Lukisan "agora". Agora adalah arena yang berada di pasar dalam kota (polis) Yunani kuno. Agora merupakan arena debat dan pembahasan kebijakan politik yang melibatkan masyarakat. (Net) |
Peristiwa itu sebenarnya berkelindan dengan rentetan
sejarah kaum muda dalam pentas politik pada era-era sebelumnya. Epos pemuda
setidaknya bermula pada kongres pemuda yang menghasilkan “trimurti” identitas
politik kebangsaan tahun 1928, tepat dua tahun sejak kolonial Belanda membuang
“tokoh-tokoh tua” pergerakan kemerdekaan ke Digul dan luar negeri.
Kaum muda pula yang menginisiasi “penculikan”
Soekarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok, sehingga disepakati Indonesia
harus merdeka tanpa terlebih dulu mendapat persetujuan Jepang atau pihak
sekutu. Pertalian kisah itu berlanjut pada tahun 1966, ketika gerakan kaum muda
terpelajar (mahasiswa) menuntut pembaruan politik dan ekonomi.
Trah politik pemuda terus menitis tanpa putus dalam
tiga dekade berikutnya, dan memuncak pada gerakan mahasiswa tahun 1998. Kala
itu, tak peduli pakaian yang lusuh, kulit menghitam terbakar matahari, atau
lontaran gas air mata, kaum muda tetap bersetia menantang kalam-kalam sakral
penguasa dengan satu tujuan: rezim Orde Baru (Orba) harus runtuh.
Impian kaum muda tersebut lantas menjadi kenyataan.
Rezim Soeharto yang sudah 32 tahun berkuasa, ambruk. Peristiwa itu kemudian
disambung dengan episode kebebasan politik dan berekspresi, yang sebelumnya
menjadi “barang mahal”.
Terhitung sejak 1998 sampai 2021, wiracarita kaum
muda tersebut sudah dua puluh tiga tahun berlalu. Transisi dari rezim
otoriterian ke demokratis dinilai banyak kalangan sudah sukses melalui empat
kali pemilihan umum yang dianggap mampu mengejawantahkan prinsip demokrasi.
Namun tak bisa dipungkiri, saga para pemuda tersebut
kekinian tampak hanya sebagai totem yang beku. Sekadar babad yang diceritakan
“para senior” kepada para ABG yang baru masuk bangku perkuliahan. Karenanya,
setelah seluruh gelombang pasang reformasi itu menjadi buih-buih, tersisa satu
pertanyaan yang mengusik: kemanakah perginya “giroh” kaum muda tersebut?
Pengulangan
Sejarah “Thermidorian” Pemuda
Hegel,
filsuf tersohor Jerman, pernah memberikan nasihat terkait pola “ceteris paribus” atau faktor-faktor
konstan dalam sejarah. Menurutnya, kenyataan-kenyataan yang sangat penting
dalam sejarah dunia, seakan-akan terjadi dua kali. Nasihat Hegel ini—percaya
atau tidak—juga terjadi dalam sejarah anak muda Indonesia dalam pentas politik.
Setidaknya, kebenaran diktum itu bisa ditelusuri
sejak pemuda terlibat dalam gerakan mahasiswa tahun 1966. Pascahuru-hara
mereda, tak sedikit kaum muda yang terlibat aktif membangun rezim Orba. Namun,
hasilnya bisa dilihat, periode tersebut disesaki segala kemalangan masyarakat.
Situasi ini pula yang membuat seorang Soe Hok Gie, eksponen gerakan mahasiswa
’66, kecewa berat terhadap sohib-sohibnya yang terlibat dalam pemerintahan
Soeharto.
Dalam kadar tertentu, hal yang sama juga terjadi
setelah gelombang reformasi 1998 mengalami arus balik. Tak sedikit kaum muda
yang terlibat reformasi memutuskan untuk tetap terjun dalam pentas politik
dengan tujuan terus mengawal proses demokratisasi. Tapi—suka tidak suka, setuju
atau tidak—kiprah mereka tak lagi seheroik dulu.
Bahkan, jejak langkahnya cenderung tak terlihat
dalam arena pertarungan politik, persis saat demokrasi dan kepentingan
masyarakat berada dalam bahaya. Alhasil terdapat ironi, yakni ketika alumnus
gerakan pemuda ‘98 banyak yang terjun ke ranah politik, praktik politik
transaksional, patgulipat keuangan negara, atau aksi intoleran justru semakin
tumbuh kembang di tengah masyarakat.
Sebenarnya, persoalan ini tidak khas pemuda
Indonesia. Pemuda mahasiswa Perancis eksponen gerakan tahun 1968 yang tersohor
itu misalnya, juga berakhir seperti kasus Indonesia. Sebab, tak sedikit
eksponen “soixante-huitards” Perancis menjadi politikus ataupun
pemikir yang kini justru membenarkan kebijakan neoliberal di negara tersebut.
Alain Badiou (profesor matematika cum filsafat yang juga eksponen
gerakan ‘68) bahkan memopulerkan kembali istilah “Thermidorian” untuk merujuk
perubahan sikap politik rekan-rekannya tersebut. Thermidorian secara etimologis
berasal dari kata “Thermidor”, yakni nama bulan untuk rentang pertengahan Juli
sampai pertengahan Agustus dalam kalender Perancis setelah revolusi 1789.
Pada masa itu, istilah thermidorian dipakai untuk menandai masa “moderasi” atau
pengkhianatan para politikus terhadap program pembaruan sosial dan politik
Perancis setelah Robespierre, kepala pemerintahan de facto Perancis,
dieksekusi mati.
Lantas, kenapa sejarah buram moderasi pemuda dalam
panggung politik tersebut kembali terulang? Setidaknya, untuk kasus Indonesia,
terdapat dua penyebab. Pertama, tipologi partai politik (parpol)
yang justru membendung “giroh” progresifitas pemuda. Kedua, paradigma
pemuda yang masih terjebak dalam genangan ingatan kolektif mengenai “dongeng kepahlawanan”
ala masa kanak-kanak.
Sistem kepartaian di Indonesia memang mengalami
perubahan drastis pada era reformasi. Tak hanya soal kuantitas, tapi juga dalam
kualitasnya. Kekinian, dari beragam parpol, terdapat dua tipologi besar yang
teridentifikasi: (1) tipe mesin politik (machinery party); dan, (2) klientalistik.
Parpol yang beroperasi sebagai mesin politik, bisa
dikatakan sebagai wujud kanal politik modern. Parpol seperti ini cenderung
“cair” dalam prinsip dasar maupun program perjuangannya. Mereka tak lagi
mendasarkan setiap aktivitas politiknya pada suatu identitas atau ideologi
tertentu, sehingga mampu merangkul banyak kalangan—termasuk pemuda.
Meski tak diikat dengan identitas atau ideologi
tertentu, politikus yang tergabung di dalamnya mampu disatukan dan digerakkan
melalui sistem material reward (penghargaan). Kader-kader yang dianggap
berprestasi, bakal mendapat penghargaan berupa kedudukan politik seperti masuk
struktur inti partai, legislator, atau ditempatkan pada ranah pemerintahan
eksekutif. Selain itu, juga bukan lagi rahasia bahwa beragam “proyek” menanti
sebagai reward bagi kader yang bisa mengumpulkan banyak suara untuk memenangkan
partainya di pemilu.
Tipologi parpol sebagai mesin politik memang
cenderung tak lagi mempersoalkan “senioritas”. Para pemuda dimungkinkan berada
dalam jajaran “top leader”. Tapi persoalannya, parpol seperti ini justru
menegasikan “giroh” pemuda yang rata-rata memiliki idealisme berupa tujuan atau
ideologi politiknya sendiri.
Alhasil, gairah mereka untuk berpolitik berakhir
pada kekecewaan, terjakit pesimisme total, dan terperangkap dalam sikap
apolitis. Jika tetap memaksakan diri, sangat terbuka pintu “pragmatisme total”,
sehingga pemuda yang berpolitik hanya bertujuan mengejar material reward atau
“cari makan”.
Sementara parpol bertipe klientalistik merupakan
kebalikan dari tipologi mesin politik. Parpol klientalis selalu
mengidentifikasikan dirinya kepada suatu identitas atau ideologi yang memiliki
cita-cita politik luhur—kecenderungannya adalah populisme.
Namun, masalahnya, kaum muda kesulitan untuk berada
dalam tampuk kepemimpinan internal yang diisi oleh patron-patron tua. “Belum
matang secara ideologi”, atau “belum teruji kesetiaannya terhadap cita-cita
partai”, biasanya menjadi alasan justifikasi penundaan reorganisasi atau
peremajaan struktur pemimpin partai.
Alhasil, politikus-politikus muda hanya memiliki dua
pilihan dalam parpol klientalis: (1) menjadi “klien-klien” dari
politikus-politikus patron, sehingga tak memiliki kebebasan untuk mempraktikkan
tujuan politik mereka; atau (2) membuat faksi-faksi dalam partai, tapi sebatas
sempalan yang tak memiliki kekuatan dalam kebijakan politik. Konsekuensinya,
waktu dan energi para pemuda dihabiskan untuk “internal struggle” partai—dan
lagi-lagi, mengorbankan idealitas politik mereka untuk masyarakat.
Membunuh Dongeng
Masa kecil
Kekecewaan-kekecewaan pemuda terhadap situasi
politik yang hanya menyediakan ruang kecil untuk berekspresi, juga memiliki
ekses terhadap tipologi moralitas mereka. Para pemuda kekinian—baik yang tetap
berpolitik ataupun apolitis—terjerembab dalam keterpikatan terhadap kegagahan
tokoh-tokoh besar yang diharapkan mau menjadi pemimpin mereka. Persis seperti
anak kecil yang terpikat karena terpesona oleh “orang-orang hebat”.
Keterpikatan terhadap sosok-sosok yang dianggap
sebagai “pahlawan pribadi”, sebenarnya bukanlah suatu sikap buruk dalam dunia
politik. Namun, yang perlu dikhawatirkan adalah kegemaran tersebut justru
mematikan rasio politik. Kematian rasio politik itu seringkali terjadi dalam
politik praktis.
Misalnya, mendukung politikus, calon gubernur,
bupati, legislator, atau presiden, tanpa berbasiskan pada penilaian objektif
terhadap program-program yang diperjuangkannya. Alasannya untuk mendukung
hanyalah seseorang itu dianggap seperti pahlawan idolanya, entah Soekarno,
Mohammad Hatta, atau Sutan Syahrir.
Tapi, akibat paling buruk saat pemuda belum beranjak
dari dongeng masa kecil itu adalah, mereka tak lagi percaya pada
potensialitas dirinya sendiri. Pemuda justru terus melanggengkan budaya politik
feodal: “kaum muda belum saatnya menjadi aktor utama dalam panggung politik.”
Jika hal ini terus terjadi, sejarah panjang perjalanan pemuda dalam politik
Indonesia akan tamat.
Pembacaan atas realitas politik seperti ini seakan
menimbulkan simtom ketertutupan dunia politik bagi pemuda. Lantas, apakah tak
lagi ada kemungkinan bagi pemuda untuk memiliki peran penting dalam
politik? Peran itu masih ada. Tapi peran pemuda itu harus dimaknai bukan lagi
sebagai “pengikut” yang notabene tak merombak karut-marut panggung politik.
Kata kunci agar pemuda tidak terjebak dalam labirin
politik yang menyesatkan adalah, melakukan destruksi terhadap paradigma lama
tentang politik dan juga parpol.
Destruksi terhadap paradigma lama tentang pemuda dan
politik bisa diartikulasikan sebagai upaya untuk tidak lagi terjebak
dalam”dongeng masa kecil” yang terbukti justru mematikan rasio politik. Pendek
kata, tidak lagi menjadi seorang peniru amatiran. Destruksi ini bisa dilakukan
jika para pemuda mau sebentar saja menyesapi “nasihat” Nietszche, filsuf besar
Jerman, terhadap orang-orang yang ingin menjadi muridnya.
“Vademecum—vadetekum”, tulis Nietzsche dalam satu aforismenya di “The Gay Science” (1888). Aforisme
itu lebih kurang berarti “jika kau ingin meniru/menghayati ajaranku, maka kau
harus berpedoman pada dirimu sendiri.” Dengan kata lain, untuk menjadi
seorang politikus seperti Bung karno, Hatta, atau Syahrir, misalnya, para
pemuda tak perlu menjadikan ajaran ketiga tokoh itu seperti dogma. Tak juga
perlu mencari-cari sosok lain yang dianggap sama seperti orang-orang besar itu,
melainkan mendidik diri agar sama atau mendekati kebesaran tokoh-tokoh
tersebut.
Para pemuda justru harus bersetia pada idealisme
politiknya sendiri, karena hal seperti itulah yang juga dilakukan para
tokoh-tokoh besar dahulu. Bagaimana caranya? Merujuk pada kritik mengenai
parpol tadi, maka membangun organisasi ataupun 'ruang' lain yang mencerminkan
idealisme pemuda menjadi jalan terbaik.
Membangun 'ruang' yang mampu mengeliminasi ekses
tipologi mesin politik dan juga klientalistik terhadap kebebasan politik para
pemuda. Dengan kata lain, pemuda harus membangun dan membiasakan diri terhadap
tradisi partai yang mengembalikan politik ke khitahnya seperti era Yunani
arkais, yakni sebagai “agora” atau arena perjuangan kebaikan bersama.
reza gunadha
facebook | instagram | twitter
Orang biasa yang ingin menandai hari-hari dengan guratan catatan kaki dari narasi-narasi besar.