Cuaca cukup cerah hari
itu, saat kami mendatangi SDN Bes’ao pada Selasa (15/3/2022). Sekolah ini ada
di Desa O’obibi, Kecamtan Kot’olin, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Siswa-siswi berhamburan keluar dari ruangan. Berkumpul di depan gedung darurat
yang baru di bangun Januari tahun ini.
KatongNTT tiba
di sana sekitar pukul 11.30 WITA. Siswa-siswi bersiap untuk pulang ke rumah.
Seorang guru mengatakan,
akibat dari pandemi, anak-anak
belajar tidak lama di Sekolah.
Seperti siswa di
sekolah lain pada umumnya, anak-anak selalu ceria. Bersenda gurau dengan teman,
saling kejaran. Mereka baru diam ketika ada komando dari seorang siswa di depan
barisan. Siswa itu mengatur kerapian barisan, membagi siswa-siswa berdasarkan
jenis kelamin dan kelas mereka.
Mereka berdiri di depan
gedung darurat itu dengan senyum yang terukir tulus. Kebanyakan siswa
mengenakan sepatu. Beberapa orang memilih melepas sepatunya. Beberapa orang
mengenakan rompi bermotif tenun khas Kabupaten
TTS. Dari wajah mereka terpancar kepercayaan diri menuntut ilmu tanpa
menghiraukan kondisi apapun.
Sebelum kembali ke
rumah masing-masing, seorang guru bernama Sepri Nomleni yang memimpin apel
mengingatkan siswanya untuk menaati protokol
kesehatan. Imbauan itu mengingat adanya peningkatan jumlah kasus Covid-19.
Dua orang siswa
mendapat tugas berdoa dan memilih lagu untuk dinyanyikan bersama. Ini sudah
kebiasaan dan wajib dilakukan sebagai bagian dari pembentukkan karakter siswa.
“O Tuhan pimpinlah
langkah ku”
“Ku tak brani jalan sendiri”
Kutipan di atas adalah
syair lagu yang dinyanyikan bersama siang itu. Lagu itu dinyanyikan dengan
tempo yang lebih lambat. Dengan kedua tangan terlipat di atas perut, yang
lainnya meluruskan kedua tangan ke bawah, mereka menyanyi penuh khidmat.
Pandangan mereka
tertuju pada guru-guru yang berdiri di depan mereka. Mata-mata kecil itu
memandang lekat ke arah bangunan itu. Gedung reot yang dijadikan ruang belajar.
Tinggi gedung SDN
Bes’ao sekitar 2 meter. Dengan lebar sekitar 4 meter dan panjang sekitar 14
meter. Gedung itu dibagi menjadi 5 ruangan.
Ukuran ruang belajar
setiap kelas sangat sempit. Sekitar 2,5 x 4 meter. Lantainya dari tanah yang
terlihat basah. Saking sempitnya, tidak ada jarak antara meja guru dan meja
siswa.
Pintu ruang-ruang kelas
itu selalu terbuka. Termasuk jendelanya. Tidak ada daun pintu dan daun jendela.
Hanya dibuatkan menyerupai pintu dan jendela yang tidak bisa ditutup.
Saat KatongNTT datang,
Kepala Sekolah sedang sakit. Hanya 5 orang guru dan seorang mahasiswa yang
sedang praktek di sekolah tersebut.
Dalam ruang belajar,
paling banyak berisi 6 meja. Ruangan sederhana itu dilengkapi masing-masing 1
papan tulis berwarna putih.
Erni Benu, guru Agama
di SDN Bes’ao mengatakan, kondisi sekarang masih banyak kekurangan dari sisi
sarana dan pra sarana. Bangku dan meja untuk siswa pun masih kurang.
KatongNTT mencatat, ada
2 ruangan yang kekurangan bangku. Warga bersama guru mengambil bambu dan papan
lalu dipaku pada 2 potong kayu yang ditanam ke tanah. Siswa menggunakannya
sebagai pengganti bangku.
Menurut Erni, siswa
kelas 1 maupun kelas 2 yang duduk berhimpitan akan kesulitan saat menulis.
Mereka akan mulai ribut ketika menulis dan tanpa sengaja tangan anak yang lain
menyentuh temannya.
“Melihat kondisi ini
kami guru-guru juga sedih,” kata Erni dengan mata berkaca-kaca.
SDN besao sebelumnya adalah kelas jauh dari SDN O’obibi. 8
tahun setelah menjadi kelas jauh, pada 2018, SK Izin Operasional diberikan.
Kepala Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Dominggus Banunaek kepada
KatongNTT, Jumat (18/3/2022) mengatakan, untuk kebutuhan meja dan kursi bisa
dianggarakan dari Dana BOS. Namun untuk membangun gedung baru tidak bisa
menggunakan Dana BOS.
Informasi yang dihimpun
media ini, Kepala SDN Bes’ao, Anthoneta M. Samoy merupakan satu-satunya guru
PNS di Sekolah itu. Anthoneta ditempatkan di SDN Bes’ao sejak 2019.
KatongNTT berupaya
mendapatkan penjelasan dari Anthoneta sebagai pimpinan lembaga pendidikan itu.
Namun ia tidak mau memberikan informasi apapun. Melalui sambungan telpon
saat jurnalis media
ini berada di sekolahnya, ia meminta agar tidak mengambil informasi apapun
tanpa kehadirannya.
Bahkan Anthoneta
terkesan melarang guru-gurunya untuk memberikan informasi terkait keadaan
sekolah. Dia berjanji melayani wawancara melalui telepon, namun ketika
dihubungi, Anthoneta mengatakan dirinya masih sakit.
Sejak Jumat sampai hari
Minggu kemarin, KatongNTT mencoba menghubungi berulang kali tapi nomornya tidak
aktif.
Sebagai guru, Erni
hanya berharap suatu saat kondisi sekolah berubah menjadi lebih baik.
“Kami guru tetap
bersabar, kami yakin ke depan pasti keadaan lebih baik dari sekarang ini,” kata
Erni.
Optimisme ditunjukkan
oleh para pelajar SDN Bes’ao. Meski belajar di gedung yang reot, duduk di kursi
yang tidak layak dengan ukuran ruang yang sempit, mereka tetap punya cita-cita.
Di balik semua
keterbatasan itu, cita-cita para pelajar ini mengebu-gebu. Kondisi gedung tak
mematahkan semangat mereka menuntut ilmu. Setiap hari mereka selalu datang ke
sekolah tepat waktu.
“Kami datang jam tujuh
(pagi). Apel jam tujuh lima belas (menit,” kata Debi Arianti Benu.
Debi merupakan siswi
yang duduk di kelas 6 saat ini. Debi bercerita, proses belajar tetap berjalan.
Keterbatasan itu memberi semangat untuk terus belajar meraih cita-cita.
“Cita-cita mau jadi
pendeta,” kata Debi tersipu.
Beberapa siswa juga
menyampaikan cita-cita mereka. Ada yang ingin menjadi tentara, ada pula yang
ingin menjadi guru dan polisi. Beberapa iseng mengatakan ingin jadi dokter
sambil tertawa dan berlari.
Mereka menenteng tas
berisi buku dan perlatan belajar lain dengan ayunan langkah cepat, berjalan
menuju rumah. Ada yang jalan sambil bercerita dengan teman, ada pula yang
kejar-kejaran di jalan.
***
Artikel ini diambil dari https://katongntt.com