Sir Alex Ferguson menyaksikan laga Manchester United vs Southampton. Foto: Clive Brunskill/Reuters |
13 gelar juara Liga inggris, 10 piala Community
Shield, 5 piala FA, dan 2 piala Champions League, merupakan beberapa catatan
koleksi trofi yang diraihnya selama melatih Manchester United (MU).
Sejak mulai melatih MU pada tahun 1986 hingga
pensiun pada tahun 2013 silam, tercatat pria yang juga sering disapa Fergie ini
merupakan pelatih dengan jumlah trofi terbanyak sepanjang sejarah klub, dengan
total koleksi sebanyak 38 trofi. Jauh mengungguli rekor dari Sir Matt Busby,
pelatih legendaris MU pada periode tahun 60-an yang berhasil mengoleksi 13
trofi selama periode kepelatihannya.
Kini, berselang 7 tahun sejak terakhir kali menjabat
sebagai pelatih MU, SAF tahun ini merayakan hari lahirnya yang ke-80 tahun.
Namun, umur SAF yang menginjak angka 80 tahun ini, bisa saja tidak kita
saksikan sekarang. Sebab, pada tahun 2018 lalu, SAF divonis terkena pendarahan
otak yang kemungkinan besar dapat membuat hidupnya berakhir saat itu juga.
Penyakit tersebut membuat SAF harus menjalani
operasi otak. Tidak hanya berisiko tinggi, operasi tersebut juga memiliki efek
samping yang membuatnya dapat kehilangan ingatan. Dan benar saja, enam bulan
setelah operasinya berhasil, ia mengalami kesulitan berbicara dan mengingat.
Sebagai bentuk upaya untuk menjaga ingatannya agar
tidak hilang, setiap kali ia mengingat peristiwa tertentu, maka ia akan
cepat-cepat menuliskannya pada selembar kertas. Proses pemulihan dari operasi
otak inilah yang menjadi bagian pembuka dari film dokumenter berjudul “Sir Alex
Ferguson: Never Give In" (2021).
Disutradarai oleh James Ferguson, yang tidak lain
merupakan anak sulung dari SAF. Dengan mengambil cuplikan arsip foto, video,
serta melakukan wawancara personal, James mencoba untuk merangkai momen-momen
penting dalam kehidupan pribadi maupun perjalanan karir SAF.
Govan, sebuah daerah pedesaan di sebelah barat kota
Glasgow Skotlandia, adalah tempat di mana kisah SAF dimulai. Sebagai daerah
distrik yang dikenal sebagai pusat pelabuhan, mayoritas pemuda yang tinggal di
situ bekerja sebagai awak atau teknisi di galangan kapal, termasuk SAF dan juga
ayahnya. Agaknya, latar belakang sebagai pekerja kapal inilah yang membentuk
sifat keras dan disiplin dari SAF yang menjadi ciri khas-nya selama melatih
kelak.
Di sela-sela pekerjaannya itulah SAF berlatih
sepakbola. Namun, karier sepak bolanya tidak selalu berjalan mulus. Sempat
berpikir berhenti di umur 21 karena tidak kunjung menjadi pemain utama,
karirnya melesat ketika berhasil mencetak hattrick ke gawang Rangers, salah
satu klub besar di Skotlandia. Berkat hattrick itu, ia urung pindah ke Kanada
dan kembali melanjutkan karier sepakbolanya.
Selang 3 tahun setelah pertandingan itu, tawaran
bermain untuk Rangers pun muncul. Sebagai klub favoritnya sejak kecil, tentu
tak butuh waktu berpikir yang lama untuk menerima tawaran tersebut. Sukacita
ini, sayangnya, tidak berlangsung lama.
Di balik gedung-gedung dengan arsitektur gotiknya,
Glasgow adalah kota yang sejatinya terbelah. Sejak akhir abad ke-16, ketegangan
antara umat Katolik dan umat Protestan menjadi bibit konflik yang terpendam
lama. Sektarianisme agama ini masuk ke dalam seluruh kehidupan masyarakat
Glasgow, termasuk sepakbola.
Sektarianisme itu terwujudkan pada dua klub
sepakbola terbesar di Skotlandia, Celtic & Rangers. Celtic adalah klub
dengan basis fans beragama Katolik, sedangkan Rangers adalah klub dengan basis
fans protestan. Dalam sebuah pertandingan final piala liga yang mempertemukan
dua klub tersebut, Rangers kalah telak 0-4 dari Celtic. SAF, yang saat itu
menjadi bagian dari tim inti Rangers, menjadi kambing hitam kekalahan timnya.
Latar belakang istrinya yang seorang katolik dikait-kaitkan sebagai penyebab
utama kekalahan Rangers. Karena peristiwa itu, ia memutuskan untuk pindah dari
Rangers. Klub yang tadinya ia cintai, kini berubah menjadi klub yang paling
dibencinya. Beberapa tahun setelahnya, ia memutuskan pensiun dari dunia
sepakbola di usia yang relatif masih muda.
Banting setir menjadi pelatih setelah pensiun, SAF
mulai melatih Aberdeen, salah satu klub lokal di Skotlandia. Meski awalnya
harus menggunakan lapangan alun-alun kota karena klub tidak memiliki lapangan
latihan sendiri, ia berhasil mengantarkan Aberdeen menjadi juara Champions
League pada musim 1982-1983 dengan mengalahkan Real Madrid di final. Pasca
kemenangan di final tersebut, SAF pindah ke Inggris untuk menerima tawaran
menjadi pelatih MU pada tahun 1986.
Masa-masa awal kepelatihan SAF di MU bukanlah
periode yang mudah. MU belum pernah juara liga Inggris selama 20 tahun, mereka
sering kalah dalam pertandingan, dan posisi klub selalu berada di papan bawah
klasemen setiap akhir musim. Selama 4 tahun pertama, tidak ada trofi yang
berhasil diraih olehnya.
Mulai banyak pihak-pihak yang meragukan
kemampuannya. Ribuan surat-surat kemarahan mulai masuk ke kantornya. Suatu hari
ia pernah mendapat telepon langsung dari seseorang dengan nada marah yang
berkata: "Get back to your home in Scotland, You Fu**ing useless!".
Ia kemudian pulang ke rumah, duduk di kamar sambil menangis. Ya, orang yang
satu waktu pernah menendang sepatu ke muka David Beckham karena marah itu,
ternyata juga bisa menangis.
Perlu waktu 5 tahun untuk SAF agar berhasil meraih
trofi pertamanya. Dan 21 tahun setelah itu, 37 trofi-trofi lain mulai
berdatangan ke dalam koleksi trofi yang ia menangkan.
Di masa sepakbola modern seperti sekarang, di mana
satu-dua kekalahan saja sudah cukup untuk membuat seorang pelatih dipecat, masa
kepelatihan selama 26 tahun tentu adalah sebuah hal yang langka dan mungkin
jarang terjadi di masa yang akan datang.
Dalam buku autobiografi yang ia tulis, "Alex
Ferguson: My Autobiography" (2013), ada satu kalimat yang selalu menjadi
pegangan dari SAF. "The minute when a player thinks he is bigger than a
manager or the club, then he had to go". Tidak ada pemain yang boleh
merasa lebih hebat daripada manajer, apalagi klub-nya.
Prinsip inilah yang membuatnya tidak segan mendepak
pemain-pemain seperti David Beckham, Ruud Van Nistelrooy, atau Roy Keane. Tidak
peduli seberapa tinggi reputasi dan kontribusi pemain-pemain tersebut pada
klub.
Sejak SAF pensiun, tercatat sudah ada 6 orang (4
pelatih utama + caretaker sementara) yang menggantikan posisinya sebagai
manajer MU. Rata-rata, nama-nama tersebut hanya bertahan selama 2-3 tahun
sebelum dipecat. Nampaknya, beban untuk melanjutkan rekam jejak positif SAF
bukan hal yang mudah. Dan MU sampai saat ini masih mencari sosok yang tepat
untuk menggantikannya.
Pemain dan pelatih akan terus berganti, namun klub
akan terus abadi. Tapi ketika ada seseorang yang begitu berjasa dengan masa
bakti yang lama pada klub, akan ada beberapa nama yang tidak bisa dilupakan
atau bahkan mencapai status yang sama besarnya dengan klub tempat ia berkarier.
Dan untuk MU, salah satu nama tersebut tentu adalah
Sir Alex Ferguson.