Secara historis, upaya perempuan terbebas dari dapur
dan ranjang muncul sejak 1792 saat Mary Wollstonecraft menulis A
Vindication of The Right of Woman. Buku ini mengungkap hubungan perempuan
dengan budaya dominan, kekuasaan dan identitas. Bahwa maskulinitas begitu
membatasi perempuan untuk memanifestasikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Perempuan tersubordinasi sedemikian rupa sehingga kadang tidak dianggap sebagai
manusia. Mereka diperlakukan layaknya anak-anak yang dikungkung dalam “dunia
perempuan”: masak di dapur dan terlentang di ranjang dalam keadaan apapun.
Wollstonecraft mencatat bahwa saat itu “penindasan
pada perempuan bersifat budaya, sosial, dan politik. Secara budaya, penindasan
itu dibangun dan dijalani dalam pelbagai praktik dan teks budaya. Secara sosial
diafirmasi lewat institusi-institusi sosial, terutama pernikahan, dan ikatan
sosial lainnya. Adapun politik ditegakkan lewat perundang-undangan yang
mendiskreditkan perempuan.[1]
Karya itu lalu disambut oleh Women and Economic karya
Charlotte Perkins Gilman tahun 1898. Dia mengkritisi wacana publik yang
meminggirkan perempuan, saat itu perempuan ditindas secara kultural dan
ideologis utamanya di ruang-ruang yang bersifat sosio-ekonomis sebagai ibu
pengurus rumah tangga. Hal ini mempertajam bahwa institusi keluarga sebagai
unit ekonomi melanggengkan pembungkaman atas perempuan yang kemudian
disebut sexuo-economic. Dibatasinya perempuan pada akses ekonomi untuk
memenuhi kebutuhannya lantaran maskulinitas menempatkan perempuan laksana tubuh
yang dibendakan.
Titik terang feminisme berikutnya dicapai melalui
terbitnya karya Virginia Woolf yaitu A Room of One’s Own (1929)
dan Three Guineass (1938). Dua karya ini membahas tentang peran
perempuan yang sangat terbatas khususnya pada hal-hal yang bersifat kreatif,
misalnya dalam produksi kesusastraan, isu-isu kesadaran dan identitas. Pada
masa itu dalam deskripsi Woolf, “perempuan berada di luar semua struktur
simbolik yang membangun identitas: di luar bangsa, di luar kelas, dan di luar sejarah.”
Pengeluaran dari struktur simbolik ini berakibat pada dienyahkannya posisi
perempuan dalam laku sosial, seolah perempuan adalah mahluk asing di
masyarakat, dalam istilah Simon de Beauvoir “second sex”.[2]
Dari benih-benih ini arus feminisme terus
berkembaang dalam berbagai macam rupa. Rosemarie Putnam Thong (2010)
dalam Feminist Thought mencatat setidaknya ada delapan arus utama
feminisme, di antaranya: feminis liberal, radikal, marxis-sosialis,
psikoanalisis, eksistensialis, postmodern, multikultural, dan ekofeminis.
Penjelasan detail masing-masing arus ini, silahkan merujuk ke karya Thong.[3] Inti dari
semua arus utama ini adalah membebaskan perempuan dari dapur dan ranjang.
Artinya, dapur dan ranjang bukan identitas alamiah perempuan, melainkan
identitas sosial yang bisa diubah, dan hanyalah dua dari sekian pilihan hidup.
Perempuan
Indonesia
Sepertinya perempuan-perempuan Indonesia tidak
seburuk apa yang dialami masyarakat Barat di mana feminisme bergolak. Dalam
sejarah Indonesia, kita menemukan perempuan-perempuan hebat, bahkan sebelum
feminisme itu sendiri masuk ke nusantara. Sebut saja, Ratu Kali Nyamat, Cut
Nyak Dien, Cut Meutia, bahkan kerajaan Majapahi pernah dipimpin oleh perempuan
yaitu Tribhuwana Wijayatunggadewi. Belum lama ini, Sultan Hamengkubuwana X
menyatakan sabda raja bahwa perempuan boleh memimpin kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Namun demikian, memang tidak semua perempuan
Indonesia bernasib sama dengan beberapa perempuan hebat di atas. Karena itulah
R.A. Kartini (1879-1904) bergerilya untuk pendidikan perempuan di Surakarya,
saat patriarki dan penjajahan menistakan gadis-gadis desa dan “emak-emak”
Nusantara. Meski pada akhirnya dia tetap mengalami poligami. Namun upaya
Kartini bersambut dengan lahirnya beberapa gerakan organisasi perempuan
nasional.
Pada 1908 lahir Boedi Oetomo dengan organisasi sayap
perempuannya yaitu Poetri Mahardika. Organisasi ini memberikan ruang pada
perempuan untuk turut andil dalam berorganisasi dan urusan publik. Dilanjut
oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah 1917 di Yogyakarta dengan Aisyiahnya.
Tahun 1928 lahir Persatuan Perempuan Indonesia (PPI) yang menuntut haknya dalam
pendidikan dan menyuarakan reformasi perkawinan. Pada masa pendudukan Jepang
1942 didirikan organisasi perempuan bernama Fujinkai yang diikuti
oleh para istri kaum pegawai, salah satu misinya adalah memberantas buta hurus
di kalangan perempuan.[4]
Pasca kemerdekaan muncul Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia) tahun 1950. Organisasi ini merupakan sayap partai PKI dengan visi
dan misi memberikan hak-hak yang setara kepada perempuan dalam pendidikan dan
ruang publik. Banyak segi yang disasar oleh organisasi ini, mengingat perempuan
yang menyebar di beberapa bidang diperlakukan dengan tidak setara kala itu.
Misalnya, bidang pertanian, pabrik, perkebunan, koperasi dan badan-badan
lainnya. Sayang organisasi ini diterpa “isu tidak sedap” sehingga hilang
bersama dilarangnya PKI. Pada 1955 juga muncul organisasi peremuan yang lebih
banyak dikelola oleh partai politik. Di antaranya, Balai Balai Perempuan, Surau
Perempuan, dan Perwari (persatuan wanita republik Indonesia).[5]
Selama orde baru dan reformasi, gerakan kesetaraan
gender berkembang pesat. Ditambah gagasan-gagasan feminisme Barat yang juga
memperjuangkan kesetaraan gender masuk ke lembaga-lembaga ornop. Perjuangan
kesetaraan perempuan merambah lembaga formal maupun nonformal. Lembaga formal
ada Dhama Wanita dan PKK, sementara yang non formal dikoordinir oleh
organisasi-organisasi sosial semacam Muslamat Nahdlatul Ulama (NU) dan Aisyiah
Muhammadiyah. Organisasi mahasiswa tak kalah saing membangun sayap gerakan
perempuan, seperti Kohati di HMI dan Kopri di PMII.
Begitulah upaya perempuan-perempuan Indonesia
memperjuangkan hidupnya dari masa-ke masa. Semangat feminis yang dipadukan
dengan latar sejarah, membuat menjalani hidup sebagai perempuan di Indonesia
terasa lebih baik dan menyenangkan ketimbang beberepa negara dan tradisi yang
masih mengkerangkeng perempuan. Kini “dapur”, “ranjang”, dan “publik” bukan
lagi tempat mengkontraskan tempat baik dan buruk bagi perempuan. Karena
perempuan Indonesia bisa memilih dengan bebas untuk berada di dapur, di
ranjang, dan di ruang publik. Namun begitu tantangan untuk perempuan belumlah
berakhir.
[1] Sue Thornham. (2010), Teori
Feminisme dan Cultural Studies. Jogjakarta: Jalasutra ., hal 23
[2] Sue Thorman. (2010)., hal 8.
[3] Rosemarie Putnam Thong. (2010). Feminist
Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis.
Jogjakarta: Jalasutra
[4] Sri Hidayati Djoeffan. (2001). Gerakan
Feminisme Indonesia: Tantangan Dan Strategi Mendatang. Jurnal Mimbar. No.
3 Th XVII.
[5] Sri Hidayati Djoeffan. (2001).
*Artikel ini telah dipublikasikan di https://www.mazhabkepanjen.com/2019/04/perempuan-dapur-ranjang-dan-publik.html?fbclid=IwAR0nFnAO1kXbylwvp_lnRnnvr0WlmeDRNtvN6Vn2vXVhuS0xvxx-KeijwYc Karya Herlianto. A