Melalui tulisan ini saya sedang tidak bersikap dalam
pusaran pro dan kontra perihal sexual consent pada permendikbud tentang PPKS.
Saya hanya ingin menunjukkan bahwa usaha menjembatani pro dan kontra untuk
menemukan titik temu adalah urusan yang sangat sulit, karena kedua pihak
berpijak pada dimensi ontologis berbeda. Secara ringkas saya akan memaparkan
apa yang menjadi inti argumen dari masing-masing pihak, dan ditutup dengan
perbedaan asumsi dasar di antara kedua kubu.
Inti Argumen
Pertama-tama mari kita mulai dari kubu yang pro
terhadap PPKS. Pihak pro mengatakan bahwa penyematan consent mutlak diperlukan
untuk melindungi korban kekerasan seksual. Premis ini berangkat dari konsep
“ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender” sebagai basis dari definisi
kekerasan seksual yang digunakan (pasal 1[1]). Frasa ketimpangan relasi kuasa
ini tidak boleh diabaikan karena korban kekerasan seksual banyak dialami oleh
mereka yang berada di bawah posisi kuasa orang lain.
Dalam konteks kampus, misalnya, seorang dosen
memiliki kuasa karena dapat menentukan nilai hingga kelulusan mahasiswanya yang
menjadi korban kekerasan seksual. Pada situasi ini jelas mahasiswa tersebut
tertekan dan takut, sehingga, pelaku kekerasan seksual dapat dengan leluasa
mengintimidasi (seperti mengancam tidak akan diluluskan jika korban melapor).
Itulah mengapa diperlukan consent, yang secara
spesifik diatur dalam pasal 5. Terdapat tiga poin yang diungkapkan pasal
tersebut. Pertama, bahwa kekerasan seksual dapat dilakukan secara verbal,
nonfisik, fisik, dan/atau melalui sarana digital. Kedua, area kekerasan seksual
yang luas ini membuat ada banyak bentuk-bentuknya seperti menyampaikan ujaran
yang melecehkan fisik, memperlihatkan alat kelamin, merayu, memaksa untuk
melakukan kegiatan seksual, hingga mempraktikkan budaya yang bernuansa
kekerasan seksual.
Poin ketiga, adalah consent, di mana
tindakan-tindakan seksual tersebut mestilah mendapat persetujuan korban. Namun
persetujuan ini dianggap tidak sah apabila korban belum dewasa, berada di bawah
ancaman atau intimidasi pelaku, di bawah pengaruh obat-obatan, dan seterusnya
(lihat pasal 5[3]).
Consent dalam konteks ini dibutuhkan untuk memecah
ketimpangan relasi kuasa, karena, kenyataan yang terjadi sebelumnya
“persetujuan” justru bukan disuarakan oleh korban sendiri, melainkan orang lain
bahkan si pelaku. Di media cukup sering kita membaca berita kekerasan seksual
yang berlangsung bertahun-tahun: antara dosen terhadap mahasiswa, kiyai
terhadap santrinya, orang tua terhadap anaknya, dan lain-lain.
Dalam situasi itu sering kita temukan komentar
publik: “kalau sudah bertahun-tahun, itu bukan perkosaan namanya, tapi udah
keenakan”. Komentar tersebut menjadi bukti empirik bahwa consent itu tidak
dipegang oleh korban, tetapi para komentator itu. Belum lagi beban pembuktian
kekerasan seksual kepada korban yang membuat pelaku sangat sulit untuk dihukum
karena si korban berada di bawah tekanan kuasa orang lain.
Pihak pro menganggap consent berguna untuk
membedakan mana yang merupakan tindakan kekerasan seksual dan mana yang bukan.
Sehingga, tanpa ada pernyataan persetujuan dari korban, kegiatan seksual itu
secara otomatis dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Bagaimana jika
persetujuan itu dilontarkan karena korban ditekan pelaku? PPKS telah
mengantisipasi lewat pasal 5[3] bahwa consent dapat diabaikan ketika korban
sedang berada di bawah ancaman pelaku. Artinya, tindakan dari pelaku tetap
dapat dianggap sebagai kekerasan seksual (Irianto, 2021). Kondisi ini
memungkinkan karena pijakan definisi kekerasan seksual yang digunakan mengakui
“ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender”.
Sekarang kita beralih kepada argumen dari pihak
kontra. Kubu yang kedua ini menentang konsep consent dalam PPKS yang dianggap
mengandung “legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas”. Apakah
argumennya berhenti di sini sehingga banyak orang di Twitter mengolok-olok
argumen tersebut karena dianggap logical fallacy? Ternyata penjelasannya tidak
sesederhana itu. Mari kita simak tulisan Esty Dyah Imaniar (2020) dalam
esainya, “Persoalan Sexual Consent sebagai Paradigma Penghapusan Kekerasan
Seksual”.
Tulisan tersebut menggugat istilah consent sebagai
sesuatu yang absurd karena tidak memiliki definisi jelas. Esty mengurai
literatur sebelumnya mengenai konsep sexual consent yang di antaranya sebagai
pembeda antara seks baik dan buruk, seks menyenangkan dan tidak menenyangkan,
serta seks bermoral dan tidak. Esty juga mengungkap perdebatan apakah consent
diberikan melalui ucapan atau tindakan, ditunjukkan atau diisyaratkan, dan
apakah adanya pemaksaan walaupun hanya sedikit dapat menjadi ekspresi consent.
Menurut Esty, konsep sexual consent telah gagal memberikan indikator dalam
elemen-elemen tersebut, sehingga, definisi kabur ini tidak layak jika
didudukkan sebagai paradigma hukum perlindungan korban.
Selain definisinya yang absurd, konsep consent juga
tidak mampu melerai efek negatif dari aktivitas seks konsensual kendati kedua
pihak dalam keadaan sadar, seperti; seks anal, homoseksual, sadomasokisme,
pedofilia, inses, hingga seks dengan hewan (zoofilia). Dengan demikian,
ketidakjelasan sexual consent cenderung menjustifikasi perilaku seksual
berbahaya tersebut. Ini yang sedang dihindari oleh pihak kontra.
Apakah kalangan kontra ini kemudian mendukung budaya
perkosaan? Jelas tidak. Kubu ini justru menawarkan gagasan “kejahatan seksual”
alih-alih “kekerasan seksual”. Frasa kejahatan seksual dianggap menghilangkan sexual
consent yang problematis dan memasukkan norma agama di dalamnya. Hal ini
dikarenakan istilah “kejahatan” memiliki konsekuensi “dosa” sebab melanggar
aturan agama. Moral agama inilah yang berusaha diakomodasi oleh kalangan kontra
PPKS dalam melawan budaya perkosaan.
Hakikat Mengenai
Tubuh: Suatu Perdebatan Ontologis
Dengan mengurai inti argumen kedua pihak di atas,
terlalu serampangan apabila disimplifikasi seperti; kubu pro melegalisasi zina,
sementara kontra enggan melindungi korban kekerasan seksual. Terlalu sederhana
juga apabila kita melihat perdebatan antara kedua kubu mengenai persoalan consent
dalam kerangka logical fallacy semata kendati memang terjadi di beberapa kasus.
Menurut saya, perdebatan kedua kubu tersebut mestilah dilihat dalam kerangka
paradigmatik, di mana masing-masing pihak berpijak pada dimensi ontologis yang
berbeda. Ontologi di sini adalah mempertanyakan “apa saja yang ada” atau “apa
hakikat dari ada”. Berikut penjelasannya.
Ihwal yang pertama adalah persoalan relasi kuasa
dan/atau relasi gender. Pihak pro mendudukkan problem kekerasan seksual dalam
konteks ketimpangan relasi kuasa, sehingga, konsep consent diperlukan
sebagaimana dijelaskan di muka. Sementara, pihak kontra justru menolak gagasan
“relasi kuasa atau relasi gender” karena justru dianggap menciptakan bias
gender. Frasa ini ditentang oleh pihak kontra semata-mata bukan hanya karena
“dosen lebih berkuasa atas mahasiswa ” saja dalam konteks kampus, melainkan ini
adalah persoalan ideologis. Pihak kontra menganggap “relasi kuasa” dalam
kekerasan seksual justru cenderung selalu menempatkan perempuan sebagai pihak
yang dirugikan, padahal tindak pidana tidak memandang jenis kelamin (Hilipito,
2020). Pada akhirnya, menurut pihak kontra, tidak tepat jika masalah kekerasan
seksual dilihat dalam kerangka “relasi kuasa atau relasi gender” semata.
Ada satu argumen pembalikan yang menarik dari pihak
kontra terhadap konsep “relasi kuasa”. Menurutnya, konsep consent ini
sebenarnya bersifat kontradiktif terhadap “relasi kuasa” karena persetujuan
justru menjadi alat untuk memperkokoh ketimpangan. Bagaimana mungkin sexual
consent diberikan perempuan ketika laki-laki lebih by nature berkuasa dalam
relasi gender? Consent seperti ini jelas akan terus merugikan perempuan.
Walaupun pihak pro bisa saja membalas kritik tersebut dengan mengatakan bahwa consent
dapat diabaikan ketika korban berada di bawah tekanan pelaku sebagaimana
tertera pada pasal 5[3].
Keberadaan “relasi kuasa atau relasi gender” ini
sangat berkaitan erat dengan dimensi ontologis yang saya maksud, yaitu “hakikat
dari tubuh”. Argumentasi pihak pro berpijak pada asumsi ontologis bahwa
“kontrol atas tubuh berada di bawah pemilik tubuh itu sendiri”. Asumsi ini
dikenal dengan istilah body authority. Dalam body authority, pemilik tubuh
berhak secara penuh untuk mengontrol tubuhnya sendiri seperti cara berpakaian,
berpenampilan, termasuk sexual consent berada dalam wilayah ini.
Asumsi ontologis tersebut dapat termanifestasi pada
ranah pendidikan seksual seperti dalam parenting. Seorang anak sedari kecil
sudah diajarkan tentang consent, bahwa orang lain tidak boleh sembarangan
memegang tubuh terutama bagian-bagian paling privat seperti alat kelamin tanpa
disetujui oleh pemiliknya. Dalam skala makro, asumsi ini berimplikasi bahwa
negara tidak boleh mengatur tubuh warga negaranya: dari cara berpakaian hingga
orientasi seksual.
Itulah mengapa kalangan yang berpijak pada asumsi body
authority menolak keras pasal mengenai pidana dalam rancangan revisi KUHP
terhadap pelaku zina yang dilakukan pasangan di luar institusi pernikahan
kendati berada di ruangan yang sangat privat. Bagi mereka, tidak semestinya
negara mengatur terlalu jauh hingga wilayah privat warga negaranya. Apakah
dengan demikian mereka yang menolak pasal tersebut di RKUHP mendukung
perzinaan? Saya kira kesimpulannya tidak sesederhana itu, dan tidak akan saya
bahas detail di sini.
Sementara pihak kontra berpijak pada asumsi
ontologis bahwa “tubuh manusia tidaklah lepas dari keadaan jiwanya”. Maksudnya
adalah tubuh manusia berada dalam satu kesatuan dengan jiwa yang kodratnya
telah digariskan Tuhan. Dengan kata lain, pemilik atas tubuh bukanlah manusia
itu sendiri, melainkan Tuhannya sebagai pencipta. Asumsi ini tidak mungkin
memisahkan norma-norma agama dalam pengaturan tubuh manusia, termasuk aturan
mengenai kekerasan seksual. Terlebih kalangan kontra PPKS membawa Pancasila
yang menghargai prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, hukum negara mestilah
selaras dengan asas “Ketuhanan” tersebut.
Melalui konsep monopluralis tersebut, kekhawatiran
akan perzinaan, homoseksualitas, maupun aktivitas seksual berbahaya itu menjadi
perhatian utama karena merusak jiwa manusia. Itulah yang sedang diantisipasi
oleh kalangan kontra PPKS. Oleh sebab itu, perbedaan paradigmatik ini yang
menurut saya, menjadi sumber kebuntuan dalam mencapai tujuan bersama melawan
kekerasan seksual.
Saya tidak bermaksud melakukan simplifikasi.
Menganggap semua orang yang mendukung PPKS ini “tidak berketuhanan” jelas
tidaklah tepat. Ada beberapa orang – setidaknya dari yang saya kenal –
mendukung PPKS tersebut tapi tidak sepenuhnya setuju dengan asumsi body
authority apalagi sampai tidak mengakui kehendak Tuhan, lalu menyimpulkan
serta-merta bahwa mendukung PPKS artinya sepakat dengan legalisasi zina.
Termasuk tuduhan kepada semua orang yang kontra PPKS lalu dianggap konservatif,
sesat pikir, apalagi mendukung pelaku kekerasan seksual jelas-jelas adalah pendapat
yang keliru total.
Saya tidak sedang mendudukkannya dalam kerangka
hitam putih. Banyak alasan yang mendorong seseorang memilih pro maupun kontra
PPKS. Tidak ada waktu untuk melakukan riset mengenai hal tersebut.
Tetapi, apa yang sedang saya tegaskan adalah
problematika di balik pro-kontra tidaklah sederhana. Ada kompleksitas yang
sangat mendasar di dalamnya. Terlebih perdebatan ini sebetulnya sekual dari
episode RUU PKS sejak masuk dalam prolegnas DPR pada 2014 silam. Apa yang ingin
saya dorong dari tulisan ini adalah: agar tidak ada tuduhan serampangan dari
pihak pro maupun kontra. Sebabnya pada masing-masing kubu tersebut memiliki
landasan filosofisnya, yang tentu saja harus diperdebatkan pada ruang-ruang
akademik, bukan media sosial.