Aktivis menghancurkan patung Presiden Filipina Rodrigo Duterte, tengah, bersama putrinya walikota Davao, Sara, kanan, dan Ferdinand 'Bongbong' Marcos Jr., putra mendiang diktator. (Foto: AP) |
Demonstrasi itu digelar beberapa bulan sebelum
penyelenggaraan pemilihan presiden di mana putra mantan diktator itu
difavoritkan untuk menang.
Polisi di negara berpenduduk mayoritas Katolik itu
mengatakan sekitar 1.100 pengunjuk rasa, kebanyakan anak muda, berkumpul di
sebuah jalan raya
di Manila, di lokasi yang sama di mana jutaan orang berkumpul 36 tahun lalu
untuk mengakhiri pemerintahan dua dekade Ferdinand Marcos.
"Bawa kembali hasil curiannya, bukan
pencurinya," teriak mereka sambil mengangkat poster bertuliskan
"Tidak untuk Marcos-Duterte 2022". Ferdinand "Bongbong"
Marcos Junior mencalonkan diri bersama calon wakil presiden Sara Duterte, putri
Presiden Rodrigo Duterte.
Marcos Junior, 64 tahun, telah berusaha untuk
menjauhkan wacana publik dari penyiksaan, pembunuhan, dan penggelapan dana
negara yang terjadi di bawah pemerintahan ayahnya. Kampanyenya berfokus pada
kebutuhan rakyat Filipina untuk keluar dari pandemi virus corona.
Epifanio de los Santos Avenue, sebuah jalan raya di
Manila, adalah tempat berlangsungnya protes jalanan damai selama empat hari
pada 1986 setelah Ferdinand Marcos dituduh mencuri suara dari saingannya Corazon
Aquino dalam pemilihan presiden.
Para uskup Katolik pada saat itu mengumpulkan jutaan
orang untuk melindungi sekelompok kecil pemberontak militer yang bersembunyi di
sebuah pangkalan militer setelah Marcos mengungkap upaya kudeta mereka. Aksi
protes itu pada akhirnya memaksa keluarga Marcos mengasingkan diri ke Amerika
Serikat (AS).
"Kami tidak ingin masa kepresidenan Marcos
terulang kembali, karena keluarga Marcos terbukti korup," kata Jandeil
Roperos, 25, salah seorang pemrotes, kepada Kantor Berita AFP.
Pada Jumat, 25 Februari 2022, para uskup kembali
berada di garis depan gerakan anti-Marcos.
Dalam sebuah surat pastoral, Konferensi Waligereja
Filipina mengatakan adalah tugas pemilih untuk menolak "revisionisme
historis" yang mereka katakan berusaha menutupi pelanggaran yang dilakukan
di bawah kepemimpinan Ferdinand Marcos (ab/uh)/AFP/voaindonesia.com. []