Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden,
Cikarang dan Peneliti di President Center
for International Studies (PRECIS)
Di dalam dunia pasca
fakta (postfaktische Welt), kebenaran
tak lagi penting. Yang dicari adalah kehebohan sesaat. Politisi bisa
memenangkan pemilu bukan karena ia berpijak pada nilai-nilai kebenaran,
melainkan karena ia mampu menghibur massa dengan kebohongan dan kehebohan yang
dangkal. Orang bisa menjadi pemimpin organisasi, bukan karena ia mampu memimpin
dengan prinsip-prinsip yang benar, melainkan karena ia mampu berkelit dalam
kebohongan dan tipu daya, sehingga mempesona penguasa.
Fakta dan data pun tak
lagi menjadi unsur penting. Yang dicari adalah sensasi yang mengaduk-aduk
emosi. Berita di jaringan sosial lebih punya pengaruh besar, daripada data dan
fakta tentang kenyataan yang ada. Ini semua lalu menjadi pembenaran untuk
kemalasan dan kedangkalan berpikir.
Fakta memang tak sama
dengan kebenaran. Fakta adalah unsur pembentuk kebenaran. Sementara, kebenaran
itu lebih tinggi daripada fakta. Fakta pun tak pernah bebas nilai, karena ia
selalu mengandung sudut pandang tertentu. Keduanya amat penting untuk dasar
hidup pribadi dan hidup bersama.
Kebohongan, Fitnah dan Diskriminasi
Ketika fakta dan
kebenaran tak lagi penting, kebohongan pun merajalela. Tipu daya menjadi
keutamaan yang dibanggakan. Inilah yang disebut Nietzsche sebagai pembalikan
semua nilai (Umwertung aller Werte). Orang tak lagi bisa membedakan, yang mana
yang benar, dan yang mana yang palsu.
Di dalam dunia semacam
ini, fitnah pun menjadi senjata untuk merebut kekuasaan. Fitnah, yang
didasarkan atas kebencian, bisa mempengaruhi keputusan hukum dan politik. Orang
bisa kehilangan karir, karena fitnah dan kebencian yang disebarkan. Orang bisa
membunuh orang lain, karena termakan fitnah yang disebarkan oleh pihak-pihak
yang penuh kebencian.
Dunia yang penuh fitnah
adalah dunia yang terbelakang. Di dalam dunia yang terbelakang, intoleransi
menjadi bagian hidup sehari-hari. Diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok
minoritas sudah dianggap hal biasa. Konflik pun cenderung tak bisa dihindari di
dalam hidup sehari-hari.
Fitnah, kebohongan dan
diskriminasi juga akhirnya mempengaruhi tata kelola politik. Bentuk paling
bejatnya adalah korupsi. Ketika fakta dan kebenaran tak lagi dianggap, korupsi
akan menjadi penyakit sistemik di dalam politik maupun ekonomi. Orang dengan
gampang mencuri uang rakyat demi memperkaya diri dan keluarganya semata.
Masyarakat luas pun
akan mengalami kedangkalan berpikir. Ketika para pimpinan masyarakat sudah
melupakan fakta dan kebenaran, ini akan menjadi teladan yang salah untuk
masyarakat luas. Orang jadi malas untuk mengolah fakta dan data, guna mengambil
keputusan dalam hidup. Kedangkalan berpikir dan perilaku pun adalah buah yang
kemudian dipetik.
Mengembalikan Fakta dan Kebenaran
Fakta dan kebenaran
haruslah dikembalikan sebagai unsur penting kehidupan bersama. Sikap kritis terhadap
fitnah dan kebohongan yang tersebar haruslah dikembangkan tidak hanya dalam
hidup sehari-hari, tetapi terutama di dalam sistem pendidikan nasional yang
ada. Ini tentu bukanlah usaha mudah. Sebuah gerakan sosial yang melibatkan
banyak pihak tentu amat diperlukan.
Setiap perubahan sosial
yang penting selalu lahir dari gerakan sosial yang konsisten. Itulah yang
kiranya amat kurang di Indonesia. Banyak gerakan sosial lahir dari pesanan
sponsor semata, yang seringkali memiliki kepentingan yang tak jujur. Gerakan
sosial untuk mengembalikan fakta dan kebenaran ke dalam hidup bersama jelas
merupakan sebuah gerakan yang penting. Jika tak diperjuangkan, hidup bersama
akan jatuh ke dalam kebohongan, kebencian, diskriminasi dan kedangkalan.
Apakah itu yang kita
inginkan?
****
Source: rumahfilsafat.com