Dampak Media
Sosial
Karena terlalu sering mengakses gawainya, generasi
millenial dijangkiti penyakit mental nomophobia atau no mobile phone phobia,
yakni ketakutan jika tidak mempunyai gawai (atau akses ke gawai). Milenial
tumbuh dengan memiliki identitas pada Facebook, Instagram, Twitter, dan media
sosial lainnya. Laptop, ponsel dan internet tidak dapat dipisahkan dari mereka.
Bagaimana dampak dari penggunaan media sosial?
Penggunaan media sosial yang berlebihan akan
berdampak buruk, terutama bagi generasi millenial. Dampak yang cukup serius
adalah terbuangnya waktu yang sia-sia untuk bermedia sosial. Banyak prioritas
lain akan terabaikan. Tugas kuliah akan terbengkalai. Secara akumulatif, waktu
kita selama berkuliah tidak akan maksimal untuk mengembangkan diri. Alih-alih
menggunakan waktu yang terbatas untuk membaca, berdiskusi, atau mengikuti acara
yang bermanfaat, sebagian besar waktu kita akan terbuang tanpa disadari.
Secara signifikan, media sosial juga dapat
menurunkan daya nalar kita. Informasi yang kita dapat dari media sosial
sifatnya ringan, singkat dan instan. Ketika dihadapkan pada informasi dan data
kompleks maka kapasitas otak kita akan menurun. Internet diyakini membuat
pikiran kita semakin dangkal. Padahal untuk berprestasi dan berkontribusi
mahasiswa dituntut untuk memiliki daya nalar yang kuat, pikiran kritis, dan
kesabaran untuk mengurai masalah. Kebiasaan mengonsumsi informasi dari media
sosial akan berdampak fatal pada penurunan daya kognitif kita.
Fakta ini didukung riset Nicholas Carr dalam bukunya
yang berjudul The Shallows yang menyatakan bahwa otak juga beradaptasi dengan
kebiasaan manusia mengakses informasi. Jalur neuronal otak yang lentur akan
menyesuaikan dengan pencarian informasi yang instan, cepat, tidak mendalam
(artifisial), dan sederhana. Maka otak akan mengubah cara kerjanya menjadi
terbiasa dengan semua hal yang cepat, instan dan tidak mendalam. Akibatnya otak
akan kesulitan menerima informasi yang mendalam, panjang, dan rumit. Kinerja
otak akan mengalami pendangkalan.
Padahal di era digital, permasalahan tidak semakin
sederhana, justru semakin kompleks. Keterkaitan antar disiplin semakin kuat
(interdisipliner). Kesaling-terhubungan antar pihak semakin kompleks dengan
adanya teknologi komunikasi. Milenial tidak hanya dituntut untuk memiliki
keahlian yang mumpuni di satu bidang tetapi juga mengetahui hal-hal mendasar di
bidang lain. Mereka tidak cukup memiliki core competence di satu bidang tetapi
juga memiliki keterampilan digital untuk menunjang bidang utamanya. Ini semua
membutuhkan kesabaran, ketekunan, pikiran kritis, dan kedalaman dalam belajar.
Tanpa itu, milenial akan terhanyut dalam distraksi informasi.
Acapkali, media sosial juga menjebak kita dalam
hiperrealitas. Kondisi di mana realitas yang ada di media sosial mengalahkan
realitas di dunia nyata. Apa yang maya kemudian menjadi referensi alam bawah
sadar kita. Seolah-olah itu benar-benar nyata. Kita kemudian terbawa. Tanpa
disadari kita ingin menunjukkan hal yang baik dan indah di media sosial kita.
Ada keinginan untuk memamerkan pencapaian kepada khalayak. Kemudian kita gusar
dengan kebahagiaan orang lain setelah melihat postingan mereka.
Sebuah studi yang dilakukan Universitas Michigan
pada Agustus 2013 mengungkap bahwa orang yang memakai Facebook seharian penuh
hanya menerima kebahagiaan sesaat dan sedikit rasa puas dalam hidup. Hal ini
dipicu oleh kecenderungan untuk memberikan penilaian dan membandingkan diri
sendiri terhadap orang lain. Situs media sosial juga membuat lebih dari separuh
pengguna merasa tidak percaya diri. Menurut survei terhadap 1.500 orang oleh
Disability Charity Scope, setengah dari orang berusia 18 hingga 34 tahun
mengatakan bahwa media sosial membuat mereka merasa tidak menarik.
Berkaitan dengan waktu tidur yang cukup, ternyata
media sosial juga dapat mengakibatkan susah tidur bagi penggunanya. Dikutip
dari bbc.com, para peneliti dari Universitas Pittsburgh bertanya pada 1.700
orang dengan rentang usia 18 sampai 30-tahun mengenai kebiasaan menggunakan
media sosial dan tidur mereka. Para peneliti menemukan sebuah kaitan gangguan
tidur dan menyimpulkan cahaya biru merupakan salah satu penyebabnya. Seberapa
sering mereka login, dan bukan berapa waktu yang dihabiskan di situs media
sosial, diperkirakan merupakan penyebab dari gangguan tidur, yang menunjukkan
sebuah sikap "pengecekan (media sosial) yang obsesif"’.
Mungkin teknologi membuat segala sesuatunya menjadi
lebih cepat, instan, dan mudah. Tetapi kenyataannya tetap sama. Kerja keras,
sabar, kecerdasan dan kesuksesan tidak berubah hukum besinya. Butuh proses yang
panjang, tanpa pamer di media sosial, dan ketekunan dalam kesunyian. Terlalu
banyak melihat kebahagiaan palsu orang lain di media sosial dapat mengurangi
semangat juang di dunia nyata. Terlalu terlarut dalam perdebatan politik di
media sosial oleh akun-akun buzzer bayaran tidak akan berguna untuk masa depan.
Dampak lain yang juga berbahaya adalah mager atau
males gerak. Percayalah bahwa media sosial dan telepon pintar membuat kita
malas bergerak. Dari sisi kesehatan fisik mager bisa menyebabkan obesitas,
tulang keropos, hingga penyakit berbahaya lainnya. Lebih berbahaya adalah
dampak mager secara mental dan sosial. Mager membuat mahasiswa milenial malas untuk
beraktivitas seperti mengerjakan tugas, mengikuti seminar, diskusi atau rapat.
Dari sisi sosial mager akan mengisolasi milenial dari lingkungan di sekitar.
Mahasiswa milenial semakin mager akan semakin apatis pada permasalahan di
lingkungannya.
Parahnya, media sosial juga berdampak pada kesehatan
mental penggunanya. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Computers and
Human Behaviour menemukan bahwa orang-orang yang menggunakan tujuh atau lebih
jenis media sosial bisa menderita tiga kali atau lebih gejala kecemasan
dibandingkan mereka yang hanya menggunakan 0-2 media sosial.
Tidak hanya cemas, pada tingkat lanjut media sosial
dapat menimbulkan depresi. Sebuah studi yang dilakukan pada 2016 melibatkan
1.700 orang menemukan risiko depresi dan kecemasan mencapai tiga kali lipat di
antara orang-orang yang paling banyak menggunakan platform media sosial.
Penyebabnya, perkiraan mereka, termasuk perundungan siber, memiliki pandangan
terdistorsi mengenai kehidupan orang lain, dan merasa menghabiskan waktu di
media sosial merupakan sebuah pemborosan waktu.
Bijak Bermedia
Sosial
Kombinasi beberapa dampak di atas akan menyulitkan
generasi milenial untuk dapat menjalani studi dengan baik. Jangan sampai di
akhir studi kita menyadari bahwa selama kita selama 4 tahun lebih sebagian
besarnya dihabiskan dengan bermedia sosial, membandingkan kondisi diri dengan
orang lain atau rebahan di kamar kosan. Kemudian kita menyadari jika ilmu yang
kita dapat selama duduk di bangku kuliah juga pas-pasan. Pengalaman organisasi
dan capaian di kompetisi juga tidak bisa di banggakan. Akhirnya kita hanya
menjadi sarjana dengan kemampuan rata-rata. Ketika harus bersaing dengan yang
lain dan kita tidak memiliki keunggulan kompetitif.
Dengan mengenali jebakan-jebakan media sosial sejak
awal, kita akan lebih bijak menggunakan media sosial dan membagi waktu dan
menata fokus. Kita bisa memilah manfaat dari media sosial yang bisa kita
gunakan dan menghindari dampak negatif dari media sosial. Kita mestinya sadar
bahwa teknologi diciptakan manusia untuk memudahkan pekerjaan. Jangan sampai
teknologi itu yang mengendalikan kita.