fasih menerangkan setiap pojok Kota Gudeg yang hendak
dikunjungi.
Satu pemandangan keakraban tanpa sekat kecanggungan
di antara mereka mengundang daya tarik anak saya untuk mengobrol dengan mereka.
Barangkali anak saya ingin menguji nyali sembari speaking practice yang
sedang dipelajari. Penyambutan ramah dari penumpang asing semakin menambah
adrenalin anak saya, dan berlangsunglah obrolan renyah antara anak saya dengan
mereka.
Keriuhan dan keatraktifan anak-anak kita berdiskusi
dinamis dengan teacher dan senda gurau renyah dengan wisatawan
mancanegara diharapkan dapat mengikis sekat-sekat inferior dari waktu
ke waktu. Sebagai orang tua tinggal memfasilitasi, mendampingi, mengawasi, dan
mengarahkannya. Amerika saja perlu 100 tahun untuk bertransformasi, jika
Indonesia lebih cepat 30 tahun sebuah kebanggaan seluruh rakyat Indonesia.
***
Kita telah merdeka, dan saatnya menjadi tuan rumah
di negeri sendiri. Jika menghubungkan dengan pendayagunaan bahasa, tentulah ada
beberapa hal yang perlu menjadi perenungan. Seorang bijak mengungkapkan bahasa
tidak saja digunakan untuk memengaruhi cara berpikir orang, tetapi juga
mengendalikan orang lain. Pendapat tersebut dieksplorasi melalui sebuah Novel
berjudul 1984 karangan George Orwell.
Novel 1984 mengisahkan terbentuknya masyarakat masa
depan dengan menggunakan bahasa baru yang disebut newspeak. Meskipun
novel, teori tersebut didasarkan hipotesis shapir-whorf bahwa kekuatan
tutur menentukan persepsi kita terhadap dunia. Senada disampaikan seorang
filsuf Ludwig Wittgenstein, bahwa semakin banyak bahasa yang kita kuasai
semakin memperluas pengetahuan dunia.
***
Kebalikan dari sikap inferior adalah superior,
mental superior dapat menumbuhkan kebanggaan atas yang dimiliki untuk
mempengaruhi perilaku orang lain. Superior dalam perilakunya cenderung
menampilkan prestasi atas sesuatu yang dimiliki. Kepemilikan dan penguasaan
bahasa sebagai media penyetaraan diri kita di masyarakat dan lingkungan yang
lebih luas.
Saat SMP saya adalah orang yang sangat sulit bergaul
dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Ditambah lagi saya merasa
tidak percaya diri dan sulit menerima kekurangan diri sendiri. Pernah dengar
istilah “kesepian di tengah keramaian”? Perasaan itulah yang sangat sering saya
rasakan.
Pada awal masuk SMA saya baru sadar bahwa saya tidak
bisa jadi seperti ini terus. Saya harus berubah karena hidup ini hanya sekali
dan harus dinikmati sebaik mungkin. Pada saat itulah saya punya keinginan besar
untuk berubah menjadi lebih baik. Keinginan inilah yang disebut dengan superior.
Saya yakin bahwa setiap orang pasti memiliki
kekurangan tertentu yang ingin diubah atau dihilangkan. Kekurangan tersebut
tidak boleh dinikmati terus-menerus, tapi justru menjadi cambuk dan motivasi
bagi diri kita untuk dapat menjadi superior dan menjadi sarana untuk
dapat mencapai kualitas diri yang semakin baik.
Mental superior akan selalu membawa diri
pada sikap easy going agar lebih santai dalam menyikapi segala
persoalan yang terjadi di luar sana. Mereka cenderung rasional bersikap, karena
mereka bisa melakukan apa yang orang lain lakukan. Sebaliknya inferior akan
menjadikan diri kita serba sulit, karena akan selalu menyikapi apa yang
dilakukan oleh orang lain.
Bangsa Indonesia telah merdeka 76 tahun. Saatnya
mewujudkan jiwa merdeka dan bangga akan diri sebagai Bangsa dan Warga
Indonesia. Kita sadari Indonesia ini tersebar menjadi berpulau pulau, berkota
kota dan berdesa desa, dan kita bangga menjadi warga kota maupun warga desa.
Tak ada kehinaan kita menjadi warga desa alias wong ndeso.
Kalau Anda masih merasa terhina dengan
perkataan wong ndeso, ada baiknya kita menata kembali kebanggaan kita
sebagai Manusia dan Warga Negara Indonesia. Kebanggaan kita sebagai orang desa
justru memotivasi dan menunjukkan bahwa orang desa patut berbangga. Hanya
mereka yang kehilangan akar sosial kemasyarakatan yang tidak mampu menerima
kenyataan atas kebanggaan yang seharusnya dimiliki.
Salam sehat selalu.
Wahyu Agung
Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.
*** Artikel ini diambil dari https://www.qureta.com/post/mental-terjajah-dan-kegamangan-bertutur?fbclid=IwAR35pFBXmDGcev120P5HqbytkUcCQeMO5hBuuIXL-81y7ZCbqE4MwoXbcD8