Jenis drone yang pernah dilibatkan dalam misi di
Mapenduma, Papua ini memang produksinya telah dilensi oleh perusahaan swasta
asal Rusia yang bermarkas di Astrakhan Oblast.
Meski secara tampilan dan dapur pacu serupa dengan
Searcher “asli,” namun ditangan Rusia, drone dengan bobot maksimum tinggal
landas 435 kg ini berhasil ditambahkan perannya, bila aslinya hanya sebagai
drone dengan misi surveillance, reconnaissance, target acquisition,
artillery adjustment and damage assessment alias sebatas UCAV (Unmanned
Aerial Vehicle), maka saat dioperasikan militer Rusia, drone besutan Negeri
Yahudi ini ditambahkan perannya sebagai drone kombatan (UCAV) dengan kemampuan
membawa persenjataan dalam dua hard point pada sayap.
Dikutip dari flightglobal.com, Forpost-M tampil
dengan beragam penyempurnaan dibandingkan varian Searcher, sebut saja mulai
dari peningkatan pada sistem komunikasi, yaitu tidak hanya dengan Ground
Control Station, tapi juga bagaimana drone ini dapat berinteraksi dengan
pesawat tempur dan helikopter, serta memungkinkan kru untuk menilai informasi
yang dikumpulkan dari beragam sensor dan menyampaikan data real-time ke
unit pasukan di garis terdepan.
Dirunut dari sejarahnya, Rusia membeli batch pertama
drone buatan IAI pada Aoril 2009, saat itu nilai akuisisi Searcher II mencapai
US$54 juta, dalam paket tersebut mencakup drone BirdEye 400. Dan di akhir tahun
2019, Rusia kembali memesan 36 unit Searcher II dengan nilai US$100 juta.
Rupanya Moskow puas dengan kualitas drone yang juga
digunakan AU Singapura ini, berlanjut ke kontrak pemesanan ketiga dengan nilai
US$400 juta yang ditandatangani pada Oktober 2010. Pada kesepakatan terakhir,
drone yang kemudian diberi label Forpost ini mulai dirakit di Rusia berdasarkan
lisensi. Proyek pengerjaan dimulai pada awal 2012 dan pengiriman terakhir ke unit
militer Rusia pada tahun 2014.
Meski belum dipastikan kebenarannya, beberapa sumber
menyebut ada kesepakatan lain dengan Israel yang ditandatangani pada akhir
2015, yang mencakup kontrak senilai US$320 juta.
Melihat ada upaya kasak kusuk antara Tel Aviv dan
Moskow, rupanya membuat Amerika Serikat geram. Beberapa langkah kemudian
dijalankan Washington untuk menggagalkan kontrak akuisisi drone ini. Serangan
drone buatan Israel di wilayah Suriah pada 17 Juli 2016 diyakini dilakukan oleh
Searcher II yang dioperasikan Rusia. Dengan dasar tersebut, semakin memantapkan
penghentian penjualan sistem senjata dari Israel ke Rusia.
Tel Aviv rupanya tak sepakat dengan langah AS, lobi
oposisi pada parlemen AS pun dilakukan pihak Yahudi yang tak mau kehilangan
order dari Rusia. Namun keputusan Washington tegas menolak dengan dalih potensi
jatuhnya drone ke tangan militan ISIS di Suriah.
Lepas dari sepak terjang di atas, Forpost-M yang
ditenagai mesin 4 stroke Limbach L550, 35 kW (47 hp) dapat terbang dengan
kecepatan maksimum 204 km per jam. Drone ini dapat terbang sejauh 150 km (Line
of Sight) pada ketinggian 6.100 meter. Soal payload senjata yang bisa
dibawa memang tidak besar, yaitu hanya 120 kg, atau dapat membawa dua bom
pintar atau dua rudal udara ke permukaan ukuran sedang.
Selain Searcher II, Rusia sebelumnya juga telah
menggunakan drone intai Aerostar yang juga buatan Israel, yaitu jenis drone
yang saat ini dioperasikan Skadron Udara 51 Lanud Supadio, Pontianak,
Kalimantan Barat. (Gilang Perdana)
***
Sumber: indomiliter.com