Sumber: aphariel.deviantart.com
/prolog/
“Berapa butir
‘paracetamol’ lagi yang harus kita telan bersama air penawar pahit? Masih
adakah rasa nyeri dalam diri kita yang tak sanggup kita lawan sendiri? Ah,
barangkali kita telah terlalu lelah melawan nyeri-nyeri yang selalu menyerang
diri kita, dan satu-satunya jalan yang kita ketahui adalah menenggak butir-butir
‘analgesia’ hingga dosis yang paling tinggi. Lantas apa efek samping dari semua
itu? Anggap saja tak satu pun dari kita belum pernah ada yang merasakannya,
tetapi setidaknya semua hal itu telah cukup menunjukkan betapa pesakitan-nya
diri kita”.
/1/
Belajar filsafat adalah
pertaruhan akan hidup. Jika hal itu terlalu hiperbolis, setidaknya cukup perlu
dipahami saja bahwa ini hanyalah persoalan citra yang selalu ingin
kita bangun-baikkan. Bila pun ada pertaruhan lain, barangkali hanya persoalan
penjungkir-balikan pemikiran kita oleh banyak pemikir yang akan kita baca.
Tetapi tenang saja, masih banyak dari para pembaca filsafat yang tetap berdiri
tegak di atas kepala-kepala ‘orang-tua’ mereka.
Baiklah, kita awali
perbincangan ini dengan klarifikasi atas stereotype yang berkembang
tentang orang-orang yang belajar filsafat. ‘Belajar filsafat akan membuat kita
menjadi atheis’, atau barangkali paling amannya ‘membuat kita menjadi
liberal’. Semoga stereotype tersebut tidak terlalu jauh dari apa yang
memang orang-orang umum pikirkan. Lantas apakah stereotype tersebut
benar? Atau setidaknya memiliki koherensi dengan kenyataan? Baiklah, cukup
untuk diketahui sementara bahwa tuduhan tersebut memanglah benar secara
koheren-parsial, tetapi tidak benar secara koheren-universal.
Perlu diketahui
sebelumnya bahwa saya adalah mahasiswa filsafat, dan saya atheis sekaligus theis, atau
boleh dikatakan sebaliknya: tidak atheis sekaligus tidak theis.
Pengakuan ini tidak saya maksudkan dengan sengaja untuk menjadi seorang
‘eskapis’ atau mungkin mencari posisi aman dari dua ekstrem tersebut, akan
tetapi saya hanya tidak peduli dengan label-label remeh semacam itu. Terserah
orang menuduh saya atheis atau theis, yang jelas tuduhan tersebut
tidak pernah benar-benar merepresentasikan diri saya yang sebenarnya—meminjam
salah satu nama album Arctic Monkeys: Whatever People Say I Am,
That’s What I’m No. Tentang mengapa saya mengambil sikap semacam itu,
barangkali karena bagi saya kehidupan masih terlalu besar daripada hanya
sekadar membela mati-matian kebertuhanan atau ketidak-bertuhanan kita.
/2/
Lupakan tentang
label-label remeh itu. Mari kita sejenak ber-‘introspeksi diri! (Itupun jika kita
masih memiliki sedikit kerendahan diri).
Apa yang sebenarnya
menjadikan kita sebagai orang-orang yang ‘percaya’? Rasionalitas modern yang
kita akui atau tidak masih berjaya sampai saat ini? Atau bisikan-bisikan
‘ghaib’ yang sering kita beri nama sesuka hati kita? Atau kisah-kisah pengantar
tidur yang membuat kita takut dan bermimpi buruk hingga kita harus berdo’a?
‘Atau’ dan ‘atau’ yang masih banyak untuk kita hunjamkan pada diri kita
sendiri, yang celakanya belum pernah ada jawaban yang benar-benar tepat untuk
seluruh pertanyaan itu, karena lagi-lagi kita tidak pernah benar-benar
menyadari segala hal yang diam-diam membangun kesadaran itu sendiri.
‘Makhluk berkesadaran’,
itulah kebanggaan yang selama ini kita lekatkan dalam diri kita. Jika memang
benar demikian, pertanyaan saya adalah: Kapankah tepatnya kita telah menjadi
orang-orang yang percaya? Semenjak kita mulai sering ikut ke gereja, masjid,
atau kuil-kuil suci lain demi mendapat ‘manisan’ dari orang tua kita? Atau
sejak kita telah fasih berbahasa ‘ibu’ (bahasa daerah masing-masing) dan mengucap dua syahadat yang
boleh jadi kita belum mengerti benar maksudnya? Atau barangkali semenjak kita
mulai menyadari bahwa ada noda yang asing di celana kita saat kita terbangun
dari mimpi yang begitu ‘indah’? Baiklah, atau begini saja: semenjak kita
mengenal rasa putus asa dan membutuhkan sesuatu dari luar diri kita untuk
kembali menegakkan kepala kita, dan semenjak itulah kita benar-benar menjadi
orang-orang yang percaya.
Saya tidak bermaksud
menuduhkan suatu kesalahan terhadap orang-orang semacam itu, karena saya pun
cukup memahami bahwa itu memang bermanfaat bagi kita—orang-orang yang
percaya—untuk tetap dapat bertahan hidup, tetap ‘tabah’ dalam setiap
keputusasaan yang menyakitkan.
Kita—orang-orang yang
percaya—adalah orang-orang yang divonis cacat oleh orang tua-orang tua kita
sendiri, atau seandainya tidak ada orang tua yang memvonis kecacatan kita,
gunjingan orang lain tentang kita boleh jadi lebih membuat kita percaya. Atau
jika kita masih mengelak dari semua itu, titik paling kabur barangkali adalah
keserakahan kita akan segala hal yang membuat kita butuh untuk percaya. Cukup.
Di sini titik pentingnya, bahwa ‘kebutuhan untuk percaya’ itulah penyakit
kita—orang-orang yang percaya.
Baiklah, barangkali
kita semua merasa bahwa tidak ada yang salah dengan ‘kebutuhan untuk percaya’
itu, tetapi kebutuhan semacam itu menentukan bagaimana sikap kita terhadap
kehidupan—mencaci-menolaknya atau mengafirmasinya secara penuh. “Oh, maaf!”.
Saya meyakini bahwa kita semua cukup paham akan hal ini: bahwa kepercayaan kita
terhadap sesuatu menentukan sikap hidup kita. Karena barangkali, hampir semua
dari kita pasti sepakat bahwa untuk hidup, kita membutuhkan sebuah pegangan.
Tetapi justru di sinilah letak persoalannya: bahwa kita tidak pernah tahu apa
yang sebenarnya kita jadikan tongkat berpegang itu; kayu berduri kah? Atau baja
yang memberatkan langkah kita? Atau barangkali bambu-berambut yang menggatali
tangan-tangan mulus kita? Atau bahkan mungkin sebuah batang-pisang yang
terseret arus menuju kecuraman-kematian? Entah apapun itu, kita hanya selalu
menilai semua itu berdasarkan apa yang menjadi orang umum pegang-katakan.
Lantas apa konsekuensi
dari semua itu? –Ah, rasanya saya tidak tega untuk berterus terang, laiknya
seorang dokter yang hendak menyampaikan kepada pasiennya bahwa ia mengidap
kanker stadium akhir. Tetapi seperti dokter pula, saya tetap harus
berterus terang akan semua hal itu– . Baiklah begini:
/3/
Mythomania, itulah
nama penyakit kita—orang-orang theis. Berapa banyak kebohongan yang telah
kita katakan dan yakini tanpa pernah kita sadari? Kita selalu berkelit atas
keyakinan kita yang dalam beberapa kesempatan mengalami kerapuhan pada ranting,
cabang, batang, atau bahkan akarnya. Kita selalu melakukan tambal-sulam tanpa
henti demi keyakinan itu. Dan celakanya kita tidak pernah benar-benar sadar
bahwa kita telah melakukannya: menambal, menyulam, berbanyak-kelit hanya demi
satu pendakuan bahwa “pohonku tidak mungkin salah –baca: rusak–“. Laiknya
seorang dalam sebuah kasus yang menjadi pihak tertuduh (dan terbukti bersalah),
masih saja mengupayakan segala hal dengan banyak kilah demi bebas dari tuduhan
tersebut.
Semoga selera sejarah
kita tak terlalu rendah dalam melihat persoalan semacam ini. Bahwa keyakinan kita
akan sesuatu selalu berubah-berganti mengikuti keadaan ‘psikis’ kita. Masih
ingatkah kita bagaimana para ansestor kita menjadi orang-orang yang
dalam istilah kita –orang-orang modern– polytheist? Mereka meyakini
demikian dengan dasar ‘psikis’ yang cukup sederhana: bahwa apa yang paling
dekat dengan kita, itulah tuhan kita: Dewi Sri (tuhan para petani Jawa), Ares
(dewa para tentara Yunani), Ganesha (tuhan para pelajar), atau tuhan-tuhan lain
yang dalam perkembangannya telah kita penggal kepalanya dengan ‘kapak’ Abraham –baca:
kapak monotheism–, kita kafir-sesatkan para penyembahnya, seakan
semua itu merupakan suatu ‘kedurhakaan’ yang kita sucikan atas nama kebenaran
yang tak lebih hanyalah bentuk kecacatan psikis kita: bahwa kita ‘butuh’ tuhan
yang lebih masuk akal, tuhan yang lebih rasional, tuhan yang lebih dari
tuhan-tuhan ansestor kita. Berikut secuil sejarahnya (semoga kita
tidak pura-pura amnesia):
“Dikisahkan bahwa Abraham (atau Ibrahim dalam bahasa Arab) yang merasakan ketidakmasuk-akalan tentang penyembahan berhala-berhala yang dibuat oleh ayahnya: Azhar, hingga akhirnya ia memenggal kepala patung-patung tersebut. Abraham berpikir bahwa tidak mungkin patung-patung itu adalah tuhannya, karena jelas-jelas ayahnyalah yang menciptakan patung itu. Lantas ia mengembara mencari Tuhan yang lebih dari itu, bertemu bintang: dianggap Tuhan, kemudian melihat Bulan ia berpaling, selanjutnya melihat Matahari ia berpaling lagi, dan saat Matahari terbenam, ia mulai putus asa karena tuhan-tuhan yang ia harapkan tidak ada yang abadi: muncul-hilang-muncul-hilang. Dan akhirnya……. (semoga kita masih ingat)”
Baiklah, mari kita
kembali menengok untuk saat ini?
Sudah puaskah kita
dengan membunuh tuhan-tuhan itu? Sudah terpenuhikah ‘kebutuhan untuk percaya’
kita dengan satu tuhan yang sebenarnya tak lebih hanya kumpulan dari
bangkai-bangkai tuhan yang telah kita bunuh itu? Toh, senyatanya kita masih
butuh me-re-definisi-kan satu tuhan yang kita bela secara mati-matian sampai
saat ini, bahwa kita selalu membayangkan tuhan secara sesuka hati kita:
“Dia Mahapengasih, Dia Mahapenolong, Dia Mahabijaksana, Dia Mahakuasa, Dia Maha bla-bla-bla, dan bla-bla-bla –yang sebenarnya dapat dirangkum menjadi satu nama: Mahamanusia– “
Lantas, kita—kaum theis—yang
cukup cerdas menemukan kecacatan kembali saat memikirkan semua hal itu. Bahwa
dari sekian ke-Maha-an itu ada yang berkontradiksi satu dengan yang lain: “Jika
tuhan maha segalanya, berarti ‘dia’ juga harus maha pembunuh, maha pendendam,
maha bercanda, maha yang lainnya”. Lantas buat apa tuhan semacam itu
kita sembah dengan banyak alasan yang boleh jadi berbeda-beda setiap
individunya meskipun masih satu kitab, satu nabi, satu agama, satu bendera. Ada
yang menyembah karena takut neraka, ada yang menyembah karena cinta, atau
barangkali yang paling remeh: menyembah karena takut digunjing orang-orang di
sekelilingnya, dipukuli orang tuanya, (atau tidak diberi uang untuk beli
rokok), barangkali.
Baiklah, jika semua ini
hanya soal konsep, definisi, kata, bahasa, istilah, –atau apapun itu–, lantas
apa? Bukankah tuhan yang selama ini kita sembah memanglah sebatas konsep,
definisi, kata, bahasa, istilah, ‘dalam angan kita’? Dan kita memanglah tidak
pernah benar-benar tahu apakah ia ada atau tidak. Satu-satunya hal yang dapat
kita diagnosa adalah bahwa semua konsep tuhan yang kita yakini secara
mati-matian tersebut hanyalah pembahasaan yang terlambat dari symptom-symptom cacatnya
psikis kita.
/4/
Kita—manusia yang kata
Aristoteles “Homo est animal-rationale”—boleh jadi hanyalah kumpulan
hasrat-hasrat buta yang dari interaksi antara hasrat-hasrat itu lahirlah sebuah
pengambilan keputusan yang menurut kita rasional. Lantas dalam artian apa
ke-rasional-an ini kita banggakan sebagai anugerah tuhan yang tidak dimiliki
oleh makhluk lain? Bukankah ‘rasionalitas’ yang kita agungkan itu tak lebih
hanyalah satu tambahan hasrat selain dari hasrat untuk bertahan hidup (survival
of the fittest): butuh akan kepastian yang tidak dimiliki hewan maupun
tumbuhan. Dan segala penalaran rasional yang kita lakukan tersebut mau tidak
mau selalu lari atau didasari oleh hasrat akan kepastian tersebut. Contoh (saya
terpaksa menggunakan ini untuk menyederhanakan bahasa saya agar dapat dipahami
oleh mereka para pembaca yang hanya mengeja):
“Tindakan apa yang menurut kita lebih rasional antara meloncat ke dalam api atau ke dalam air? Seluruh manusia (terkecuali orang-orang yang putus-asa untuk hidup) akan sepakat memilih meloncat “ke dalam air”, mengapa?”
Dari contoh tersebut,
kita –orang-orang yang katanya cerdas– seharusnya bertanya: “Apakah itu
mengartikan bahwa rasionalitas hanya diukur dari tingkat ‘bahaya/tidak’nya
sesuatu itu untuk kita? Apakah rasional ‘sama’ dengan kebahagiaan? Dan
irrasional sebaliknya?”. Jelas bahwa penalaran berdasar bahaya/tidaknya sesuatu
itu adalah persoalan hasrat, bukan rasional. Karena rasionalitas tak lebih
hanyalah jembatan yang tak bernilai apapun, semacam logika yang hanya satu
piranti pengambil kesimpulan, bukan untuk menilai sebuah premis benar atau
tidak, valid atau invalid. ‘Saya bertaruh’, carilah
sebanyak-banyaknya argumen yang katanya ‘rasional’, diakui atau tidak semua
argumen tersebut hanya dilandasi oleh ‘penalaran hasrat’ yang remeh:
bahaya/tidak, untung/rugi, susah/mudah, menyenangkan/menyedihkan, dan
bahasa-bahasa lain yang tak lebih hanyalah ekspresi ‘psikis’ kita.
Lantas dalam artian apa
lagi kita masih membusungkan dada-dada kita, menonjolkan dan memperlihatkan
belahan-belahan yang kosong belaka? Yang diakui atau tidak, semua itu hanyalah
untuk memperlihatkan bahwa kita cacat dan buruk rupa, sehingga kita masih
membutuhkan pengakuan lain.
/5/
Atheis, itulah
yang dalam sekejap akan dituduhkan pada saya. Atau barangkali ada istilah lain
yang lebih religius: zindiq, kafir, murtad-murtadin, syaithon
ar-rajiim, atau entah apapun itu yang tidak lebih semua tuduhan tersebut
malah membuka ‘kedok’ penutup ‘borok’ dari psikis kita –para penuduh– itu
sendiri. Kita –para penuduh– adalah orang-orang sakit yang akan bertambah sakit
jika dibukakan semua indikasi ke-sekarat-an kita. Kita hanya butuh obat, atau
sekadar iming-iming kesembuhan yang boleh jadi tiada saja.
Maaf, saya bukan
seorang atheis sebagaimana dipahami orang-orang yang katanya
‘intelektual’. Bahwa saya mengkritisi kebertuhanan ataupun keberagamaan
manusia-manusia dekaden itu, tidak lantas mengartikan bahwa saya meyakini
‘ketiadaan tuhan’ (anti-theism), pun juga tidak memiliki sedikitpun pretensi
untuk memposisikan diri saya sebagai orang yang ‘tidak percaya’ akan keberadaan
tuhan (atheism). Dengan demikian, apakah saya tidak berposisi sama
sekali? Sehingga dalam hitungan yang singkat, saya akan dituduh kembali sebagai
orang yang tak berpendirian, orang yang labil (entah labil ekonomi,
atau labil rumah tangga, terserah). Saya tak lagi peduli dengan tuduhan-tuduhan
semacam itu. Seandainya dengan menuduh saya seperti itu membuat kita
–orang-orang sakit– menjadi lupa akan sakitnya, terus terang saya tidak merasa
berbeban-hati. Silahkan!
Begini: kesakitan
semacam ini sebenarnya tidak hanya di-idap oleh kita –orang-orang yang
percaya–, melainkan pula orang-orang yang tidak percaya. Lihatlah orang-orang
yang mengaku atheis di zaman ini: banyak dari mereka yang tak lagi
meyakini kebenaran agama, lantas mereka lari kepada kebenaran yang lain: sains
barangkali. Mereka berjuang mati-matian untuk memecah enigma realitas
agar mereka dapat meruntuhkan keyakinan-keyakinan dogmatis dengan cara
mereka. Objektif, empiric-rasional dan logis kata
mereka. Tetapi dalam pengertian macam mana semua itu dimaksudkan? Dalam artian
matinya subjek kah? Atau hilangnya pretensi-pretensi emotif dalam
diri? Jujur, saya masih belum dapat membayangkannya.
/epilog/
Dari sekian banyak hal
yang kita pegang sebagai sebuah kepercayaan: entah itu agama, sains, dan
pegangan-pegangan lain yang memberi nyaman, semua itu tak lebih hanya sebagai
butir-butir ‘analgesia’ penghilang nyeri kita akan beratnya hidup
yang kita tanggung. Barangkali kita semua adalah laki-laki dan wanita-wanita ‘horny’ yang
butuh kepastian untuk menikah dan dinikahi. Kita butuh jawaban, kita butuh jaminan akan ke-absurd-an
hidup yang kita jalani. Dan ketika obat-obat itu menunjukkan satu khasiatnya,
kita akan selalu merasa kurang dan kurang. Kita selalu menaikkan dosis dari
butir-butir ‘analgesia’ yang kita telan. Dan kita pun selalu butuh
air penawar pahit yang disebabkan oleh butir-butir yang tak sengaja menyentuh
pangkal-pangkal lidah kita. Semoga masih banyak sediaan yang kita miliki. Hoffnungsvoll![]
***
Source: lsfcogito.org