‘Dia Tidak Berat, Dia Saudaraku’: Kisah Bocah Pemberani Setelah Peristiwa Bom Nuklir Nagasaki

‘Dia Tidak Berat, Dia Saudaraku’: Kisah Bocah Pemberani Setelah Peristiwa Bom Nuklir Nagasaki

Bocah Pemberani Setelah Peristiwa Bom Nuklir Nagasaki


Setapak rai numbeiSeorang bocah laki-laki menggendong adiknya yang sudah meninggal di punggungnya, menunggu gilirannya di krematorium.

Foto ini menunjukkan bagaimana seorang bocah mencapai puncak batas emosional manusia tanpa mengetahui dengan baik apa itu emosi.


Ada beberapa cerita menarik sekaligus sangat menyedihkan di balik foto tersebut.


Bom Nuklir Hiroshima dan Nagasaki


Dilansir dari Historyofyesterday.com, pada bulan Agustus 1945 terjadi dua serangan besar dari Angkatan Darat Amerika Serikat terhadap bangsa Jepang yang akan mengakhiri Perang Dunia II sekaligus mengakhiri konflik antara kedua negara tersebut.


Pada 6 Agustus 1945 bom nuklir pertama diluncurkan ke Hiroshima, menyusul kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945.


Dunia terkejut, namun ini bukan apa-apa dibandingkan mereka yang menyaksikan ledakan nuklir. Mereka tak hanya terpengaruh secara emosional oleh kehilangan rumah tetapi juga kehilangan orang yang mereka cintai dalam hitungan detik.


Perang adalah neraka dan tidak ada aturan dalam perang seperti melintasi garis tertentu, tetapi kali ini garis itu tidak dilintasi, namun dimusnahkan oleh dua bom nuklir ini.

Fotografer Joe O’Donnel. Foto: historyofyesterday.com


Pada 2 September 1945, Jepang menyerah dan menandatangani penyerahan mereka di kapal perang USS Missouri.


Jepang tidak hanya menerima salah satu pukulan moral terbesar dalam sejarah, tetapi tentara mereka hancur lebur oleh serangan Angkatan Laut AS dalam dua tahun masa perang.


Diperkirakan bom nuklir yang diluncurkan di Hiroshima menewaskan sedikitnya 160.000 orang dan yang menghantam Nagasaki sekitar 80.000 orang.


Setelah Jepang menandatangani penyerahan, Angkatan Darat AS mengirim seorang fotografer Joe O’Donnel untuk mengambil foto-foto setelah peristiwa Hiroshima dan Nagasaki.


Selama tujuh bulan yang panjang dan menyedihkan, Joe berkeliling dua kota untuk mendokumentasikan kerusakan yang diakibatkan oleh dua bom nuklir.


Dia terkejut melihat bahwa sebagian besar korban yang terkena bom adalah warga sipil.


Joe menggambarkan selama tujuh bulan itu, dia hanya melihat kematian, rasa sakit, dan penderitaan yang tidak boleh disaksikan oleh manusia.


Dia mengambil sejumlah foto bangunan yang hancur oleh ledakan nuklir, bangunan yang sedang dibangun kembali, mayat yang ditemukan dari puing-puing, dan banyak lainnya.


Namun satu foto sempat mendapat perhatian khusus di seluruh dunia dari koleksi foto yang diambil Joe.


Kekuatan Jepang Setelah Perang


Foto ini menggambarkan seorang bocah laki-laki tidak dikenal (hingga kini tak ada catatan yang mengidentifikasi siapa dia) berdiri di barisan di krematorium menggendong sang adik yang sudah meninggal.


Posturnya yang seperti tabah hanya menunjukkan kekuatan yang ditunjukkan oleh anak kecil berusia 10 tahunan, menggambarkan kepada seluruh dunia kekuatan yang harus dimiliki Jepang untuk pulih dari pukulan besar.


Dilansir dari Rarehystoricalphotos.com, bertahun-tahun kemudian Joe O’Donnell berbicara pada sebuah wawancara tentang gambar ini.


“Saya melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun. Dia menggendong anak kecil di punggungnya. Saat itu di Jepang, kita sering melihat anak-anak bermain dengan adik laki-laki atau perempuan dan menggendong mereka, tetapi anak laki-laki ini jelas berbeda,” ujar Joe.


“Aku bisa melihat bahwa dia datang ke tempat ini untuk alasan serius. Dia tidak memakai sepatu. Wajahnya keras. Kepala kecil itu dimiringkan ke belakang seolah-olah bayi itu tertidur lelap. Bocah laki-laki itu berdiri di sana selama lima atau sepuluh menit,” tambahnya.


“Para pria bertopeng putih berjalan ke arahnya dan diam-diam mulai melepaskan tali yang menahan anak itu. Saat itulah saya melihat anak kecil itu itu sudah mati,” papar Joe.

Cinta tanpa batas: Seorang bocah menggendong sang adik menuju kremasi. Foto: rarehistoricalphotos.com


“Orang-orang memegang tubuh dengan tangan dan kaki dan meletakkannya di atas api. Anak laki-laki itu berdiri tegak di sana tanpa bergerak, mengamati kobaran api,” jelasnya.


“Dia menggigit bibir bawahnya begitu keras hingga mengeluarkan darah. Nyala api menyala rendah seperti matahari terbenam. Bocah itu berbalik dan berjalan diam-diam pergi,” pungkas Joe.


Menurut sumber lain, saat penjaga meminta mayat adiknya dan berkata, “Beri aku beban yang kamu bawa di punggungmu.” Bocah itu menjawab: “Dia tidak berat, dia saudaraku.”


Foto itu sangat emosional karena menggambarkan seorang anak yang kehilangan segalanya, termasuk rumahnya serta semua anggota keluarganya.


Foto ini mencerminkan semangat bangsa yang kalah yang berdiri kuat bahkan melawan rintangan terkecil, menerima kekalahan mereka tanpa rasa malu.**

 

Sourcehttps://www.katolikana.com/2021/11/27/dia-tidak-berat-dia-saudaraku-kisah-bocah-pemberani-setelah-peristiwa-bom-nuklir-nagasaki/




Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama