Buku
puisi Nyanyian Akar Rumput (2014)
adalah buku yang menghimpun kumpulan lengkap puisi Thukul sejak pertama hingga
terakhir yang diterbitkan oleh Majalah
Tempo (2013) yang berjudul Para Jenderal Marah-Marah. Buku ini
sekaligus sebagai penanda bahwa suara Thukul masih tetap didengar dan
didendangkan. Asean Literary
Festival (2014) mengangkat Thukul dan Nyanyian Akar Rumput sebagai tema utama. Apa yang diserukan
Thukul, layak diapresiasi dan diangkat dalam kesusasteraan kitadan dunia.
Sebagaimana karya-karya Pramoedya yang jujur dan mengangkat tema-tema
kemanusiaaan, karya Widji Thukul adalah suara-suara kemanusiaan yang tak patut
dibungkam. Puisi-puisi Widji Thukul menunjukkan bahwa suara akar rumput (kaum
bawah) adalah suara yang layak didengarkan dan diperhitungkan. Lebih dari itu,
Widji Thukul justru mengangkat tema-tema yang sebenarnya jarang diangkat oleh
penyair-penyair di masanya. Puisi Widji Thukul
menunjukkan kepada kita bahwa seorang penyair mesti menangkap dan memperhatikan
gejala dan fenomena di sekitarnya, merenungkan dan menyuarakan melalui
puisi-puisinya. Bagi Thukul berpuisi adalah berfihak. Ini jelas terlihat pada
sajak-sajaknya. Ia mengatakan dalam salah satu puisinya : jika kau
menghamba pada ketakutan/kita memperpanjang barisan perbudakan. Thukul melalui
buku Nyanyian Akar Rumput (2014) ini menjelaskan bagaimana
kehidupan keluarganya, kehidupan lingkungannya, kemiskinan yang dideranya,
nasibnya sebagai buruh. Kemarahan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan penguasa
yang berefek bagi buruknya nasibnya. Semua itu ia luapkan pada puisi-puisinya.
Buku
Puisi Widji Thukul Nyanyian
Akar Rumput (2014) adalah wujud dan bukti bahwa kesusasteraan
melampaui bidang-bidang yang lain. Ia melampaui persoalan ekonomi, politik,
sosial dan kebudayaan manusia. Thukul menunjukkan kepada kita bahwa suara akar
rumput adalah kejujuran, keterbukaan, dan suara kemanusiaan. Puisi
Thukul meski identik dengan tragisme, kemiskinan, dan nasib yang apes,
menunjukkan kepada kita bahwa melalui kata-kata dan puisinya itulah, ia
bersuara dan menyuarakan dirinya dan nasibnya yang sering diidentikkan dengan
suara akar rumput (kalangan bawah).
Masih dalam suasana perjuangan. Puisi Widji Thukul
kali ini menggambarkan kepeduliannya pada orang tergusur yang penuh keresahan.
Puisinya menangkap keresahan itu dalam sebuah karya. Menyuarakan ajakan secara
gamblang, tanpa malu-malu kucing, untuk bersatu, melawan yang seolah tidak bisa
dilawan.
Puisi nyanyian akar rumput melambangkan dendang
para rakyat yang tidak terima dengan perlakuan pemerintah. Nyanyian akar rumput
adalah nyanyian yang terlalu samar untuk didengar para penguasa. Nyanyian akar
rumput, barangkali selalu dianggap angin lalu bagi yang berada di atas pohon.
Sahabat pecinta sastra, inilah Puisi Nyanyian
Akar Rumput karya Widji Thukul. Persiapkan diri kalian, karena mungkin,
membaca puisi singkat ini akan membuat darah kita mendidih.
Nyanyian Akar
Rumput
jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang
kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!
juli 1988
Puisi ini menampilkan diksi khas dari Thukul, lugas,
tak banyak kiasan, tapi sekalinya ada, selalu penuh makna. Jika setelah membaca
puisi ini kita tak merasakan getir di hati karena berempati kepada para akar
rumput itu, mungkin ada yang salah dengan hati kita. Mungkin???
***Penikmati Puisi (sajak) jalan Setapak Demokrasi berkeadilan