Mileneal dan Media So(sial)?

Mileneal dan Media So(sial)?



Setapak rai numbei Indonesia merupakan negara dengan pengguna media sosial terbesar keempat di dunia. Temuan We are Social dalam laporannya yang berjudul Digital Around The World 2019 mengungkap bahwa 56 persen warga Indonesia menggunakan media sosial. Tahun 2019 warganet Indonesia menghabiskan 195 menit per harinya untuk menggunakan media sosial. Selama tiga jam lebih waktu kita dihabiskan di depan layar melihat beranda media sosial.


Sebagian besar pengguna media sosial adalah generasi millenial. Karena terlalu sering menggunakan gawai untuk mengakses media sosial, mereka secara peyoratif disebut generasi menunduk – mengacu pada seringnya mereka menunuduk melihat gawai mereka. Riset IDN Research Institute dalam laporannya yang bertajuk "Indonesia Millenial Report 2019" yang lakukan pada 20 Agustus - 6 September 2018 lalu, mengafirmasi hal ini. Sekitar 79 persen milenial di Indonesia selalu buka smartphone hanya selang satu menit setelah bangun tidur.


Dampak Media Sosial


Karena terlalu sering mengakses gawainya, generasi millenial dijangkiti penyakit mental nomophobia atau no mobile phone phobia, yakni ketakutan jika tidak mempunyai gawai (atau akses ke gawai). Milenial tumbuh dengan memiliki identitas pada Facebook, Instagram, Twitter, dan media sosial lainnya. Laptop, ponsel dan internet tidak dapat dipisahkan dari mereka.


Bagaimana dampak dari penggunaan media sosial?


Penggunaan media sosial yang berlebihan akan berdampak buruk, terutama bagi generasi millenial. Dampak yang cukup serius adalah terbuangnya waktu yang sia-sia untuk bermedia sosial. Banyak prioritas lain akan terabaikan. Tugas kuliah akan terbengkalai. Secara akumulatif, waktu kita selama berkuliah tidak akan maksimal untuk mengembangkan diri. Alih-alih menggunakan waktu yang terbatas untuk membaca, berdiskusi, atau mengikuti acara yang bermanfaat, sebagian besar waktu kita akan terbuang tanpa disadari.



Secara signifikan, media sosial juga dapat menurunkan daya nalar kita. Informasi yang kita dapat dari media sosial sifatnya ringan, singkat dan instan. Ketika dihadapkan pada informasi dan data kompleks maka kapasitas otak kita akan menurun. Internet diyakini membuat pikiran kita semakin dangkal. Padahal untuk berprestasi dan berkontribusi mahasiswa dituntut untuk memiliki daya nalar yang kuat, pikiran kritis, dan kesabaran untuk mengurai masalah. Kebiasaan mengonsumsi informasi dari media sosial akan berdampak fatal pada penurunan daya kognitif kita.


Fakta ini didukung riset Nicholas Carr dalam bukunya yang berjudul The Shallows yang menyatakan bahwa otak juga beradaptasi dengan kebiasaan manusia mengakses informasi. Jalur neuronal otak yang lentur akan menyesuaikan dengan pencarian informasi yang instan, cepat, tidak mendalam (artifisial), dan sederhana. Maka otak akan mengubah cara kerjanya menjadi terbiasa dengan semua hal yang cepat, instan dan tidak mendalam. Akibatnya otak akan kesulitan menerima informasi yang mendalam, panjang, dan rumit. Kinerja otak akan mengalami pendangkalan.


Padahal di era digital, permasalahan tidak semakin sederhana, justru semakin kompleks. Keterkaitan antar disiplin semakin kuat (interdisipliner). Kesaling-terhubungan antar pihak semakin kompleks dengan adanya teknologi komunikasi. Milenial tidak hanya dituntut untuk memiliki keahlian yang mumpuni di satu bidang tetapi juga mengetahui hal-hal mendasar di bidang lain. Mereka tidak cukup memiliki core competence di satu bidang tetapi juga memiliki keterampilan digital untuk menunjang bidang utamanya. Ini semua membutuhkan kesabaran, ketekunan, pikiran kritis, dan kedalaman dalam belajar. Tanpa itu, milenial akan terhanyut dalam distraksi informasi.


Acapkali, media sosial juga menjebak kita dalam hiperrealitas. Kondisi di mana realitas yang ada di media sosial mengalahkan realitas di dunia nyata. Apa yang maya kemudian menjadi referensi alam bawah sadar kita. Seolah-olah itu benar-benar nyata. Kita kemudian terbawa. Tanpa disadari kita ingin menunjukkan hal yang baik dan indah di media sosial kita. Ada keinginan untuk memamerkan pencapaian kepada khalayak. Kemudian kita gusar dengan kebahagiaan orang lain setelah melihat postingan mereka.


Sebuah studi yang dilakukan Universitas Michigan pada Agustus 2013 mengungkap bahwa orang yang memakai Facebook seharian penuh hanya menerima kebahagiaan sesaat dan sedikit rasa puas dalam hidup. Hal ini dipicu oleh kecenderungan untuk memberikan penilaian dan membandingkan diri sendiri terhadap orang lain. Situs media sosial juga membuat lebih dari separuh pengguna merasa tidak percaya diri. Menurut survei terhadap 1.500 orang oleh Disability Charity Scope, setengah dari orang berusia 18 hingga 34 tahun mengatakan bahwa media sosial membuat mereka merasa tidak menarik.


Berkaitan dengan waktu tidur yang cukup, ternyata media sosial juga dapat mengakibatkan susah tidur bagi penggunanya. Dikutip dari bbc.com, para peneliti dari Universitas Pittsburgh bertanya pada 1.700 orang dengan rentang usia 18 sampai 30-tahun mengenai kebiasaan menggunakan media sosial dan tidur mereka. Para peneliti menemukan sebuah kaitan gangguan tidur dan menyimpulkan cahaya biru merupakan salah satu penyebabnya. Seberapa sering mereka login, dan bukan berapa waktu yang dihabiskan di situs media sosial, diperkirakan merupakan penyebab dari gangguan tidur, yang menunjukkan sebuah sikap "pengecekan (media sosial) yang obsesif"’.


Mungkin teknologi membuat segala sesuatunya menjadi lebih cepat, instan, dan mudah. Tetapi kenyataannya tetap sama. Kerja keras, sabar, kecerdasan dan kesuksesan tidak berubah hukum besinya. Butuh proses yang panjang, tanpa pamer di media sosial, dan ketekunan dalam kesunyian. Terlalu banyak melihat kebahagiaan palsu orang lain di media sosial dapat mengurangi semangat juang di dunia nyata. Terlalu terlarut dalam perdebatan politik di media sosial oleh akun-akun buzzer bayaran tidak akan berguna untuk masa depan.


Dampak lain yang juga berbahaya adalah mager atau males gerak. Percayalah bahwa media sosial dan telepon pintar membuat kita malas bergerak. Dari sisi kesehatan fisik mager bisa menyebabkan obesitas, tulang keropos, hingga penyakit berbahaya lainnya. Lebih berbahaya adalah dampak mager secara mental dan sosial. Mager membuat mahasiswa milenial malas untuk beraktivitas seperti mengerjakan tugas, mengikuti seminar, diskusi atau rapat. Dari sisi sosial mager akan mengisolasi milenial dari lingkungan di sekitar. Mahasiswa milenial semakin mager akan semakin apatis pada permasalahan di lingkungannya.


Parahnya, media sosial juga berdampak pada kesehatan mental penggunanya. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Computers and Human Behaviour menemukan bahwa orang-orang yang menggunakan tujuh atau lebih jenis media sosial bisa menderita tiga kali atau lebih gejala kecemasan dibandingkan mereka yang hanya menggunakan 0-2 media sosial.


Tidak hanya cemas, pada tingkat lanjut media sosial dapat menimbulkan depresi. Sebuah studi yang dilakukan pada 2016 melibatkan 1.700 orang menemukan risiko depresi dan kecemasan mencapai tiga kali lipat di antara orang-orang yang paling banyak menggunakan platform media sosial. Penyebabnya, perkiraan mereka, termasuk perundungan siber, memiliki pandangan terdistorsi mengenai kehidupan orang lain, dan merasa menghabiskan waktu di media sosial merupakan sebuah pemborosan waktu.


Bijak Bermedia Sosial



Kombinasi beberapa dampak di atas akan menyulitkan generasi milenial untuk dapat menjalani studi dengan baik. Jangan sampai di akhir studi kita menyadari bahwa selama kita selama 4 tahun lebih sebagian besarnya dihabiskan dengan bermedia sosial, membandingkan kondisi diri dengan orang lain atau rebahan di kamar kosan. Kemudian kita menyadari jika ilmu yang kita dapat selama duduk di bangku kuliah juga pas-pasan. Pengalaman organisasi dan capaian di kompetisi juga tidak bisa di banggakan. Akhirnya kita hanya menjadi sarjana dengan kemampuan rata-rata. Ketika harus bersaing dengan yang lain dan kita tidak memiliki keunggulan kompetitif.


Dengan mengenali jebakan-jebakan media sosial sejak awal, kita akan lebih bijak menggunakan media sosial dan membagi waktu dan menata fokus. Kita bisa memilah manfaat dari media sosial yang bisa kita gunakan dan menghindari dampak negatif dari media sosial. Kita mestinya sadar bahwa teknologi diciptakan manusia untuk memudahkan pekerjaan. Jangan sampai teknologi itu yang mengendalikan kita.


 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama