Agama-agama dilahirkan,
tumbuh dan mati. 3.500 tahun lalu, agama Zoroastrianisme menjadi agama yang
diikuti jutaan orang. Kini, agama ini sekarat dan hanya diikuti sedikit orang.
Bagaimana nasib agama-agama lain?
Ritual agama umat Hindu (cnn.com) |
Sebelum Muhammad,
sebelum Yesus, sebelum Buddha, ada seorang Zoroaster. Sekitar 3.500 tahun yang
lalu, pada Zaman Perunggu Iran, dia mendapatkan visi tentang satu-satunya Tuhan
yang tertinggi.
Selang 1.000 tahun
kemudian, Zoroastrianisme, agama monoteistik besar pertama di dunia menjadi
kepercayaan resmi Kekaisaran Persia yang perkasa. Kuil-kuil apinya dihadiri
oleh jutaan umat. 1.000 tahun setelah itu, kekaisaran runtuh, dan para pengikut
Zoroaster dipaksa dan dimualafkan ke agama baru penakluk mereka, Islam.
Lalu 1.500 tahun
kemudian, hari ini, Zoroastrianisme adalah kepercayaan yang sekarat. Jumlah
para penyembah api kudusnya telah mencapai titik paling minim.
Kita menerima begitu
saja keyakinan bahwa agama dilahirkan, tumbuh dan mati, tetapi anehnya kita
juga abai terhadap kenyataan tersebut. Ketika seseorang mencoba untuk memulai
agama baru, dia sering dianggap sebagai aliran sesat.
Ketika kita mengakui
suatu iman, kita memperlakukan ajaran dan tradisinya sebagai suatu yang abadi
dan sakral. Dan ketika sebuah agama mati, ia menjadi mitos, dan klaimnya atas
kebenaran suci berakhir. Kisah-kisah tentang panteon Mesir, Yunani dan bangsa
Norwegia sekarang dianggap legenda, bukan lagi kitab suci.
Bahkan agama-agama
besar masa kini pun sebenarnya telah melewati tahapan evolusi sepanjang
sejarah.
Kekristenan awal,
misalnya, adalah kepercayaan yang dulunya benar-benar sangat luas. Termasuk di
dalamnya, dokumen-dokumen kuno berisi narasi tentang kehidupan keluarga Yesus
dan bukti-bukti kebangsawanan Yudas. Butuh waktu tiga abad bagi agama Kristen
untuk melakukan konsolidasi dan menyepakati sebuah kanon kitab sucinya.
Kemudian pada 1054,
gereja itu terpecah menjadi Gereja Ortodoks Timur dan Katolik. Sejak itu, agama
Kristen terus tumbuh dan terpecah menjadi kelompok-kelompok yang semakin
berbeda, dari Quaker yang senyap hingga gereja Pentakosta yang menggunakan ular dalam khotbahnya.
Jika Anda yakin iman
Anda telah berada di level kebenaran tertinggi, Anda mungkin menolak gagasan
bahwa agama itu bisa saja berubah. Tetapi jika sejarah menjadi patokan, tidak
peduli seberapa kuat kepercayaan kita saat ini, agama mungkin akan
bertransformasi atau berubah pada waktunya ketika berpindah ke keturunan kita,
atau menghilang begitu saja.
Api menyala di kuil Zoroaster, mungkin sejak satu milenium yang lalu. |
Jika agama telah
melalui perubahan dramatis di masa lalu, maka perubahan apa yang akan mereka
alami di masa depan? Apakah ada kebenaran pada klaim bahwa kepercayaan pada
tuhan-tuhan dan dewa-dewa akan lenyap sama sekali? Dan ketika peradaban kita
dan teknologinya menjadi semakin kompleks, mungkinkan bentuk pemujaan yang
sepenuhnya baru akan muncul?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, titik awal yang baik adalah bertanya: mengapa ada
agama?
Alasan untuk percaya
Satu jawaban terkenal
datang dari Voltaire, filsuf Prancis abad ke-18, yang menulis: "Jika Tuhan
tidak ada, maka sangat perlu untuk menciptakannya."
Karena Voltaire adalah
kritikus yang sangat tajam terhadap organisasi agama, ucapan ini sering dikutip
dengan sinis. Tapi faktanya, dia benar-benar jujur. Dia berpendapat bahwa kepercayaan
pada Tuhan diperlukan agar masyarakat berfungsi, meskipun dia tidak menyetujui
monopoli yang dipegang gereja atas kepercayaan itu. Banyak mahasiswa modern
jurusan agama setuju.
Gagasan bahwa agama
diperlukan untuk melayani kebutuhan masyarakat dikenal sebagai pandangan
fungsionalis tentang agama. Ada banyak hipotesis fungsionalis, antara lain
gagasan bahwa agama adalah "candu massa", yang digunakan oleh yang si
kuat untuk mengendalikan orang miskin lemah. Ada pula proposal bahwa iman mendukung
intelektualisme abstrak yang diperlukan untuk sains dan hukum.
Salah satu tema yang
sering muncul adalah kohesi sosial: agama menyatukan sebuah komunitas, yang
kemudian dapat membentuk kelompok perburuan, membangun kuil atau mendukung
sebuah partai politik.
Kepercayaan-kepercayaan
yang bertahan adalah "produk jangka panjang dari tekanan budaya yang luar
biasa kompleks, proses seleksi, dan evolusi", tulis Connor Wood dari Pusat
Pikiran dan Budaya di Boston, Massachusetts.
Gerakan keagamaan baru
dilahirkan sepanjang waktu, tetapi sebagian besar tidak bertahan lama. Mereka
harus bersaing dengan agama lain demi pengikut dan bertahan dari lingkungan
sosial dan politik yang berpotensi melemahkan.
Dengan argumen ini,
agama apa pun yang bertahan harus menawarkan manfaat nyata kepada penganutnya.
Kekristenan, misalnya,
hanyalah salah satu dari banyak gerakan keagamaan yang muncul dan sebagian
besar menghilang selama Kekaisaran Romawi. Menurut Wood, agama Kristen
dibedakan oleh etos merawat orang sakit, yang berarti lebih banyak orang
Kristen yang selamat dari wabah penyakit daripada orang kafir Roma.
Islam, juga, pada
awalnya menarik pengikut dengan menekankan kehormatan, kerendahan hati dan
kasih amal, kualitas yang tidak ditemukan di Arab Abad ke-7 yang terus
bertikai.
Berdasarkan hal ini,
kita dapat memprediksi bentuk yang diambil agama agar dapat memainkan fungsinya
dalam masyarakat tertentu. Atau seperti yang dikatakan Voltaire, bahwa
masyarakat yang berbeda akan menciptakan dewa-dewa tertentu yang berbeda sesuai
dengan apa yang mereka butuhkan.
Sebaliknya, kita
mungkin memperkirakan jika masyarakat yang sama akan memiliki kepercayaan yang
sama, bahkan jika mereka berkembang secara terpisah. Dan ada beberapa buktinya,
meskipun tentu saja ketika membicarakan agama, akan selalu ada pengecualian.
Masyarakat pemburu dan
peramu, misalnya, cenderung percaya bahwa semua benda, baik hewan, sayuran atau
mineral, memiliki aspek supernatural (animisme)
dan bahwa dunia dipenuhi dengan kekuatan supernatural (animatisme).
Mereka harus dipahami
dan dihormati, dan moralitas manusia pada umumnya tidak menonjol secara
signifikan. Pandangan dunia ini dapat diterapkan bagi kelompok-kelompok yang
kecil yang tidak membutuhkan kode perilaku yang abstrak, tetapi harus memahami
lingkungannya secara intim. (Pengecualian: Shinto, agama animisme kuno, masih
dipraktikkan secara luas di Jepang yang sangat modern.)
Di ujung lain spektrum
yang berbeda, sebagian besar masyarakat Barat setia pada agama-agama di mana
ada satu tuhan yang mengawasi dan berkuasa dan kadang-kadang memaksakan
instruksi moral: seperti Yahweh, Kristus, dan Allah.
Menurut psikolog Ara
Norenzayan, kepercayaan pada "Tuhan-tuhan yang Maha Besar" inilah
yang memungkinkan terbentuknya masyarakat sosial yang terdiri dari sejumlah
besar orang yang tidak saling mengenal.
Apakah kepercayaan itu
merupakan sebab atau akibat, hingga baru-baru ini masih diperdebatkan. Tapi
yang jelas berbagi kesamaan keyakinan memungkinkan orang hidup berdampingan
dengan (relatif) damai. Pemahaman bahwa kita sedang diperhatikan oleh Tuhan
yang Maha Besar membuat kita harus memastikan untuk berperilaku baik.
Atau setidaknya, dulu
pernah begitu. Sekarang, banyak masyarakat kita yang sangat besar dan
multikultural: penganut banyak agama saling berdampingan satu sama lain - dan
juga semakin banyak orang yang mengatakan bahwa mereka tidak beragama sama
sekali.
Kita mematuhi hukum
yang dibuat dan ditegakkan oleh pemerintah, bukan oleh Tuhan. Sekularisme
sedang meningkat, dengan ilmu pengetahuan menyediakan media untuk memahami dan
membentuk dunia.
Mengingat semua itu,
ada konsensus yang berkembang tentang masa depan agama adalah bahwa, ia tidak
memiliki masa depan.
Bayangkan jika tidak ada surga
Arus intelektual dan
politik yang kuat telah menawarkan ide ini sejak awal abad ke-20. Sosiolog
berpendapat bahwa kebangkitan sains mengarah pada "kekecewaan"
masyarakat: jawaban supernatural untuk pertanyaan besar terasa tak dibutuhkan.
Negara-negara komunis seperti Soviet Rusia dan China mengadopsi ateisme sebagai
kebijakan negara dan bahkan tidak menyukai ekspresi keagamaan pribadi.
Pada tahun 1968,
sosiolog terkemuka Peter Berger mengatakan kepada New York Times bahwa pada
"abad ke-21, umat beragama cenderung ditemukan hanya dalam sekte kecil,
berdesakan bersama untuk menolak budaya sekuler di seluruh dunia".
Sekarang setelah kita
benar-benar berada pada abad ke-21, pandangan Berger tetap menjadi artikel
pedoman bagi banyak sekularis. Para penerusnya tetap bertahan dengan hasil
survei yang menunjukkan bahwa di banyak negara, makin banyak orang menyatakan
bahwa mereka tidak beragama.
Utamanya di
negara-negara kaya dan stabil seperti Swedia dan Jepang, tetapi juga, yang
lebih mengejutkan, di tempat-tempat seperti Amerika Latin dan dunia Arab.
Bahkan di AS, yang sebelumnya merupakan pengecualian dari aksioma bahwa
negara-negara kaya lebih sekuler, jumlah "tidak beragama" telah
meningkat tajam.
Dalam Survei Sosial
Umum 2018 tentang sikap masyarakat AS, "tidak ada agama" menjadi grup
tunggal terbesar, mengalahkan jumlah penganut Kristen evangelis.
Meskipun demikian,
agama tidak menghilang dalam skala global, setidaknya dalam hal jumlah.
Pada 2015, Pusat
Penelitian Pew membuat model prediksi masa depan dari agama-agama besar dunia
berdasarkan demografi, migrasi, dan konversi.
Bertentangan dengan
data penurunan religiusitas yang tinggi, ia justru meramalkan peningkatan
rata-rata jumlah penganut agama, dari 84% populasi dunia saat ini menjadi 87%
pada tahun 2050. Muslim akan tumbuh dalam jumlah yang menyamai Kristen. Adapun
jumlah mereka yang tidak berafiliasi dengan agama apa pun akan sedikit menurun.
Pola yang diprediksi
Pew adalah "Barat akan semakin sekuler, namun di belahan dunia lain
sisanya, agama justru tumbuh cepat". Agama akan terus tumbuh di
tempat-tempat yang tidak stabil secara ekonomi dan sosial seperti sebagian
besar sub-Sahara Afrika. Sebaliknya, kaum beragama akan menurun di tempat yang
stabil.
Ini sesuai dengan apa
yang kita ketahui tentang pendorong utama sisi psikologis dan neurologis para
penganut agama. Ketika kehidupan sulit atau bencana melanda, agama tampaknya
memberikan benteng pertahanan psikologis (dan kadang-kadang praktis).
Dalam sebuah penelitian
penting, korban gempa bumi 2011 di Christchurch, Selandia Baru menjadi jauh
lebih religius daripada orang Selandia Baru lainnya, yang secara umum menjadi
sedikit kurang religius.
Kebudayaan modern terdiri atas berbagai macam agama yang hidup berdampingan. |
Kita juga perlu
berhati-hati ketika menafsirkan apa yang orang maksudkan dengan "tidak ada
agama". "Mereka yang tidak beragama" mungkin tidak tertarik pada
agama yang terorganisasi, tetapi itu tidak berarti mereka ateis secara militan.
Pada tahun 1994, sosiolog
Grace Davie mengklasifikasikan orang berdasarkan apakah mereka termasuk dalam
kelompok agama dan/atau percaya pada posisi keagamaan. Penganut agama
tradisional mengaku masuk dalam salah satu kelompok agama percaya pada posisi
keagamaan. Ateis garis keras tidak melakukan keduanya.
Lalu ada orang-orang
yang mengikuti agama tradisional tetapi tidak percaya. Seperti orang tua yang
menghadiri gereja demi tempat bagi anak mereka di sekolah agama, mungkin. Dan,
akhirnya, ada orang-orang yang percaya pada sesuatu, tetapi tidak termasuk
kelompok mana pun.
Penelitian menunjukkan
bahwa dua kelompok terakhir itu signifikan. Proyek Understanding Unbelief di
University of Kent di Inggris melakukan survei selama tiga tahun di enam negara
mengenai sikap mereka yang tidak percaya Tuhan itu ada ("ateis") dan mereka yang berpikir
tidak mungkin untuk mengetahui apakah Tuhan itu ada atau tidak ("agnostik").
Dalam hasil sementara
yang dirilis pada Mei 2019, para peneliti menemukan bahwa beberapa orang yang
tidak percaya benar-benar mengidentifikasi diri mereka dengan label-label ini,
sementara sejumlah minoritas signifikan lain memilih identitas agama.
Selanjutnya, sekitar
tiga perempat ateis dan 9 dari 10 agnostik terbuka terhadap keberadaan fenomena
supernatural, mulai dari astrologi hingga makhluk supernatural dan kehidupan
setelah kematian. Orang-orang yang tidak percaya "menunjukkan keragaman
yang signifikan" di berbagai negara.
Maka, ada banyak cara
untuk menjadi orang yang tidak percaya, laporan itu menyimpulkan. Ini termasuk,
khususnya, status yang banyak dipasang di situs kencan "spiritual, tetapi
tidak religius". Seperti banyak klise, itu berakar pada kebenaran. Tapi
apa sebenarnya artinya?
Para dewa tua kembali
Pada tahun 2005, Linda
Woodhead menulis The Spiritual Revolution, di mana ia menggambarkan hasil
studi intensif tentang kepercayaan di kota Kendal di Inggris.
Woodhead dan rekan
penulisnya menemukan bahwa orang-orang dengan cepat berpaling dari agama yang
terorganisasi, yang menekankan pada kemampuan menyesuaikan diri pada hal-hal
yang sudah mapan, menuju praktik-praktik yang dirancang untuk menonjolkan dan
menumbuhkan pemahaman individu tentang siapa diri mereka.
Jika gereja-gereja
Kristen di kota itu tidak menerima perubahan ini, mereka menyimpulkan,
jemaat-jemaat akan menyusut menjadi tidak relevan sementara praktik-praktik
yang membimbing diri sendiri akan menjadi arus utama dalam sebuah
"revolusi spiritual".
Hari ini, menurut
Woodhead revolusi telah terjadi, dan bukan hanya di Kendal. Agama yang
terorganisasi semakin berkurang di Inggris, tanpa diketahui bagaimana akhirnya
nanti.
"Agama-agama akan
berjalan dengan baik, dan selalu berhasil, ketika mereka mampu meyakinkan
secara subyektif, ketika Anda memiliki perasaan bahwa Tuhan bekerja untuk
Anda," kata Woodhead, sekarang profesor sosiologi agama di University of
Lancaster di Inggris.
Dalam masyarakat yang
lebih miskin, Anda mungkin berdoa untuk keberuntungan atau pekerjaan yang
stabil.
"Injil
kemakmuran" adalah pusat beberapa gereja besar Amerika, yang jemaatnya
sering didominasi oleh jemaat yang tidak aman secara ekonomi. Tetapi jika
kebutuhan dasar Anda terpenuhi dengan baik, Anda cenderung mencari kepuasan dan
makna hidup.
Agama tradisional gagal
mewujudkan hal ini, khususnya ketika doktrin berbenturan dengan keyakinan moral
yang muncul dari masyarakat sekuler. Kesetaraan gender, contohnya.
Sebagai tanggapan,
orang-orang sudah mulai membangun kepercayaan pribadi mereka sendiri. Seperti
apa agama-agama mandiri ini? Salah satu pendekatan adalah sinkretisme,
pendekatan "ambil dan campur" yang menggabungkan tradisi dan praktik
yang sering dihasilkan dari percampuran budaya.
Banyak agama memiliki
unsur-unsur sinkretis, meskipun seiring waktu mereka berasimilasi dan menjadi
praktik biasa. Festival seperti Natal dan Paskah, misalnya, memiliki
unsur-unsur pagan kuno, sementara praktik sehari-hari bagi banyak orang di
China melibatkan campuran agama Buddha, Taoisme, dan Konfusianisme Mahayana.
Gabungan lebih mudah
dilihat dalam agama yang relatif muda, seperti Vodoun atau Rastafarianisme.
Alternatifnya adalah
merampingkan. Gerakan-gerakan keagamaan baru sering berusaha untuk melestarikan
prinsip inti agama yang lebih tua, sambil menanggalkan ornamen kuno yang
mungkin membuat sesak.
Di Barat, satu bentuk
yang diambil adalah ketika kaum humanis berusaha memperbaiki bentuk keagamaan.
Ada upaya untuk menulis ulang Alkitab tanpa unsur supranatural, menuntut
pembangunan "kuil-kuil ateis" yang didedikasikan untuk kontemplasi.
Dan "Sidang
Minggu" bertujuan untuk menciptakan kembali suasana pelayanan gereja yang
hidup tanpa merujuk kepada Allah. Tetapi tanpa akar-akar agama tradisional yang
dalam, mereka sulit bertahan: Majelis Minggu misalnya, setelah ekspansi awal
yang cepat, sekarang dilaporkan harus berupaya keras untuk mempertahankan
momentumnya.
Tetapi Woodhead
berpikir bahwa agama-agama yang mungkin muncul dari kekacauan saat ini akan
memiliki akar yang lebih dalam.
Generasi pertama
revolusi spiritual, yang dimulai pada 1960-an dan 1970-an, memiliki pandangan
optimistis dan universal, dengan senang hati mengambil inspirasi dari
agama-agama dari seluruh dunia. Namun cucu-cucu mereka yang tumbuh dalam dunia
yang penuh tekanan geopolitik dan kecemasan sosial ekonomi lebih cenderung
mengingat kembali masa lalu yang seharusnya lebih sederhana.
"Ada pergeseran
dari universalitas global ke identitas lokal," kata Woodhead. "Sangat
penting bahwa mereka adalah tuhan pribadinya, bukan sesuatu yang
dibuat-buat."
Dalam konteks Eropa,
ini memberikan panggung untuk kebangkitan minat pada paganisme. Menciptakan
kembali tradisi "pribumi" yang setengah terlupakan memungkinkan pengungkapan
kepedulian modern sambil mempertahankan semangat zaman.
Paganisme juga sering
menampilkan dewa-dewa yang lebih mirip kekuatan membaur daripada dewa-dewa
antropomorfik. Ini memungkinkan orang untuk fokus pada masalah-masalah yang
mereka pedulikan tanpa harus melakukan lompatan iman kepada dewa-dewa
supranatural.
Di Islandia, misalnya,
kepercayaan Ásatrú yang kecil tetapi tumbuh cepat, tidak memiliki doktrin
tertentu di luar perayaan di lingkup kebiasaan dan mitologi Norwegia Kuno,
tetapi aktif dalam masalah sosial dan ekologi.
Gerakan serupa ada di
Eropa, seperti Druidry di Inggris. Tidak semua cenderung liberal. Beberapa
termotivasi oleh keinginan untuk kembali ke apa yang mereka lihat sebagai
nilai-nilai "tradisional" yang konservatif. Dalam beberapa kasus, ini
berbenturan dengan validitas keyakinan yang bertentangan.
Seorang perempuan menari saat para druid dan pagan berkumpul di Stonehenge, Inggris. |
Ini adalah kegiatan
khusus saat ini, terkadang, ini soal bermain dengan simbolisme daripada latihan
spiritual yang tulus. Tetapi seiring berjalannya waktu, mereka dapat berkembang
menjadi sistem kepercayaan yang lebih tulus dan koheren.
Woodhead menunjuk pada
adopsi kasar Rodnovery (sebuah kepercayaan pagan yang konservatif dan
patriarkal yang didasarkan pada kepercayaan dan tradisi yang direkonstruksi dari
Slavia kuno) di bekas Uni Soviet sebagai potensi contoh dari hal-hal yang akan
datang.
Jadi mereka yang tidak
beragama ini kebanyakan tidak mewakili ateis, atau bahkan sekuler, tetapi
campuran "apatis". Mereka adalah orang-orang yang tidak peduli tentang
agama dan praktisi dari "agama tidak terorganisir".
Sementara agama-agama
dunia cenderung bertahan dan berevolusi untuk masa yang akan datang, di sisa
abad ini kita mungkin melihat berkembangnya agama-agama yang relatif kecil yang
membiak di antara kelompok-kelompok ini. Tetapi jika Tuhan yang Maha Besar dan
iman yang sama adalah kunci untuk kohesi sosial, apa yang mungkin terjadi tanpa
mereka?
Satu bangsa di bawah Mammon
Satu jawaban, tentu
saja, adalah bahwa kita akan terus melanjutkan hidup. Ekonomi yang luar biasa,
pemerintahan yang baik, pendidikan yang solid, dan aturan hukum yang efektif
dapat memastikan bahwa kita bergaul dengan bahagia tanpa kerangka keagamaan apa
pun. Dan memang, beberapa masyarakat sosial di mana jumlah orang yang tidak
percaya agama tinggi adalah masyarakat yang paling aman dan harmonis di dunia.
Namun, yang masih bisa
diperdebatkan adalah apakah mereka dapat menjadi tidak beragama karena mereka memiliki
lembaga sekuler yang kuat? Atau apakah menjadi sekuler yang telah membantu
mereka mencapai stabilitas sosial?
Para penganut agama
mengatakan bahwa lembaga sekuler pun memiliki akar keagamaan: sistem hukum
sipil, misalnya, menyusun gagasan tentang keadilan berdasarkan norma-norma
sosial yang ditetapkan oleh agama.
Orang-orang seperti
Ateis Baru, di sisi lain, berpendapat bahwa agama hanya sedikit berbeda dari
takhayul, dan meninggalkannya akan memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan
nasib mereka lebih efektif.
Connor Wood tidak
begitu yakin. Dia berpendapat bahwa masyarakat yang kuat dan stabil seperti
Swedia sangat kompleks dan sangat mahal untuk dijalankan terkait dalam hal
tenaga kerja, dana dan energi. Itu mungkin tidak berkelanjutan bahkan dalam
jangka pendek.
"Saya pikir cukup
jelas bahwa kita memasuki periode perubahan non-linear dalam sistem
sosial," katanya. "Konsensus Barat tentang kombinasi kapitalisme
pasar dan demokrasi tidak dapat diterima begitu saja."
Itu masalah, karena
kombinasi itu secara radikal mengubah lingkungan sosial dari lingkungan di mana
agama-agama dunia berevolusi, dan sampai batas tertentu menggantikannya.
"Saya akan
berhati-hati menyebut kapitalisme sebagai agama, tetapi banyak lembaganya
memiliki unsur-unsur agama, seperti dalam semua bidang kehidupan kelembagaan
manusia," kata Wood. "'Tangan yang tak terlihat' dari pasar hampir
tampak seperti entitas supernatural."
Pastor Katolik memimpin misa pada hari pertama perdagangan saham di Bursa Efek Filipina di Manila. |
Pertukaran keuangan, di
mana orang bertemu untuk melakukan aktivitas perdagangan yang sangat ritual,
tampak seperti kuil bagi Mammon juga. Faktanya, agama-agama, bahkan yang mati,
dapat memberikan metafora yang sangat sesuai untuk banyak fitur kehidupan
modern yang lebih sulit.
Tatanan sosial
pseudo-religius mungkin bekerja dengan baik ketika kondisi sedang baik. Tetapi
ketika kontrak sosial menjadi tekanan, melalui politik identitas, perang budaya
atau ketidakstabilan ekonomi, konsekuensinya adalah apa yang kita lihat hari
ini: bangkitnya kaum otoriter di negara demi negara.
Dia mengutip penelitian
yang menunjukkan bahwa orang mengabaikan gejala otoritarian sampai mereka
merasakan kemunduran norma sosial.
"Ini adalah hewan
manusia yang melihat-lihat dan berkata kita berbeda pendapat tentang bagaimana
kita harus berperilaku," kata Wood. "Dan kita perlu otoritas untuk
memberi tahu kita."
Ini memberi kesan bahwa
orang yang kuat secara politik sering kali berpasangan dengan fundamentalis
agama: misalnya, nasionalis Hindu di India, atau evangelikal Kristen di AS. Itu
adalah kombinasi yang kuat untuk orang-orang beriman dan mengganggu bagi kaum
sekuler: dapatkah ada yang menjembatani celah di antara mereka?
Pikirkan celahnya
Mungkin salah satu
agama besar mengubah bentuknya agar dapat memenangkan kembali perhatian orang
yang tidak beriman dalam jumlah yang signifikan.
Ada preseden untuk ini:
pada 1700-an, saat Kekristenan sedang sakit di AS, seorang pengembara berhasil
menghidupkan kembali iman dan menetapkan patokan selama berabad-abad kemudian:
sebuah peristiwa yang disebut "Kebangkitan Besar".
Kesamaannya dengan saat
ini mudah untuk digambarkan, tetapi Woodhead skeptis bahwa agama Kristen atau
agama-agama dunia lainnya dapat mengembalikan apa yang sudah mereka hilangkan,
dalam jangka panjang. Setelah menjadi pendiri perpustakaan dan universitas,
mereka tidak lagi menjadi sponsor utama pemikiran intelektual.
Perubahan sosial
merongrong agama-agama yang tidak mengakomodasinya. Awal tahun ini, Paus
Francis memperingatkan bahwa jika Gereja Katolik tidak mengakui sejarah
dominasi pria dan pelecehan seksual, mereka berisiko menjadi
"museum". Kecenderungan mereka mengklaim bahwa kita duduk di puncak
penciptaan, dirusak oleh perasaan bahwa manusia tidak begitu signifikan dalam
skema besar keberadaan.
Mungkinkah agama baru
akan muncul untuk mengisi kekosongan?
Sekali lagi, Woodhead
skeptis. "Secara historis, apa yang membuat agama naik atau turun adalah
dukungan politik," katanya, "dan semua agama bersifat sementara
kecuali mereka mendapat dukungan kekaisaran."
Zoroastrianisme
mendapat manfaat dari adopsi oleh dinasti Persia berturut-turut; titik balik
bagi Kekristenan datang ketika diadopsi oleh Kekaisaran Romawi. Di Barat
sekuler, dukungan seperti itu tidak mungkin akan datang, dengan kemungkinan
pengecualian dari AS. Sebaliknya, di Rusia, nuansa nasionalistik dari Rodnovery
dan gereja Ortodoks membuat mereka mendapat dukungan politis.
Tapi hari ini, ada
sumber dukungan lain yang mungkin: internet.
Pergerakan online
mendapatkan pengikut dengan kecepatan yang tak terbayangkan di masa lalu.
Mantra Silicon Valley "bergerak cepat dan hancurkan" telah menjadi
kebenaran yang terbukti dengan sendirinya bagi banyak pencinta teknologi dan
orang kaya.
#MeToo dimulai sebagai
tagar yang mengekspresikan kemarahan dan solidaritas, tetapi sekarang berarti
perubahan nyata pada norma sosial lama. Perubahan radikal muncul sebagai sikap
terhadap krisis perubahan iklim dan keanekaragaman hayati.
Tak satu pun dari ini
adalah agama, tentu saja, tetapi mereka berbagi kesamaan dengan sistem
kepercayaan yang baru lahir, khususnya bahwa tujuan fungsionalis utama untuk
menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesamaan tujuan.
Beberapa juga memiliki
unsur pengakuan dan pengorbanan. Jadi, mengingat waktu dan motivasi, dapatkah
sesuatu yang lebih eksplisit religius tumbuh dari komunitas online? Bentuk-bentuk
agama baru apa yang mungkin muncul oleh "mahkamah-mahkamah" online
ini?
Kami sudah punya
beberapa ide.
Deus ex machina
Beberapa tahun yang
lalu, anggota situs komunitas "Rasionalis" yang mendeklarasikan diri
sendiri, LessWrong mulai membahas eksperimen pemikiran tentang mesin mahakuasa,
super-cerdas, dengan banyak kualitas dewa dan sifat pembalasan dendam dari
Perjanjian Lama.
Mesin itu disebut
Roko's Basilisk. Bentuk utuhnya adalah puzzle logika yang rumit, tetapi kasar,
yang berlanjut dengan munculnya kecerdasan super yang baik, yang ingin
melakukan sebanyak mungkin kebaikan. Makin cepat ia muncul, semakin baik hal
itu dapat terjadi.
Jadi untuk mendorong
semua orang melakukan segala yang mungkin dilakukan untuk mewujudkannya, ia
akan secara terus-menerus dan berkelanjutan menyiksa orang-orang yang tidak
mewujudkannya, termasuk siapa pun yang mempelajari potensi keberadaannya. (Jika
ini adalah yang pertama kali Anda mendengarnya: maaf!)
Akankah ada yang bisa membangun mesin super yang suatu hari akan menjawab segalanya? |
Meskipun tampak aneh,
Basilika Roko menimbulkan kegemparan ketika pertama kali dikemukakan di
LessWrong. Sampai membuat diskusi tentang itu dilarang oleh pembuat situs.
Bisa ditebak, ide ini
hanya meledak di internet, atau setidaknya di kalangan para geek, dengan
referensi ke Basilisk bermunculan di mana-mana dari situs berita ke Doctor Who,
meskipun ada protes dari beberapa Rasionalis bahwa tidak ada yang benar-benar menganggapnya
serius.
Kasus mereka tidak
terbantu oleh fakta bahwa banyak rasionalis sangat berkomitmen pada ide-ide
mengejutkan lainnya tentang kecerdasan buatan, mulai dari AI yang menghancurkan
dunia secara tidak sengaja hingga hibrida mesin-manusia yang akan melampaui
semua keterbatasan manusia.
Keyakinan esoteris
semacam itu telah muncul sepanjang sejarah, tetapi kemudahan membangun
komunitas di sekitar kita adalah hal baru. "Kita selalu memiliki
bentuk-bentuk baru religiusitas, tetapi tidak selalu memiliki ruang yang
memungkinkan bagi mereka," kata Beth Singler, yang mempelajari implikasi
sosial, filosofis dan keagamaan AI di University of Cambridge.
"Pergi ke
alun-alun kota abad pertengahan dan meneriakkan kepercayaan Anda yang tidak
ortodoks akan membuat Anda dicap sebagai murtad, tanpa memperoleh satu pun
pengikut."
Mekanismenya mungkin
baru, tetapi pesannya tidak. Argumen Basilisk memiliki semangat yang sama
dengan Taruhan Pascal. Ahli matematika Prancis abad ke-17 yang menyarankan
orang tidak beriman untuk mengikuti gerakan ketaatan beragama. Kalau-kalau
Tuhan yang pendendam ternyata ada.
Gagasan hukuman sebagai
keharusan untuk bekerja sama mengingatkan pada "Dewa Besar"
Norenzayan. Dan argumen tentang cara untuk menghindari tatapan Basilisk sama
berbelit-belitnya dengan upaya abad pertengahan Scholastics untuk menyamakan
kebebasan manusia dengan pengawasan ilahi.
Bahkan jebakan
teknologi bukan hal baru. Pada tahun 1954, Fredric Brown menulis cerita
(sangat) pendek yang disebut "Jawab", di mana superkomputer sebesar
galaksi dinyalakan dan ditanya: apakah ada Tuhan? Sekarang ada, jawabnya.
Dan beberapa orang,
seperti pengusaha AI Anthony Levandowski, berpikir bahwa tujuan suci mereka
adalah untuk membangun mesin super yang suatu hari akan menjawab segalanya.
Levandowski, yang membuat kekayaan melalui mobil self-driving, menjadi
berita utama pada tahun 2017 ketika ia mendirikan gereja.
Way of the Future
didedikasikan untuk membawa transisi damai ke dunia yang sebagian besar
dijalankan oleh mesin super-cerdas.
Sementara visinya
kedengaran lebih baik daripada Basilika Roko, kredo gereja masih mencakup
garis-garis yang tidak menyenangkan: "Kami percaya mungkin penting bagi
mesin untuk melihat siapa yang ramah pada tujuan mereka dan siapa yang tidak.
Kami berencana untuk melakukannya dengan melacak siapa yang telah melakukan apa
(dan untuk berapa lama) untuk membantu transisi yang damai dan penuh rasa
hormat. "
"Ada banyak cara
orang berpikir tentang Tuhan, dan ribuan cabang Kristen, Yudaisme, Islam,"
kata Levandowski kepada Wired. "Tetapi mereka selalu melihat sesuatu yang
tidak dapat diukur atau Anda tidak dapat benar-benar melihat atau mengontrol.
Kali ini berbeda. Kali ini Anda akan dapat berbicara dengan Tuhan, secara
harfiah, dan tahu bahwa ia mendengarkan. "
Realitas yang mengigit
Levandowski tidak
sendirian. Dalam bukunya yang terlaris, Homo Deus, Yuval Noah Harari
berpendapat bahwa dasar-dasar peradaban modern sedang terkikis di hadapan agama
yang baru muncul yang disebutnya "dataisme".
Dengan menyerahkan diri
pada arus informasi, kita dapat mengatasi keprihatinan duniawi kita. Gerakan
keagamaan transhumanis pemula lainnya berfokus pada keabadian: putaran baru
pada janji kehidupan abadi. Yang lain bersekutu dengan agama yang lebih tua,
terutama Mormonisme.
Apakah gerakan ini
nyata? Beberapa kelompok sedang melakukan "peretasan" agama untuk
mendapatkan dukungan pada ide-ide transhumanis, kata Singler.
"Unreligions"
berusaha untuk menghilangkan struktur yang seharusnya tidak populer atau
doktrin irasional agama konvensional, dan mungkin menarik bagi yang tidak
beragama.
Gereja Turing, yang
didirikan pada tahun 2011, memiliki berbagai prinsip kosmik.
"Kami akan pergi
ke bintang-bintang dan menemukan tuan, membuat Tuhan, menjadi Tuhan, dan
membangkitkan orang mati". Tetapi tidak ada hierarki, ritual atau
aktivitas terlarang dan hanya ada satu etika saja, pepatah: "Cobalah untuk
bertindak dengan cinta dan kasih sayang terhadap makhluk hidup lainnya."
Tetapi seperti yang
diketahui oleh agama-agama misionaris, apa yang bermula sebagai godaan atau
keingintahuan kosong dapat berakhir dengan pencarian yang tulus akan kebenaran.
Sensus Inggris tahun
2001 menemukan bahwa Jediisme, keyakinan fiksi yang dianut oleh para protagonis
di Star Wars, adalah agama terbesar keempat. Hampir 400.000 orang telah
terinspirasi untuk menganutnya, berawat dari kampanye online yang dilakukan
secara sambil lalu.
Sepuluh tahun kemudian,
ia menempati posisi ketujuh, menyebabkan banyak orang menganggapnya sebagai
lelucon. Tetapi seperti yang Singler catat, jumlah itu termasuk banyak dan
bertahan jauh lebih lama dari kebanyakan kampanye viral lain.
Beberapa cabang
Jediisme tetap dianggap lucu-lucuan, tetapi yang lain menganggap diri mereka
lebih serius. Kuil Ordo Jedi mengklaim anggotanya adalah "orang-orang
nyata yang hidup atau menjalani kehidupan mereka sesuai dengan prinsip-prinsip
Jediisme". Kuil ini terinspirasi oleh fiksi, tetapi berdasarkan filosofi
kehidupan nyata yang menyertainya.
Gereja menggunakan kostum jedi di Jerman. |
Dengan angka-angka
semacam itu, Jediisme "seharusnya" telah diakui sebagai agama di
Inggris. Tetapi pejabat yang tampaknya menganggap itu bukan jawaban serius saat
sensus, tidak mencatatnya. "Banyak yang diukur dengan tradisi agama
Anglophone Barat," kata Singler.
Scientology dilarang
diakui sebagai agama selama bertahun-tahun di Inggris karena tidak memiliki
Sang Maha Besar, sesuatu yang juga bisa dikatakan tentang agama Buddha.
Faktanya, pengakuan
adalah masalah yang kompleks di seluruh dunia, terutama karena tidak ada
definisi agama yang diterima secara luas bahkan di kalangan akademis.
Komunis Vietnam,
misalnya, secara resmi ateis dan sering disebut sebagai salah satu negara
paling tidak beragama di dunia. Tetapi para skeptis mengatakan ini hanya karena
survei resmi tidak mencatat sebagian besar penduduk yang mempraktikkan agama
rakyat.
Di sisi lain, pengakuan
resmi Ásatrú, kepercayaan pagan Islandia, berarti ia berhak mendapatkan uang
dari "pajak iman". Sebagai hasilnya, mereka membangun kuil
penyembahan berhala pertama di negara itu selama hampir 1.000 tahun.
Skeptisisme tentang
motif praktisi menghambat banyak gerakan baru untuk diakui sebagai agama asli,
baik oleh pejabat resmi atau oleh masyarakat luas. Tetapi pada akhirnya
pertanyaan tentang keikhlasan adalah sesuatu yang mengecoh.
Singler mengatakan: "Setiap kali seseorang memberi tahu Anda pandangan dunia mereka, Anda harus menganggapnya nilai nominal". Tes asam, yang juga berlaku untuk neopagans maupun transhumanis, adalah apakah orang membuat perubahan signifikan pada kehidupan mereka sesuai dengan keyakinan mereka.
Dan perubahan seperti
itulah yang diinginkan oleh pendiri beberapa gerakan keagamaan baru. Status
resmi tidak relevan jika Anda dapat memperoleh ribuan atau bahkan jutaan
pengikut untuk tujuan Anda.
Pertimbangkan
"Saksi-Saksi Klimatologi", agama pemula yang diciptakan untuk
menumbuhkan komitmen yang lebih besar untuk bertindak terhadap perubahan iklim.
Pendirinya, Olya Irzak,
menghabiskan satu dekade mencari solusi teknik untuk perubahan iklim, sampai
pada kesimpulan bahwa masalah sebenarnya bukan solusi teknis, tetapi dalam
memenangkan dukungan sosial.
Jadi tiga tahun lalu,
Irzak dan beberapa teman mulai membangun satu agama. Mereka tidak melihat
adanya kebutuhan untuk membawa Tuhan ke dalamnya. Irzak dibesarkan sebagai
seorang ateis, tetapi mulai menjalankan "layanan" reguler, termasuk
perkenalan, sebuah khotbah yang menyuarakan kedahsyatan alam dan pendidikan
tentang aspek lingkungan.
Gereja Rusia di Antartika |
Secara berkala mereka
memasukkan ritual, terutama pada hari libur tradisional. Pada Reverse
Christmas, Saksi-Saksi menanam pohon alih-alih menebangnya; pada Hari
Peringatan Gletser, mereka menyaksikan balok-balok es mencair di matahari
California.
Seperti yang
dicontohkan oleh contoh-contoh ini, Saksi-Saksi Klimatologi memiliki perasaan
parodik terhadap hal itu. Hati yang ringan membantu para pemula mengatasi
setiap kecanggungan awal, tetapi niat mendasar Irzak cukup serius.
"Kami berharap
orang-orang mendapatkan nilai nyata dari ini dan didorong untuk bekerja
menghadapi perubahan iklim," katanya, bukannya putus asa tentang keadaan
dunia.
Jumlah jemaat beberapa
ratus, tetapi Irzak, sebagai insinyur yang baik, berkomitmen untuk menguji
cara-cara untuk meningkatkan jumlah itu. Antara lain, ia mempertimbangkan
Sekolah Minggu untuk mengajar anak-anak cara berpikir tentang cara kerja sistem
yang kompleks.
Baru-baru ini,
Saksi-Saksi telah mencari lebih jauh, termasuk ke upacara yang diadakan di
Timur Tengah dan Asia tengah sebelum equinox musim semi: pemurnian dengan
melemparkan sesuatu yang tidak diinginkan ke dalam api dan kemudian
melompatinya.
Sebagai upaya untuk
membersihkan dunia dari penyakit lingkungan, itu terbukti sebagai tambahan yang
populer untuk liturgi. Ini mungkin telah diperkirakan, karena telah
dipraktikkan selama ribuan tahun sebagai bagian dari Nowruz, Tahun Baru Iran,
yang asal-usulnya sebagian berasal dari Zoroaster.
Transhumanisme,
Jediisme, Saksi-Saksi Klimatologi, dan segudang gerakan keagamaan baru lainnya
mungkin tidak pernah berarti banyak. Tetapi mungkin hal yang sama dapat
dikatakan untuk kelompok-kelompok kecil orang percaya yang berkumpul di sekitar
api suci di Iran kuno, tiga ribu tahun yang lalu.
Kepercayaan yang baru
tumbuh itu menjadi salah satu agama terbesar, paling kuat dan abadi yang pernah
ada di dunia, dan yang masih menginspirasi orang saat ini.
Mungkin agama tidak
pernah benar-benar mati. Mungkin agama-agama yang menjangkau dunia saat ini
kurang tahan lama dari yang kita kira. Dan mungkin iman besar berikutnya baru
saja dimulai.
Versi
asli tulisan ini dalam bahasa Inggris bisa Anda baca di What
is the future of religion di laman BBC Future