Judul di atas nampaknya menjadi pertanyaan
mendasar bagi kita semua. Siapa pun, kala ditanya buat apa sekolah atau kuliah:
untuk mendapatkan ijazah, menyandang gelar akademik atau biar pintar. Apapun
jawabannya, kita tak boleh menjustifikasi hitam-puttih atas keputusan
pilihannya.
Karena apa pun juga, yang bersangkutan sendiri yang
akan menanggungnya. Kita tak perlu heran dengan orang sukses di negeri ini yang
bergelar akademik banyak dan panjang, sejak beroleh predikat sarjana bahkan
hingga professor yang sukses dalam menempuh kehidupannya, tapi tak sedikit juga
yang dipandang sukses rata-rata atau dinilai kesuksesannya masih di bawah rata-rata.
Di satu sisi, ada juga mereka yang tak mengenyam
tembok sekolah atau kampus atau drop out
sekolah/kuliah atupun hanya berkesempatan menjangkau pendidikan dasar, tapi
orang-orang ini secara mengejutkan justru mampu melampaui sukses mereka yang
berpendidikan tinggi dengan setumpuk gelar.
Kita punya Adam Malik (Dulu Wapres), dia hanyalah
lulusan SD dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku SMP. Ada pula Ajib
Rosyidi kesohor kesastrawanannya yang tak tamat SMA, menyusul Bob Sadino
jebolan FH-UI, maupun Susi Pudji Astuti (dulu Menteri Kelautan). Ibu satu ini
tak tamat SMA dan ia tak malu dan lulus Pendidikan kejar Paket C atau setara
SLTA dan telah lulus beberapa tahun lalu.
Passion ini perlu diteladani kaum muda yang belum
berkesempatan merampungkan pendidikannya karena terganjal biaya, bencana maupun
alasan lainnya. Mereka dari sisi pendidikan, mungkin bisa dikatakan kedodoran.
Tapi kemudian, mereka menjadi warga yang cukup sukses dalam mengawal perjalanan
bangsa. Kiprah intelektual mereka kita akui dan layak diacungi jempol.
Best practise dari luar negeri bisa menjadi kaca benggala bagi
kita kalua gelar dan ijazah bukan andalan membalik nasib dan masa depan
sesorang. Bahkan mereka ini bukan saja membalik capaian dirinya, tapi mampu
mengubah dunia dengan segala kemajuannya.
William Shakespeare adalah penyair, penulis naskah,
dan aktor Inggris, lahir pada 26 April 1564 di Inggris. Ia tidak memiliki
pendidikan formal di luar tata bahasa. Ia secara luas dianggap sebagai penulis
terbesar dan populer sepanjang masa. Kemudian, Thomas Edison lahir pada 11
Februari 1847 di Michigan, AS. Ia dikeluarkan dari sekolah karena memiliki
beberapa masalah pendengaran. Ia menemukan bola lampu listrik dan banyak
perangkat lain. Edison dianggap salah satu ilmuwan terhebat yang memegang lebih
dari 1.093 paten AS.
George Washington adalah presiden pertama Amerika
Serikat, lahir pada 22 Februari 1932 di Virginia. Setelah kematian ayahnya, ia
tidak pergi ke sekolah dan hanya menerima pendidikan dasar dari berbagai tutor.
Ia terpilih sebagai Presiden dalam pemilihan 1789 dan 1892. Ada pula
Rabindranath Tagore lahir pada 7 Mei 1861 dan dikenal luas sebagai orang
non-Eropa pertama yang memenangkan Hadiah Nobel dalam bidang sastra. Ia adalah
penyair, penulis cerita, novelis, komposer lagu dan pelukis. Ia membenci sistem
pendidikan formal.
Yang pasti jauh lebih hebat lagi, menjadi hero dalam
hidup saya adalah kedua orang tua saya yang notabene tidak berpendidikan
tinggi. Ayah hanya lulusah Sekolah Rakyat (SR) dan Ibu, cuma jebolan kelas 5
SR. Tapi keduanya sukses mampu mengangkut kelima anaknya menyelesaikan
pendidikann tinggi dengan profesi masing-masing serta tak terendam dengan
terjalnya jaman.
Angka IPM
Sebagai warga terpelajar (wel educated) semestinya
tak mempermasalahkan gelar, pendidikan maupun statusnya. Indeks prestasi tinggi
maupun lulusan kampus terkenal pun bukan jaminan akan mampu memberikan sukses
seseorang. Dan indikator sukses itu terus berkambang, tak semata diukur dari
capaian ekonomi atau material, tapi juga sudah melompat jauh lebih tinggi
nilainya.
Sebenarnya bukan soal berapa panjang usia, tapi
lebih pada seberapa besar dia mampu memberikan kemaslahatan bagi orang lain.
Barangkali bagi sebagian orang, level pendidikan, ijazah, dan gelar itu
segalanya, tapi harus diingat, ketiga-tiganya itu bukan segala-galanya.
Baju, dan asesoris lain itu tak lebih hanya komplementer,
bukan pokok atau vital. Itulah kemudian, wadah memang penting, tapi terpenting
spirit dan actor di dalamnya terus bergerak. Artinya, menjadi wajib bagi kita
untuk selalu meralat atas capaian atau pretasi yang kita genggam, mengubah poin
hari ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Bagi seorang atlet pun sekurangnya setiap laga mesti
mampu menciptakan rekor baru atas catatan sukses yang pernah dibukukan dalam
sejarahnya.
Menjadi catatan kita, pendidikan juga menjadi
penyokong naik tidaknya indeks pembangunan manusia dan IPM kita hari ini
menempatkan angka 72,29 atau cukup baik meski ditempa pandemi dan bencana.
Bonus demografi Indonesia 2030 pun mesti menjejakkan poin pendidikan sebagai
syarat kemajuan bangsa.
Namun demikian, catatan kita hari ini juga, yakni
sukses itu tidak instan dan dengan atau tanpa ijazah pun kita masih bisa
berkontrbusi dalam membangun negeri, merawat bangsa dan mengaktualisaikan
cita-cita republik tercinta.