Ketika memulangkan cincin pertunangan kepada Regina,
Kierkegaard menyertainya dengan sebuah surat yang isinya sangat menyayat hati.
“Agar tidak lebih sering mencobai sesuatu yang bagaimanapun juga harus
dilakukan…biarlah hal itu dilakukan. Yang penting, lupakan orang yang menulis
surat ini, lupakan lelaki ini, yang meskipun mampu melakukan sesuatu, namun
tidak dapat membahagiakan seorang gadis.”
Regina menolak menyerah, ia tahu betul bahwa
cintanya yang begitu besar kepada Kierkegaard harus diperjuangkan, dan
Kierkergaard tahu itu. Berulang kali Kierkegaard meminta agar Regina
melepaskannya. “Menyerahlah, biarkan saya pergi; kamu tidak dapat
menanggungnya,” katanya. Mendengar hal tersebut Regina justru menjawab dengan
sabar bahwa ia akan menanggung apa saja asalkan Kierkegaard tidak pergi. Regina
berjuang keras agar pertunangan itu tidak putus, hingga akhirnya ia pun putus
asa.
Ayah Regina, Estatsraad Oslen, seorang pejabat
tinggi di Denmark menulis kepada Kierkegaard “Saya seorang yang tinggi hati,
dan sulit bagi saya untuk mengatakan hal ini, tetapi saya mohon kepadamu,
jangan putuskan hubunganmu dengannya.” Dengan memohon seperti itu, Oslen
berharap Kierkegaard akan melunak. Benar saja, hati Kierkegaard tersentuh oleh
kata-kata itu, namun ia tidak membiarkan dirinya terbujuk. Ia tetap pada
pendiriannya, bahwa pertunangan itu harus disudahi.
Alasan Kierkegaard memutus pertunangannya dengan
Regina sulit untuk dipastikan. Namun yang jelas, itu bukan karena adanya
perempuan lain. Regina adalah perempuan yang begitu diinginkan Kierkegaard.
Dalam catatan hariannya, beberapa kali ia mengenang semangatnya yang
menggebu-gebu ketika hendak memperistri Regina, momen ketika ia menyatakan
cinta dan meminang perempuan itu. Lantas, apa sebenarnya yang melatarbelakangi
Kierkegaard memutuskan pertunangan itu jika Regina adalah perempuan yang sangat
ia cintai? Pergulatan seperti apa yang sedang dialami Kierkegaard?
Manusia sering kali didatangi penderitaan ketika
diperhadapkan dengan pilihan-pilihan. Bagi Kierkegaard, manusia menderita
ketika harus memilih antara dua hal yang sama baiknya. Apakah saya harus
menulis artikel perihal Kierkegaard ini, ataukah saya harus mengerjakan tugas
kuliah? Kebebasan sering kali mendatangkan konsekuensi yang sulit ditanggung.
Kita menderita karena kita punya pilihan, dan ketika salah memilih, maka kita
mengutuk diri sendiri. Filsafat Kierkegaard sejak awal sudah bergulat dengan
pertanyaan-pertanyaan praktis eksistensial, menyangkut apa yang harus ia
lakukan, dan bukan apa yang ia ketahui.
Bagi Kierkegaard, pertanyaan yang relevan dalam
filsafat bukanlah mengenai hakikat kodrat manusia seperti pencarian dalam
sejarah filsafat sejak Aristoteles. Melainkan apa yang harusnya dilakukan
manusia, khususnya bagi dirinya sendiri, agar dapat menemukan kedamaian dan
makna hidup.
Filsafat Kierkegard dibangun dari kritiknya terhadap
proyek filsafat Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Bagi Kierkegaard,
filsafat Hegel tidak berhadapan dengan eksistensi aktual, melainkan hanyalah
konseptualisasi ideal. Hegel ingin membangun sistem filsafat yang memberikan
masing-masing berbagai unsur dan aspek pengalaman manusia. Sistem
filsafat yang bersifat komprehensif, sistematik dan rasional.
Proyek filsafat Hegel yang sangat optimistik
bermaksud menjadikan filsafat sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan yang
komprehensif dan mencakup segala macam pengetahuan serta kebenaran yang telah
ditemukan oleh manusia dalam sejarah. Melalui proses dialektika, filsafat pada
akhirnya akan menjadi pengetahuan yang tak terbatas mengenai segala sesuatu dan
yang dapat menjelaskan segala sesuatu.
Menurut Hegel, sesungguhnya ada Roh yang bergerak
dalam perjalanan sejarah dan Roh ini, yang merupakan kesadaran yang mengenali
dan menyadari dirinya sendiri, pada akhirnya akan membawa manusia pada
pembebasan menyeluruh dan kebenaran objektif meskipun harus melalui proses
panjang. Segala bentuk pertentangan dan konflik dalam realitas dan perjalanan
hidup manusia, termasuk perang dan revolusi, pada akhirnya akan didamaikan.
Gerak Roh dalam sejarah inilah yang melatarbelakangi proyek filsafat Hegel yang
sangat optimistik.
Bagi Kierkegaard, filsafat semacam itu menggelikan
karena tidak masuk akal dan sangat ambisius, selain itu tidak akan banyak
membantu pergulatan hidup. Kierkegaard tidak membutuhkan kumpulan pengetahuan
sistematik mengenai kebenaran objektif atau arah gerak Roh dalam sejarah. Yang
ia butuhkan adalah bagaimana hidup dan membuat pilihan dan mengambil keputusan
yang benar. Filsafat Hegel yang begitu rasional tidak memberikan ruang bagi
keraguan dan kecemasannya dalam mengambil keputusan, keputusasaan terhadap diri
dan situasi yang dihadapainya serta ketidakpastian yang dialaminya.
Kierkegaard ingin berfilsafat secara manusiawi,
tanpa mengabaikan sisi-sisi dari diri manusia yang paling subtil. Ia ragu bahwa
segala kegetiran hidup manusia dapat diberikan kerangka rasional dalam suatu
sistem sehingga semuanya dapat dipahami secara rasional. Menurut Kierkegaard,
apa yang dialami secara aktual oleh manusia terlalu kaya dan padat untuk
diabstraksi dan ditangkap oleh seorang pengamat, apalagi untuk diungkapkan
lewat kata-kata. Inilah mengapa bagi Kierkegaard, proyek filsafat Hegel hanya
merupakan konseptualisasi ideal, dan tidak berhadapan dengan eksistensi
aktual.
Filsafat bagi Kierkegaard haruslah dihidupi, yakni
filsafat sebagai laku hidup. Ia menghidupi filsafatnya dengan terjun langsung
menyelami eksistensi manusia sebagai seorang pelaku, mengalami suka-duka,
kegembiraan serta kepahitan menjalani kehidupan sebagai manusia. Kierkegaard
banyak bicara soal kecemasan yang sering kali melanda manusia, ketegangan
antara hidup dalam waktu dan kerinduan akan keabadian, pencarian makna dan
kepenuhan hidup serta cara-cara manusia menjalani hidup.
Kierkergaard juga bicara perihal kebenaran sebagai
subjektivitas. Secara naluriah, manusia selalu berhasrat untuk mengetahui
realitas objektif, yakni kepastian dan kebenaran. Namun, menurut Kierkegaard,
realitas objektif tidak dapat dipahami secara penuh, selalu terdistorsi oleh
konsep-konsep dan bahasa, sehingga, kebenaran sejatinya bersifat subjektif.
Kebenaran sebagai subjektivitas menuntut manusia agar memberikan komitmen dan
hidupnya kepada kebenaran sebagaimana dipersepsikannya.
Ketika bicara soal kebenaran sebagai subjektivitas,
Kierkegaard tidak bicara mengenai semua bentuk kebenaran, melainkan hanya
bentuk-bentuk kebenaran yang secara konkret menentukan cara manusia menjalani
hidupnya, yakni kebenaran moral dan religius. Ia tidak menolak adanya kebenaran
objektif. Melainkan memberi posisi yang lebih tinggi pada kebenaran
subjektif, karena baginya, kebenaran subjektif secara hakiki menentukan
bagaimana manusia akan menghayati hidup sehari-hari dan nilai-nilai apa yang
akan dipeluk.
Kierkegaard yang melankolis menjadi sangat peka
dengan berbagai aspek eksistensial kehidupan manusia, yang sering kali tidak
akan terlihat atau tidak muncul ketika manusia berada dalam kerumunan. Dalam
memperjuangkan eksistensi yang otentik, Kiekegaard mengajukan kritik terhadap
‘kerumunan’ atau ‘publik’. Baginya, orang-orang cenderung hidup berkerumun
karena takut menghadapi eksistensinya sendiri. Kerumunan atau publik sering
meniadakan indentitas individu, sebab kerumunan hanyalah sebuah abstraksi yang
menjadi ada melalui yang konkret, yakni sang individu.
Ketika individu bergabung dengan kerumunan, maka ia
menjadi bagian dari kerumunan dan menjadi milik kerumunan, sehingga tidak dapat
memberikan komitmen sejati karena pengaruh langusung dari kerumunan terlalu
kuat dan besar. Komitmen sejati baru dapat diberikan ketika individu keluar
dari kerumunan. Sementara itu, sepanjang eksistensinya, manusia akan
terus-menerus ditantang untuk memilih dan membuat keputusan. Melalui keputusan
yang diambil dan komitmen yang diberikan itulah individu dapat menjadi dirinya
sendiri.
Aliran filsafat eksistensialisme menjadikan
pandangan ini sebagai salah satu pemikiran fundamental. Menjadikan eksistensi
manusia dengan segala pergulatannya sebagai titik tumpu refleksi dan pemikiran
filsafat. Demikianlah Kierkegaard, Sang Bapak Eksistensialisme yang melalui
pergulatan dalam dirinya berupaya membangun sebuah sistem filsafat yang sama
sekali baru dan pada akhirnya banyak dikembangkan dan diulas oleh berbagai
filsuf selanjutnya. Ia sepanjang hidupnya banyak melahirkan karya-karya yang
sebagian besar ia tulis menggunakan nama samaran. Ia ingin ketika
tulisan-tulisannya dibaca, pembaca akan lebih banyak menengok ke dalam dirinya
sendiri daripada memikirkan latar belakang kisah si penulis.
Referensi:
Hadya Tjaya, Thomas,
(2018). Kierkegaard dan Pergulatan
Menjadi Diri Sendiri, Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Landau,
C., Szudek, A., & Tomley, S., (2017). The Philosophy Book: Big Ideas Simply Explained. DK Publishing
(Dorling Kindersley).
Plato.stanford.edu. (10
November 2017). Soren Kierkegaard. Diakses pada 2 April 2021 dari https://plato.stanford.edu/entries/kierkegaard/
Penulis:
Indah
Wahyuningsih, Alumni SKSG Universitas Indonesia
***
Artikel ini diambil dari: https://berandakota.com/2021/04/04/kierkegaard-patah-hati-dan-lahirnya-filsafat-eksistensialisme/