Kadek saat menjajakan tisu di Pantai Mertasari, Sanur, Denpasar, Bali. Foto: I Ketut Agus Arta Diva |
Fenomena pekerja anak di bawah umur makin marak terjadi di masa pandemi, khususnya di Bali.
Anak-anak usia 10 tahun seharusnya menikmati hak
untuk bermain dan mendapatkan pendidikan demi masa depan.
Berbeda dengan Kadek, ia harus berkeliling menjual
tisu kepada pengunjung di Pantai Mertasari Sanur, Denpasar Timur, Bali.
Kadek bukanlah satu-satunya anak yang harus bekerja
di bawah umur untuk menunjang perekonomian keluarga.
Kadek, bocah penjual tisu di Pantai Mertasari, Sanur, Denpasar, Bali. Foto: I Ketut Agus Arta Diva |
Fenomena pekerja anak di bawah umur makin marak
terjadi ditengah pandemi, khususnya daerah Bali. Penyebabnya pendapatan
masyarakat turun karena sektor pariwisata sedang tidak stabil.
Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana
Sukawati atau Cok Ace mengatakan, jumlah anak-anak yang menjadi pedagang
asongan di Denpasar mencapai jumlah 1.000 orang.
“Saya kira ini menjadi persoalan yang harus kami
tangani. Kami tidak bisa membayangkan akan menjadi apa mereka nanti. Pengamatan
saya di Sanur, usianya masih di bawah 5 tahun, ditelantarkan oleh ibunya di
bawah pohon menjual tisu, saya berusaha mendekati tapi menghindar,” ujar Cok
Ace yang dilansir dari laman Tribun Bali, Kamis (28/10/2021).
Kadek menjadi satu dari 1.000 anak-anak lain yang
harus dipekerjakan oleh orangtuanya untuk menunjang perekonomian keluarga.
“Saya kerja jualan sama ibu saya. Itu ibu saya di
sana. Biasanya saya berpencar untuk cari penjual supaya cepat habis tisunya,”
jelas Kadek ketika ditemui Katolikan di media Desember 2021.
Keterbatasan ekonomi membuat Kadek harus membantu
ibunya untuk menjual tisu. Kadek dan ibunya tidak hanya berjualan di Pantai
Mertasari Sanur. Kadek juga berjualan di lampu merah atau jalan-jalan raya di
Sanur, Denpasar Timur, Bali.
Tiap bungkus tisu 50 sheets dijual dengan
harga Rp8.000. Biasanya dalam satu hari Kadek dan ibunya memperoleh pendapatan
Rp40.000 hingga Rp50.000. Kadek mengatakan uang yang ia dapatkan dari hasil
penjualan tisu ia serahkan kepada ibunya.
“Uangnya diberikan ke ibu. Nanti ibu membeli bahan
makan buat dimasak. Biasanya uang segitu cukup untuk makan saja,” jelas Kadek
saat ditanya mengenai pendapatan dari menjual tisu.
Karena harus menanggung beban ekonomi keluarga,
Kadek belum pernah merasakan bangku pendidikan, padahal usianya kini
sudah menginjak 10 tahun. Menurutnya, mencari uang adalah prioritas dirinya
kini agar dapat bertahan hidup.
“Saya enggak pernah sekolah. Saya ingin sekolah tapi
belum ada biaya buat membeli seragam atau buku, Jadinya, membantu ibu jualan
supaya ibu tidak sendiri,” ucap Kadek.
Selama satu tahun ini Kadek berjualan tisu karena
perekonomian makin sulit. Saat pandemi, Ibu Kadek terpaksa mengajak Kadek untuk
ikut berjualan tisu.
“Lupa
jualannya sejak kapan, tapi sudah satu tahun. Awalnya diajak ibu buat tawarin
tisu ke orang-orang yang main di pantai,” ujar Kadek.
Pekerja anak di bawah umur tergolong ilegal. Payung
hukum UU No No. 13/2003 pasal 68 hanya membolehkan seseorang bekerja minimal
usia 18 tahun.
Fenomena pekerja anak di bawah umur ini seharusnya
dilaporkan kepada pihak berwajib untuk diberikan pemberdayaan agar anak-anak
tetap mendapatkan haknya secara utuh.
“Kewajiban kami yaitu to voice for the voiceless. Anak-anak adalah bagian dari voiceless ini.
Duta Anak Kota Denpasar hadir sebagai jembatan dari pemerintah untuk anak ke
anak. Isu ini perlu dilaporkan tidak bisa ditangani sendiri. Isu ini sering
terjadi tetapi meningkat di masa pandemi,” jelas Duta Anak Kota Denpasar bagian
komisi perlindungan khusus Ida Ayu Agung Mahacandri Krisna atau akrab disapa
Dayu Maha.
Duta Anak Kota Denpasar menanggapi dengan serius
fenomena meningkatnya pekerja anak di bawah umur, khususnya yang sedang marak
terjadi di kota Denpasar selama pandemi.
Dayu Maha-Duta Anak Kota Denpasar |
Hal ini diimplementasikan ke dalam salah satu
program kerja yang dikhususkan untuk anak-anak yang bekerja di bawah umur.
Salah satu program kerja Duta Anak Kota Denpasar
untuk menangani fenomena anak yang bekerja dibawah umur adalah Bersama Anak
Beraspirasi dalam Kreasi (BERAKSI).
Kegiatan ini mengajak anak-anak bermain sambil
belajar dan mengeluarkan pendapat atau aspirasi mereka. Program kerja ini juga
dilakukan untuk membantu memenuhi hak-hak anak.
“Saat program kerja BERAKSI, anak-anak yang bekerja
di bawah umur bercerita bagaimana terhambatnya pendidikan mereka, dalam
memenuhi kebutuhan seperti buku dan alat tulis,” jelas Dayu Maha.
Selain itu, kontribusi Duta Anak Kota Denpasar untuk
menekan angka kenaikan yang cukup siginifikan dari pekerja anak di bawah umur
adalah dengan melaksanaka ‘Suara Anak’ tiap tahun.
“Kami setiap tahun melaksanakan ‘Suara Anak’ yang
membahas isu-isu yang cukup umum pada tahun terkait atau isu yang sedang
meningkat. Kemarin kami membahas mengenai pengusaha yang dilarang mempekerjakan
anak-anak di bawah usia 18 tahun karena dapat berdampak pada kesehatan fisik,
mental, dan sosial anak,” papar Dayu Maha.
Menurut Dayu Maha jika ingin membantu anak-anak
penjual tisu di jalanan, langkah terbaik tidak hanya dengan membeli apa yang
mereka jual, tetapi kita dapat melaporkan kepada pihak berwajib agar anak-anak
tersebut mendapatkan pemberdayaan dan juga hak-haknya untuk belajar dan
bermain.
“Lebih baik dilaporkan bisa melalui kantor
kepolisian atau Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak agar anak-anak tersebut
mendapatkan hak sepenuhnya untuk menikmati masa kecilnya yaitu bermain
dan belajar.”**
Kontributor: I Ketut Agus Arta Diva
Anggara, tinggal di Denpasar, Bali
Artikel ini telah dipublikasikan di https://www.katolikana.com/2022/01/09/kadek-bocah-penjual-tisu-rela-kehilangan-masa-kecilnya-untuk-bertahan-hidup-selama-pandemi/