Seperti telah disebutkan sebelumnya, cerita dalam
novel ini mengambil latar tempat di sebuah desa fiktif bernama Karang Kedempel.
Desa ini digambarkan sebagai desa yang dikuasai oleh seorang kepala desa yang
otoriter. Sistem kekuasaan otoriter yang digunakan oleh kepala desa diterapkan
dengan sangat efektif dan efisien oleh para pamong yang bekerja di bawahnya.
Hal ini dibuktikan dengan tertindasnya rakyat jelata tanpa mampu lagi merasakan
penindasan tersebut. Banyak rakyat di Karang Kedempel tersebut menganggap
penindasan tersebut sah-sah saja dilakukan oleh penguasa. Doktrin "raja
adalah dewa yang harus selalu disembah dan ditaati" begitu menyusup dan
mengakar di dalam jiwa dan pikiran masyarakat Karang Kedempel. Oleh karena itu
Semar yang juga seorang dewa, bahkan dia adalah dewanya para dewa turun ke
Karang Kedempel untuk membebaskan ketertindasan rakyat. Dalam misinya di Karang
Kedempel dia berperan sebagai rakyat jelata yang memiliki kebebasan dalam berpikir.
Semar yang seorang dewa tidak pernah menyembah kepada raja. Walaupun demikian,
dia tetap menghormati raja tersebut dengan bersikap sopan, terutama setiap
berbicara dengannya.
Di dalam novel ini, Emha Ainun Nadjib mengutarakan
pandangannya tentang rakyat sebagai seorang dewa. Di dalam dunia pewayangan,
raja mendapatkan ilham dari para dewa. Karena dewanya adalah rakyat, maka ilham
tersebut seharusnya dari rakyat atau dengan kata lain, ilham yang diterima oleh
seorang raja adalah bersumber dari aspirasi rakyat. Lebih jauh, dia ingin
mengungkapkan bahwa seharusnya raja atau penguasa suatu wilayah mengabdi untuk
kepentingan rakyat, bukan untuk menindas dan memerah tenaga rakyat untuk
kepentingan pribadi ataupun golongan. Filosofi pengarang inilah yang akan menjadi
fokus pembahasan makalah ini.
Filosofi “Rakyat
Adalah Dewa dan Dewa Adalah Rakyat”
Rakyat dapat diartikan sebagai warga masyarakat;
segenap penduduk yang menempati wilayah tertentu (dalam suatu negara);
khalayak, orang biasa.[1] Rakyat dikatakan sebagai orang biasa karena
terikat pada sebuah sistem kekuasaan yang berlaku di sebuah wilayah. Rakyat
sering menjadi objek kekuasaan yang di beberapa negara masih banyak yang
diperlakukan oleh pemegang kekuasaan secara semena-mena. Rakyat masih dianggap
sebagai pengisi kasta terbawah yang boleh ditindas dan bahkan dalam keadaan
tertindas tersebut masih harus menyembah dan tunduk patuh kepada keinginan
penguasa.
Karena itulah, Emha berusaha mengetengahkan
pandangannya tentang “Rakyat sebagai dewa dan dewa adalah rakyat” dalam
novelnya tersebut. Pandangan ini dikemukakan dengan tujuan untuk membangkitkan
moral pembaca yang juga termasuk rakyat agar jeli dalam memahami seluk-beluk
kekuasaan yang disalahgunakan. Berikut ini, beberapa kutipan tentang pandangan
atau filosofi Emha tersebut.
“ Kiai Semar
adalah kamu, adalah kalian-kalian, adalah orang-orang Karang Kedempel, adalah
inkarnasi hati nurani kalian” (hal. 55)
“Kiai Semar
itu rakyat kecil dan dewa sekaligus. Bahkan, Semar adalah Dewa segala Dewa. Ia
sesepuh semua Dewa. Batara Guru pengurus alam semesta pun patuh dan segan
kepadanya. Kiai Semar atau Hyang Ismoyo itu Dewa Tertinggi, di atasnya hanya
ada satu: yakni Sang Hyang Wenang itu sendiri. Dan, kamu tahu, Dewa Tertinggi
itu rakyat biasa. “Karena memang rakyatlah Dewa Tertinggi. Batara Guru atau
Hyang Manikmoyo, serta apalagi para Pamong dari Karang Kedempel, tak lebih dari
petugas-petugas sejarah seperti juga Kiai Semar juga mengambil perannya untuk
bertakhta di hati nurani rakyat” (hal. 59)
Dalam pandangan Emha, rakyat sebagai dewa memiliki
tugas yang tidak mudah. Rakyat sebagai dewa bukan sekedar untuk menuntut kepada
para pamong atau pihak yang berkuasa atau lebih tepatnya pihak-pihak yang
diberikan amanah untuk mengemban kekuasaaan. Rakyat harus bersikap kritis
terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak penguasa. Tentang hal ini
dapat dicermati dari kutipan berikut ini.
“Kiai Semar itu
kakaknya Batara Guru, manajer utama alam semesta ini. Jadi, Kiai Semar itu
sesepuhnya Dewa Eksekutif jagat raya. Tapi, tugasnya bukan di Kerajaan Kosmos
Jonggring Saloka, melainkan di Karang Kedempel, menjadi Punakawan-nya Raja. Ia
berperan mewakili kearifan, kebenaran, keadilan, pokoknya apa saja yang baik.
Ia harus menjadi kritikus utama atas segala perilaku Raja karena kewajibannya
adalah menemani dan membimbing Raja menuju perbuatan-perbuatan yang terbaik
bagi seluruh penduduk Karang Kedempel”
Tugas rakyat sebagai kritikus utama kekuasaan ini
membutuhkan tingkat intelegensi yang mumpuni. Tidak cukup rakyat hanya sekedar
berbicara sesuka hatinya, menilai kinerja pihak yang berkuasa dengan penilaian
yang subyektif. Untuk mewujudkan hal ini rakyat harus belajar. Di sini terjadi
lagi tarik ulur di dalam kepentingan kekuasaan. Pihak yang berkuasa sebagai
penyelenggara pendidikan formal cenderung menyelenggarakan pendidikan dengan
tujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Karena itu, pendidikan yang diberikan
kepada rakyat bersifat pembodohan. Dalam pendidikan seperti ini, orang yang
dianggap pandai adalah orang yang bisa memenuhi selera atau keinginan pihak
berkuasa. Lefort dalam Thompson (2014:53) mengatakan hal yang demikian itu
sebagai penipuan untuk menciptakan dominasi dengan adanya pembagian sosial atau
sistem kasta.
Di dalam novel “Arus Bawah” hal pembagian sosial
atau kedudukan sosial tersebut dikritisi secara mendalam karena pola tersebut
melahirkan penindasan yang korbannya tentu saja adalah rakyat jelata. Kritik
tersebut diungkapkan panjang lebar dalam “bualan” seorang Bagong yang terkenal
hanya suka makan dan tertawa ngakak pada halaman 17-23. Beberapa bagian “bualan”
Bagong adalah sebagai berikut.
“Lihatlah
bagaimana kehidupan penduduk Karang Kedempel ini! Orangtua minta dijunjung,
bahkan memerintahkan orang untuk menjunjungnya, dalam suatu pola hubungan yang
curang. Dan, yang dimaksud orangtua tidak sekedar orangtua darah, tapi adalah
juga siapa saja yang lebih berkuasa, lebih kaya, lebih pintar, lebih berumur,
serta segala macam kedudukan yang dianggap meletakkan seseorang atau suatu
kelompok terletak lebih tinggi derajatnya dibanding yang lain” (hal.18)
“Lihatlah
bagaimana kehidupan di Karang Kedempel ini, betapa salahnya tata hubungan
urusan-urusannya! Para pamong mengajari penduduk agar mereka mengabdi kepada raja-raja
kecil, raja pemerintahan dan kekuasaan, raja ekonomi, raja penguasa air
irigasi, raja para penjilat yang berbisik-bisik seperti setan mengitari
telinga-telinga. Atau, raja kaum tua yang segala kata-katanya harus dipatuhi,
yang tak bersedia dibantah, yang kalau wejangannya tak dilaksanakan maka parang
berkilat-kilat segera keluar dari selongsongnya. Semua yang menentukan adalah
kaum tua. Kaum tua dalam segala arti. Arti darah, arti budaya, arti politik dan
ekonomi”. (hal.19)
Pembodohan atau penipuan tersebut juga dibungkus
dalam kerangka konsep spiritual atau dengan kata lain mengatasnamakan
dewa-dewa, mengatasnamakan Tuhan. Pembodohan dan penipuan tersebut dilabeli
dengan surga dan neraka.
“Dalam tatanan
ke-Mahabharata-an asli di Karang Kedempel Kuno, yang sah untuk punya kehendak
hanyalah Dewa dan para Pamong. Seseorang boleh dibunuh atau sepetak sawah boleh
direbut oleh Pamong atas nama Dewa. Tata otoriterisme politik itu tidaklah
dibubuhkan terutama dalam aturan-aturan, tapi dihidupkan dalam kerangka konsep
spiritual penduduk Karang Kedempel”. (hal.59)
Yang jelas dalam novel tersebut, Emha berusaha
menempatkan rakyat dan pihak berkuasa dalam hirarki yang tidak bersifat
subordinatif. Rakyat dan kekuasaan ditempatkan dalam sebuah siklus yang saling
berkesinambungan. Rakyat tidak selalu berada pada tingkatan terbawah sehingga
bisa seenaknya ditindas oleh penguasa yang selalu menempati hirarki tertinggi.
Bahkan lebih lanjut, Emha menyebutkan bahwa rakyat adalah segalanya. Kekuasaan
selalu membutuhkan rakyat, sedangkan rakyat tidak membutuhkan kekuasaan.
“Rakyat itu
lebih besar daripada segala desa. Rakyat lebih perkasa dibanding semua peran
sejarah yang lain. Rakyat lebih agung dan arif dibanding segala tingkat peroleh
ilmu kaum cendekia. Rakyat sanggup hidup tanpa penguasa, tapi tak sebiji
penguasa pun yang pernah sanggup hidup tanpa rakyat” (hal. 29)
Kesimpulan
Filosofi “Rakyat sebagai Dewa dan Dewa adalah Rakyat”
bukan berarti rakyat sebagai manusia itu bersifat transendental seperti halnya
Tuhan. Filosofi ini berusaha untuk membebaskan rakyat sebagai manusia dari
ketertindasan yang disebabkan oleh manusia lain yang memiliki apa yang disebut
dengan kekuasaan. Filosofi ini mengajarkan kesetaraan dan persamaan. Filosofi
ini sama dengan ajaran Samin. Mengenai ajaran Samin, Koh Young Hun
(2012:130-131) mengatakan,” semua manusia
ini mempunyai persamaan dalam kelahiran, keperluan, dan tujuan. Oleh karena
itu, tidak ada sebab yang mengharuskan manusia berbeda antara satu dengan yang
lain”.
Berbeda yang dimaksud di atas adalah berkaitan
dengan masalah kekuasaan. Antara manusia yang satu dengan yang lain tidak ada
yang lebih berkuasa sehingga tidak ada manusia yang lebih tinggi yang bisa
seenaknya berbuat aniaya atau menindas manusia yang lain. Manusia yang diserahi
tugas atau amanah untuk memimpin bukan berarti dia lebih tinggi atau lebih
berkuasa dari yang dipimpin. Antara yang memimpin dan yang dipimpin tersebut
memiliki derajat yang sama atau setara. Semuanya saling bekerjasama untuk
mencapai tujuan bersama. Yang memimpin berkewajiban untuk membuat dan
melaksanakan kebijakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama, bukan
untuk kepentingan pribadi atau golongan. Sedangkan yang dipimpin harus bersikap
aktif dan kritis dalam mengawal setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin.
Hubungan ideal antara pemimpin dengan yang dipimpin
adalah seperti yang diibaratkan Emha dalam novelnya tersebut, yaitu sebuah
siklus atau perputaran. Di dalam perputaran, pemimpin dan yang dipimpin semua
berada di atas dan di lain waktu semua berada di bawah. Berbeda halnya dengan
subordinasi di mana yang di atas menekan yang di bawah. Hanya saja, karena
manusia itu memiliki jiwa dan emosi, yang di bawah akan berusaha untuk keluar
dari tekanan. Mereka akan berusaha untuk naik. Mungkin mereka akan jatuh dan
dijatuhkan atau mungkin mereka akan menjatuhkan. Di sini, akhirnya yang ada
hanyalah sebuah hasrat untuk saling menjatuhkan. Keseimbangan atau keharmonisan
akan hilang dan diganti dengan huru-hara berkepanjangan.
Referensi
Hun, Koh Young. 2011. Pramoedya Menggugat: Melacak
Jejak Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Nadjib, Emha Ainun. 2015. Arus Bawah, cet. II. Yogyakarta:
Bentang.
Thompson, John B. 2014. Analisis Ideologi Dunia.
Terjemahan Haqqul Yaqin. Jogjakarta: Ircisod.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan
Gitamedia Press.