Gelar Akademik Atau Kiprah Intelektual (Gelar Bukan Jaminan?)

Gelar Akademik Atau Kiprah Intelektual (Gelar Bukan Jaminan?)



Setapak rai numbei "Kita memasuki era ketika gelar bukan lagi jaminan kompetensi," kata Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Kalimat itu mengandung satu kebenaran, dan satu kesalahan. Kebenarannya adalah gelar (sarjana) memang tak menjamin kompetensi. Kesalahannya, itu fakta yang sudah lama ada, bukan hal baru. Kalau Nadiem mengatakan "kita memasuki era", seolah itu baru terjadi sekarang, itu salah.



Judul di atas nampaknya menjadi pertanyaan mendasar bagi kita semua. Siapa pun, kala ditanya buat apa sekolah atau kuliah: untuk mendapatkan ijazah, menyandang gelar akademik atau biar pintar. Apapun jawabannya, kita tak boleh menjustifikasi hitam-puttih atas keputusan pilihannya.

 

Karena apa pun juga, yang bersangkutan sendiri yang akan menanggungnya. Kita tak perlu heran dengan orang sukses di negeri ini yang bergelar akademik banyak dan panjang, sejak beroleh predikat sarjana bahkan hingga professor yang sukses dalam menempuh kehidupannya, tapi tak sedikit juga yang dipandang sukses rata-rata atau dinilai kesuksesannya masih di bawah rata-rata.

 

Di satu sisi, ada juga mereka yang tak mengenyam tembok sekolah atau kampus atau drop out sekolah/kuliah atupun hanya berkesempatan menjangkau pendidikan dasar, tapi orang-orang ini secara mengejutkan justru mampu melampaui sukses mereka yang berpendidikan tinggi dengan setumpuk gelar.

 

Kita punya Adam Malik (Dulu Wapres), dia hanyalah lulusan SD dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku SMP. Ada pula Ajib Rosyidi kesohor kesastrawanannya yang tak tamat SMA, menyusul Bob Sadino jebolan FH-UI, maupun Susi Pudji Astuti (dulu Menteri Kelautan). Ibu satu ini tak tamat SMA dan ia tak malu dan lulus Pendidikan kejar Paket C atau setara SLTA dan telah lulus beberapa tahun lalu.

 

Passion ini perlu diteladani kaum muda yang belum berkesempatan merampungkan pendidikannya karena terganjal biaya, bencana maupun alasan lainnya. Mereka dari sisi pendidikan, mungkin bisa dikatakan kedodoran. Tapi kemudian, mereka menjadi warga yang cukup sukses dalam mengawal perjalanan bangsa. Kiprah intelektual mereka kita akui dan layak diacungi jempol.

 

Best practise dari luar negeri bisa menjadi kaca benggala bagi kita kalua gelar dan ijazah bukan andalan membalik nasib dan masa depan sesorang. Bahkan mereka ini bukan saja membalik capaian dirinya, tapi mampu mengubah dunia dengan segala kemajuannya.

 

William Shakespeare adalah penyair, penulis naskah, dan aktor Inggris, lahir pada 26 April 1564 di Inggris. Ia tidak memiliki pendidikan formal di luar tata bahasa. Ia secara luas dianggap sebagai penulis terbesar dan populer sepanjang masa. Kemudian, Thomas Edison lahir pada 11 Februari 1847 di Michigan, AS. Ia dikeluarkan dari sekolah karena memiliki beberapa masalah pendengaran. Ia menemukan bola lampu listrik dan banyak perangkat lain. Edison dianggap salah satu ilmuwan terhebat yang memegang lebih dari 1.093 paten AS.

 

George Washington adalah presiden pertama Amerika Serikat, lahir pada 22 Februari 1932 di Virginia. Setelah kematian ayahnya, ia tidak pergi ke sekolah dan hanya menerima pendidikan dasar dari berbagai tutor. Ia terpilih sebagai Presiden dalam pemilihan 1789 dan 1892. Ada pula Rabindranath Tagore lahir pada 7 Mei 1861 dan dikenal luas sebagai orang non-Eropa pertama yang memenangkan Hadiah Nobel dalam bidang sastra. Ia adalah penyair, penulis cerita, novelis, komposer lagu dan pelukis. Ia membenci sistem pendidikan formal.

 

Yang pasti jauh lebih hebat lagi, menjadi hero dalam hidup saya adalah kedua orang tua saya yang notabene tidak berpendidikan tinggi. Ayah hanya lulusah Sekolah Rakyat (SR) dan Ibu, cuma jebolan kelas 5 SR. Tapi keduanya sukses mampu mengangkut kelima anaknya menyelesaikan pendidikann tinggi dengan profesi masing-masing serta tak terendam dengan terjalnya jaman.

 

 

Angka IPM

 

Sebagai warga terpelajar (wel educated) semestinya tak mempermasalahkan gelar, pendidikan maupun statusnya. Indeks prestasi tinggi maupun lulusan kampus terkenal pun bukan jaminan akan mampu memberikan sukses seseorang. Dan indikator sukses itu terus berkambang, tak semata diukur dari capaian ekonomi atau material, tapi juga sudah melompat jauh lebih tinggi nilainya.

 

Sebenarnya bukan soal berapa panjang usia, tapi lebih pada seberapa besar dia mampu memberikan kemaslahatan bagi orang lain. Barangkali bagi sebagian orang, level pendidikan, ijazah, dan gelar itu segalanya, tapi harus diingat, ketiga-tiganya itu bukan segala-galanya.

 

Baju, dan asesoris lain itu tak lebih hanya komplementer, bukan pokok atau vital. Itulah kemudian, wadah memang penting, tapi terpenting spirit dan actor di dalamnya terus bergerak. Artinya, menjadi wajib bagi kita untuk selalu meralat atas capaian atau pretasi yang kita genggam, mengubah poin hari ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.

 

Bagi seorang atlet pun sekurangnya setiap laga mesti mampu menciptakan rekor baru atas catatan sukses yang pernah dibukukan dalam sejarahnya.

 

Menjadi catatan kita, pendidikan juga menjadi penyokong naik tidaknya indeks pembangunan manusia dan IPM kita hari ini menempatkan angka 72,29 atau cukup baik meski ditempa pandemi dan bencana. Bonus demografi Indonesia 2030 pun mesti menjejakkan poin pendidikan sebagai syarat kemajuan bangsa.

 

Namun demikian, catatan kita hari ini juga, yakni sukses itu tidak instan dan dengan atau tanpa ijazah pun kita masih bisa berkontrbusi dalam membangun negeri, merawat bangsa dan mengaktualisaikan cita-cita republik tercinta.

 



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama