Sexual Consent Melegalisasi Zina? Mengurai Polemik Permendikbud PPKS

Sexual Consent Melegalisasi Zina? Mengurai Polemik Permendikbud PPKS



Setapak rai numbeiMedia sosial dalam beberapa hari ke belakang sedang hangat memperdebatkan Permendikbud No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Salah satu poin yang menjadi polemik adalah kata “persetujuan” (consent) yang digunakan dalam aturan tersebut. Pihak pro mengatakan bahwa consent dibutuhkan untuk melindungi korban kekerasan seksual. Sementara pihak kontra mengatakan bahwa penyematan consent justru melindungi aktivitas perzinaan.

Melalui tulisan ini saya sedang tidak bersikap dalam pusaran pro dan kontra perihal sexual consent pada permendikbud tentang PPKS. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa usaha menjembatani pro dan kontra untuk menemukan titik temu adalah urusan yang sangat sulit, karena kedua pihak berpijak pada dimensi ontologis berbeda. Secara ringkas saya akan memaparkan apa yang menjadi inti argumen dari masing-masing pihak, dan ditutup dengan perbedaan asumsi dasar di antara kedua kubu.


Inti Argumen


Pertama-tama mari kita mulai dari kubu yang pro terhadap PPKS. Pihak pro mengatakan bahwa penyematan consent mutlak diperlukan untuk melindungi korban kekerasan seksual. Premis ini berangkat dari konsep “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender” sebagai basis dari definisi kekerasan seksual yang digunakan (pasal 1[1]). Frasa ketimpangan relasi kuasa ini tidak boleh diabaikan karena korban kekerasan seksual banyak dialami oleh mereka yang berada di bawah posisi kuasa orang lain.


Dalam konteks kampus, misalnya, seorang dosen memiliki kuasa karena dapat menentukan nilai hingga kelulusan mahasiswanya yang menjadi korban kekerasan seksual. Pada situasi ini jelas mahasiswa tersebut tertekan dan takut, sehingga, pelaku kekerasan seksual dapat dengan leluasa mengintimidasi (seperti mengancam tidak akan diluluskan jika korban melapor).



Itulah mengapa diperlukan consent, yang secara spesifik diatur dalam pasal 5. Terdapat tiga poin yang diungkapkan pasal tersebut. Pertama, bahwa kekerasan seksual dapat dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui sarana digital. Kedua, area kekerasan seksual yang luas ini membuat ada banyak bentuk-bentuknya seperti menyampaikan ujaran yang melecehkan fisik, memperlihatkan alat kelamin, merayu, memaksa untuk melakukan kegiatan seksual, hingga mempraktikkan budaya yang bernuansa kekerasan seksual.


Poin ketiga, adalah consent, di mana tindakan-tindakan seksual tersebut mestilah mendapat persetujuan korban. Namun persetujuan ini dianggap tidak sah apabila korban belum dewasa, berada di bawah ancaman atau intimidasi pelaku, di bawah pengaruh obat-obatan, dan seterusnya (lihat pasal 5[3]).


Consent dalam konteks ini dibutuhkan untuk memecah ketimpangan relasi kuasa, karena, kenyataan yang terjadi sebelumnya “persetujuan” justru bukan disuarakan oleh korban sendiri, melainkan orang lain bahkan si pelaku. Di media cukup sering kita membaca berita kekerasan seksual yang berlangsung bertahun-tahun: antara dosen terhadap mahasiswa, kiyai terhadap santrinya, orang tua terhadap anaknya, dan lain-lain.


Dalam situasi itu sering kita temukan komentar publik: “kalau sudah bertahun-tahun, itu bukan perkosaan namanya, tapi udah keenakan”. Komentar tersebut menjadi bukti empirik bahwa consent itu tidak dipegang oleh korban, tetapi para komentator itu. Belum lagi beban pembuktian kekerasan seksual kepada korban yang membuat pelaku sangat sulit untuk dihukum karena si korban berada di bawah tekanan kuasa orang lain.


Pihak pro menganggap consent berguna untuk membedakan mana yang merupakan tindakan kekerasan seksual dan mana yang bukan. Sehingga, tanpa ada pernyataan persetujuan dari korban, kegiatan seksual itu secara otomatis dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Bagaimana jika persetujuan itu dilontarkan karena korban ditekan pelaku? PPKS telah mengantisipasi lewat pasal 5[3] bahwa consent dapat diabaikan ketika korban sedang berada di bawah ancaman pelaku. Artinya, tindakan dari pelaku tetap dapat dianggap sebagai kekerasan seksual (Irianto, 2021). Kondisi ini memungkinkan karena pijakan definisi kekerasan seksual yang digunakan mengakui “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender”.


Sekarang kita beralih kepada argumen dari pihak kontra. Kubu yang kedua ini menentang konsep consent dalam PPKS yang dianggap mengandung “legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas”. Apakah argumennya berhenti di sini sehingga banyak orang di Twitter mengolok-olok argumen tersebut karena dianggap logical fallacy? Ternyata penjelasannya tidak sesederhana itu. Mari kita simak tulisan Esty Dyah Imaniar (2020) dalam esainya, “Persoalan Sexual Consent sebagai Paradigma Penghapusan Kekerasan Seksual”.


Tulisan tersebut menggugat istilah consent sebagai sesuatu yang absurd karena tidak memiliki definisi jelas. Esty mengurai literatur sebelumnya mengenai konsep sexual consent yang di antaranya sebagai pembeda antara seks baik dan buruk, seks menyenangkan dan tidak menenyangkan, serta seks bermoral dan tidak. Esty juga mengungkap perdebatan apakah consent diberikan melalui ucapan atau tindakan, ditunjukkan atau diisyaratkan, dan apakah adanya pemaksaan walaupun hanya sedikit dapat menjadi ekspresi consent. Menurut Esty, konsep sexual consent telah gagal memberikan indikator dalam elemen-elemen tersebut, sehingga, definisi kabur ini tidak layak jika didudukkan sebagai paradigma hukum perlindungan korban.


Selain definisinya yang absurd, konsep consent juga tidak mampu melerai efek negatif dari aktivitas seks konsensual kendati kedua pihak dalam keadaan sadar, seperti; seks anal, homoseksual, sadomasokisme, pedofilia, inses, hingga seks dengan hewan (zoofilia). Dengan demikian, ketidakjelasan sexual consent cenderung menjustifikasi perilaku seksual berbahaya tersebut. Ini yang sedang dihindari oleh pihak kontra.


Apakah kalangan kontra ini kemudian mendukung budaya perkosaan? Jelas tidak. Kubu ini justru menawarkan gagasan “kejahatan seksual” alih-alih “kekerasan seksual”. Frasa kejahatan seksual dianggap menghilangkan sexual consent yang problematis dan memasukkan norma agama di dalamnya. Hal ini dikarenakan istilah “kejahatan” memiliki konsekuensi “dosa” sebab melanggar aturan agama. Moral agama inilah yang berusaha diakomodasi oleh kalangan kontra PPKS dalam melawan budaya perkosaan.


Hakikat Mengenai Tubuh: Suatu Perdebatan Ontologis


Dengan mengurai inti argumen kedua pihak di atas, terlalu serampangan apabila disimplifikasi seperti; kubu pro melegalisasi zina, sementara kontra enggan melindungi korban kekerasan seksual. Terlalu sederhana juga apabila kita melihat perdebatan antara kedua kubu mengenai persoalan consent dalam kerangka logical fallacy semata kendati memang terjadi di beberapa kasus. Menurut saya, perdebatan kedua kubu tersebut mestilah dilihat dalam kerangka paradigmatik, di mana masing-masing pihak berpijak pada dimensi ontologis yang berbeda. Ontologi di sini adalah mempertanyakan “apa saja yang ada” atau “apa hakikat dari ada”. Berikut penjelasannya.


Ihwal yang pertama adalah persoalan relasi kuasa dan/atau relasi gender. Pihak pro mendudukkan problem kekerasan seksual dalam konteks ketimpangan relasi kuasa, sehingga, konsep consent diperlukan sebagaimana dijelaskan di muka. Sementara, pihak kontra justru menolak gagasan “relasi kuasa atau relasi gender” karena justru dianggap menciptakan bias gender. Frasa ini ditentang oleh pihak kontra semata-mata bukan hanya karena “dosen lebih berkuasa atas mahasiswa ” saja dalam konteks kampus, melainkan ini adalah persoalan ideologis. Pihak kontra menganggap “relasi kuasa” dalam kekerasan seksual justru cenderung selalu menempatkan perempuan sebagai pihak yang dirugikan, padahal tindak pidana tidak memandang jenis kelamin (Hilipito, 2020). Pada akhirnya, menurut pihak kontra, tidak tepat jika masalah kekerasan seksual dilihat dalam kerangka “relasi kuasa atau relasi gender” semata.



Ada satu argumen pembalikan yang menarik dari pihak kontra terhadap konsep “relasi kuasa”. Menurutnya, konsep consent ini sebenarnya bersifat kontradiktif terhadap “relasi kuasa” karena persetujuan justru menjadi alat untuk memperkokoh ketimpangan. Bagaimana mungkin sexual consent diberikan perempuan ketika laki-laki lebih by nature berkuasa dalam relasi gender? Consent seperti ini jelas akan terus merugikan perempuan. Walaupun pihak pro bisa saja membalas kritik tersebut dengan mengatakan bahwa consent dapat diabaikan ketika korban berada di bawah tekanan pelaku sebagaimana tertera pada pasal 5[3].


Keberadaan “relasi kuasa atau relasi gender” ini sangat berkaitan erat dengan dimensi ontologis yang saya maksud, yaitu “hakikat dari tubuh”. Argumentasi pihak pro berpijak pada asumsi ontologis bahwa “kontrol atas tubuh berada di bawah pemilik tubuh itu sendiri”. Asumsi ini dikenal dengan istilah body authority. Dalam body authority, pemilik tubuh berhak secara penuh untuk mengontrol tubuhnya sendiri seperti cara berpakaian, berpenampilan, termasuk sexual consent berada dalam wilayah ini.


Asumsi ontologis tersebut dapat termanifestasi pada ranah pendidikan seksual seperti dalam parenting. Seorang anak sedari kecil sudah diajarkan tentang consent, bahwa orang lain tidak boleh sembarangan memegang tubuh terutama bagian-bagian paling privat seperti alat kelamin tanpa disetujui oleh pemiliknya. Dalam skala makro, asumsi ini berimplikasi bahwa negara tidak boleh mengatur tubuh warga negaranya: dari cara berpakaian hingga orientasi seksual.


Itulah mengapa kalangan yang berpijak pada asumsi body authority menolak keras pasal mengenai pidana dalam rancangan revisi KUHP terhadap pelaku zina yang dilakukan pasangan di luar institusi pernikahan kendati berada di ruangan yang sangat privat. Bagi mereka, tidak semestinya negara mengatur terlalu jauh hingga wilayah privat warga negaranya. Apakah dengan demikian mereka yang menolak pasal tersebut di RKUHP mendukung perzinaan? Saya kira kesimpulannya tidak sesederhana itu, dan tidak akan saya bahas detail di sini.


Sementara pihak kontra berpijak pada asumsi ontologis bahwa “tubuh manusia tidaklah lepas dari keadaan jiwanya”. Maksudnya adalah tubuh manusia berada dalam satu kesatuan dengan jiwa yang kodratnya telah digariskan Tuhan. Dengan kata lain, pemilik atas tubuh bukanlah manusia itu sendiri, melainkan Tuhannya sebagai pencipta. Asumsi ini tidak mungkin memisahkan norma-norma agama dalam pengaturan tubuh manusia, termasuk aturan mengenai kekerasan seksual. Terlebih kalangan kontra PPKS membawa Pancasila yang menghargai prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, hukum negara mestilah selaras dengan asas “Ketuhanan” tersebut.


Melalui konsep monopluralis tersebut, kekhawatiran akan perzinaan, homoseksualitas, maupun aktivitas seksual berbahaya itu menjadi perhatian utama karena merusak jiwa manusia. Itulah yang sedang diantisipasi oleh kalangan kontra PPKS. Oleh sebab itu, perbedaan paradigmatik ini yang menurut saya, menjadi sumber kebuntuan dalam mencapai tujuan bersama melawan kekerasan seksual.


Saya tidak bermaksud melakukan simplifikasi. Menganggap semua orang yang mendukung PPKS ini “tidak berketuhanan” jelas tidaklah tepat. Ada beberapa orang – setidaknya dari yang saya kenal – mendukung PPKS tersebut tapi tidak sepenuhnya setuju dengan asumsi body authority apalagi sampai tidak mengakui kehendak Tuhan, lalu menyimpulkan serta-merta bahwa mendukung PPKS artinya sepakat dengan legalisasi zina. Termasuk tuduhan kepada semua orang yang kontra PPKS lalu dianggap konservatif, sesat pikir, apalagi mendukung pelaku kekerasan seksual jelas-jelas adalah pendapat yang keliru total.


Saya tidak sedang mendudukkannya dalam kerangka hitam putih. Banyak alasan yang mendorong seseorang memilih pro maupun kontra PPKS. Tidak ada waktu untuk melakukan riset mengenai hal tersebut.


Tetapi, apa yang sedang saya tegaskan adalah problematika di balik pro-kontra tidaklah sederhana. Ada kompleksitas yang sangat mendasar di dalamnya. Terlebih perdebatan ini sebetulnya sekual dari episode RUU PKS sejak masuk dalam prolegnas DPR pada 2014 silam. Apa yang ingin saya dorong dari tulisan ini adalah: agar tidak ada tuduhan serampangan dari pihak pro maupun kontra. Sebabnya pada masing-masing kubu tersebut memiliki landasan filosofisnya, yang tentu saja harus diperdebatkan pada ruang-ruang akademik, bukan media sosial.


  Artikel ini telah diterbitakan di kumparan.com



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama