Patung Hendricus van der Grinten berdiri menjulang di Museum Prasasti. (Danu Damarjati/detikcom) |
Mengunjungi Museum Prasasti, Jl Tanah Abang I, Gambir, Jakarta Pusat, ada
patung yang berdiri menjulang paling tinggi, sekitar 5 meter. Patung perunggu
ini tepat di persimpangan jalan di antara macam-macam batu nisan orang Eropa.
Ini adalah patung yang menggambarkan sosok Hendricus van der Grinten.
Ketokohannya di Batavia abad ke-19 diabadikan lewat patung yang masih berdiri
sampai 2020 ini.
"Ini salah satu pendiri Yayasan Vincentius (Perhimpunan Vincentius
Jakarta) yang ada di Kramat Raya," kata pemandu wisata Museum Prasasti,
Eko Wahyudi, saat menjelaskan kepada detikcom di lokasi, Rabu (16/12/2020).
Patung Hendricus van
der Grinten berdiri menjulang di Museum Prasasti. (Danu Damarjati/detikcom) |
Dikutip dari Nieuw Nederlandsh Biografisch Woordenboek (NNBW), Grinten lahir di
Eindhoven, 2 November 1811, dan meninggal dunia di Batavia pada 23 Januari
1864. Dia menyelesaikan pendidikan Seminari di Haaren dan ditahbiskan sebagai
imam di Den Bosch pada 1836. Dia berangkat menjalani misi ke Hindia Belanda
pada Juni 1847.
Grinten kemudian menjadi pastor paroki di Semarang pada 1848 dan di Batavia
pada 1854. Dia adalah Kepala Gereja Katolik Batavia, letaknya di sudut Lapangan
Banteng, dulu bernama Waterlooplein.
Van der Grinten meninggal pada 1864 dan dimakamkan di tanah ini, tempat yang
sekarang disebut sebagai Museum Prasasti. Dulu sebelum 1977, tempat ini dikenal
sebagai Pemakaman Kebon Jahe Kober atau Kerkhof Laan, kompleks permakaman untuk
bangsawan dan orang terhormat era kolonial Belanda. Semasa hidupnya, Grinten
berjasa merawat anak-anak blasteran telantar.
"Jadi, dulu kalau ada orang bule suka sama orang pribumi, kemudian punya
anak, maka anak blasteran indo ini sering telantar. Sama Van der Grinten
dibuatkan rumah yang sekarang menjadi Perhimpunan Vincentius," tutur Eko
Wahyudi menerangkan.
Relief di bawah
patung Hendricus van der Grinten di Museum Prasasti. (Danu Damarjati/detikcom) |
Dilansir dari situs resmi Perhimpunan Vincentius Jakarta, perhimpunan ini didirikan pada 29 Agustus 1855. Saat itu tujuan utamanya adalah membantu anak-anak keturunan Belanda (indo-Eropa) yang menjadi masalah sosial di masyarakat. Usaha sosial ini awalnya bersifat home-care, karena perhimpunan saat itu belum memiliki rumah.
Barulah selanjutnya perhimpunan ini memperoleh rumah sewa di Bazaar Baroe
(sekarang Pasar Baru) anak indo yang ditampung bisa lebih banyak. Vincentius
mendapat lokasi baru di Gang Kurni (sekarang Jalan Kwini) dan akhirnya di Jalan
Kramat Raya Nomor 134 Jakarta pada 1910.
Tahun 1942-1945 keadaan menjadi kacau karena dalam masa penjajahan Jepang, para
pimpinan panti, baik pastor, bruder, maupun suster Belanda masuk ke kamp-kamp
tahanan. Sedangkan perumahannya digunakan oleh serdadu Jepang sebagai markas.
Sementara itu, anak-anak asuh dititipkan di Biara Ursulin dan diasuh oleh
suster-suster Ursulin.
Pada 1950, Batavia Vincentius Vereeniging resmi menjadi Perhimpunan Vincentius
Jakarta, melayani anak-anak yatim piatu telantar, dan anak-anak keluarga broken
home dan penyandang masalah sosial.
Relief di bawah
patung Hendricus van der Grinten di Museum Prasasti. (Danu Damarjati/detikcom) |
Sekilas soal anak-anak indo telantar
Bagaimana bisa anak-anak blasteran dari pasangan Belanda/Eropa-pribumi menjadi
telantar di jalanan Batavia? Ternyata anak-anak blasteran telantar adalah
problem lumrah pada era Batavia zaman dulu.
Buku 'Nyai dan
Pergundikan di Hindia Belanda' karya Regie Baay. (Danu Damarjati/detikcom) |
Masalah seperti ini dijelaskan oleh Reggie Baay dalam buku 'Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda', diterbitkan Komunitas Bambu. Anak-anak indo itu berasal dari hubungan pergundikan atau kumpul kebo (samenleven) antara lelaki Eropa dan nyai pribumi. Hubungan mereka tidak sah secara pernikahan, namun marak di wilayah pendudukan Belanda.
"Anak-anak hasil pergundikan Eurasia yang telantar dan tak terawat menimbulkan permasalahan dalam masyarakat sejak awal abad ke-17," tulis Reggie Baay.
Pada saat itu, citra buruk melekat pada anak-anak indo dengan ras Eurasia.
Mereka dianggap 'bastaarden', anak haram, dan malas. Nyai pribumi sendiri
bersama anak-anaknya bisa dilepas begitu saja oleh tuan Belanda bila tuan
Belanda sudah mendapatkan gadis/perempuan Eropa. Bagi tuan Eropa, nyai hanyalah
perempuan untuk memuaskan nafsu seksualnya sembari menunggu gadis Eropa yang
ideal.
Meski begitu, lewat upaya keras dan pendidikan, anak-anak Eurasia ini bisa merangkak
ke strata sosial tertinggi, bahkan ada yang menjadi gubernur jenderal, jabatan
tertinggi era itu. Contohnya, Gubernur Jenderal Batavia ke-23, Dirck van Cloon.
Dia adalah seorang Eurasia yang lahir pada 1684 di Batavia.
Sumber: https://news.detik.com