Ketika Jepang akhirnya kalah oleh Sekutu dalam
Perang Dunia II, Slamet Riyadi mengajak rekan-rekannya sesama pelaut untuk
turut mengangkat senjata.
Salah satu gebrakan Slamet Riyadi dan rekan-rekannya
pada masa ini adalah berhasil membawa kabur kapal milik Jepang, serta
menggalang kekuatan dari para prajurit Indonesia yang sebelumnya tergabung
dalam kesatuan militer bentukan Dai Nippon (National Geographic Indonesia, 23
September 2013).
Slamet Riyadi kemudian kembali ke Solo untuk
membantu perjuangan rakyat di sana hingga akhirnya Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945. Setelah itu, ia sepenuhnya membaktikan diri untuk mempertahankan
kemerdekaan RI karena Belanda yang ingin berkuasa lagi telah datang kembali.
Bergabung dengan angkatan perang RI, Slamet Riyadi
langsung terlibat sentral dalam berbagai aksi perjuangan melawan Belanda,
termasuk Agresi Militer Belanda I dan II yang masing-masing terjadi pada 1947
dan 1949.
Slamet Riyadi memimpin Serangan Umum Kota Solo
selama 4 hari dari tanggal 7 hingga 11 Agustus 1949. Serbuan frontal ini
mengakibatkan 7 tentara Belanda tewas dan 3 orang lainnya menjadi tawanan
(Sewan Susanto, Perjuangan Tentara Pelajar dalam Kemerdekaan Indonesia,
1985:86).
Keberhasilan ini membuat Slamet Riyadi semakin
dilibatkan dalam misi-misi berikutnya yang tak kalah penting. Usai Serangan
Umum Kota Solo yang sukses besar tersebut, Slamet Riyadi dibaptis di Gereja
Santo Antonius Purbayan, Solo. Namanya lengkapnya kemudian berubah menjadi
Ignatius Slamet Riyadi.
Slamet Riyadi selalu terlibat dalam operasi-operasi
militer penting angkatan bersenjata RI selanjutnya. Ia terlibat dalam usaha
menghentikan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) juga gerakan Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat, lalu menghadapi pasukan Andi Aziz di
Makassar, hingga dikirim ke Ambon kontra Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada suatu kali saat menjalankan tugas, Slamet
Riyadi pernah menyatakan cita-citanya kepada sahabat sekaligus rekan kerjanya,
Kolonel A.E. Kawilarang.
“Kalau operasi ini selesai, saya ingin membentuk
pasukan khusus yang setangguh pasukan baret hijau Belanda seperti yang kita
hadapi saat ini," ucap Slamet Riyadi kala itu.
Keinginan itu tak kuasa diwujudkan. Namun, cita-cita
Slamet Riyadi ditunaikan A.E. Kawilarang dengan membentuk Kesatuan Komando
(Kesko), lalu berturut-turut berganti nama Korp Komando Angkatan Darat (KKAD),
Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Komando Pasukan Sandi Yudha
(Kopasandha), hingga menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Slamet Riyadi meninggal dunia terlalu dini. Pada 4
November 1950, perutnya terkena berondongan peluru di depan gerbang Benteng
Victoria di Kota Ambon. Usai tertembak, Slamet Riyadi langsung diamankan untuk
segera mendapatkan pertolongan medis.
Meskipun perutnya terluka parah, ia terus memberikan
instruksi agar disampaikan kepada pasukannya yang masih bertempur di Ambon. Di
rumah sakit darurat di atas kapal di perairan Tulehu, Maluku Tengah, dokter dan
tenaga medis lainnya berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa Slamet Riyadi.
Di hari yang sama, pukul 11 malam, Slamet Riyadi menghembuskan nafas
terakhirnya.
Saat pasukan akan ditarik kembali ke Jawa, rakyat
Ambon meminta agar Slamet Riyadi tetap dimakamkan di Ambon sebagai Pahlawan.
Itulah sebabnya hanya tanah kuburnya saja yang
dibawa ke Solo untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Solo.